Proses Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor Dinilai Belum Transparan dan Akuntabel
Terbaru

Proses Rekrutmen Hakim Ad Hoc Tipikor Dinilai Belum Transparan dan Akuntabel

Publikasi dan penjelasan akan calon beserta profil dan proses di dalamnya masih minim. Padahal, isu tentang Tindak Pidana Korupsi menyangkut hajat orang banyak.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani pada acara Webinar bertajuk Mencari Sosok Hakim Ad Hoc Tipikor Yang Berintegritas, Rabu (2/3/2022).. Foto: FER
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani pada acara Webinar bertajuk Mencari Sosok Hakim Ad Hoc Tipikor Yang Berintegritas, Rabu (2/3/2022).. Foto: FER

Dalam menghasilkan seorang hakim yang akan memiliki tugas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tentu tidak terlepas dari penyelenggaraan rekrutmen yang ketat. Tidak terkecuali bagi rekrutmen hakim-hakim ad hoc. Hal itu dilakukan dalam rangka memastikan akan hakim yang terpilih memiliki kepribadian yang luhur sehingga dapat menghasilkan putusan-putusan yang mengedepankan keadilan bagi para pencarinya.

“Bicara soal hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ini prinsipnya kita sama seperti mencari hakim agung. Karena merujuk pada pasal 24A UUD 1945 yang mengatakan hakim agung harus memiliki integritas, kepribadian yang tidak bercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Jadi rujukannya ke situ. Artinya apa? Kita mencari ‘manusia setengah dewa’,” ujar Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani pada acara Webinar bertajuk “Mencari Sosok Hakim Ad Hoc Tipikor Yang Berintegritas”, Rabu (2/3/2022).

Namun, dalam pengalaman Koalisi Pemantau Peradilan yang terdiri atas LBH, YLBHI, PBHI, MaPPI, KontraS, LeIP, PSHK, TII, ICW, dan yang lainnya sebagaimana Julius sebutkan masih terdapat sejumlah catatan atas proses seleksi hakim ad hoc Tipikor yang tengah terjadi baik di level Mahkamah Agung (MA) ataupun Komisi Yudisial (KY).

Julius memandang, ketika mencari seorang calon hakim tanpa cela bak “manusia setengah dewa” itu maka seharusnya dilakukan pencarian dan bukan menunggu seorang untuk mendaftar. Ia mencontohkan penerapan “posisi jemput bola” sebagaimana yang diterapkan beberapa lembaga negara lain seperti KPK.

Baca:

Tidak sampai di situ, dari pengamatannya bersama Koalisi Pemantau Peradilan, proses seleksi yang dilaksanakan masih “minus” transparansi. Sebab, publikasi dan penjelasan akan siapa saja calonnya beserta profil dan proses di dalamnya masih minim dilakukan. Padahal, isu tentang Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu isu yang menyangkut hajat orang banyak. Baik bagi sebagian publik yang sadar menjadi korban maupun yang tidak.

Dengan transparansi dan publikasi yang sedikit, kata dia, hal ini membuat masyarakat bingung akan keberlangsungan akuntabilitasnya. “Bagaimana masyarakat bisa memantau sampai ke level yang paling detail dari setiap calon yang berprofil ‘manusia setengah dewa’ itu tadi? Akibatnya juga ke engagement publik, keterlibatan publik memberi masukan dan saran menjadi minus,” beber dia.

Termasuk, lanjutnya, atas terbentuknya tim seleksi khusus KY juga masih minim akan siapa saja personel yang termasuk menjadi bagian tim seleksi tersebut. Atas ketidaktahuan publik perihal itu, melahirkan pertanyaan mengenai apakah tim yang dibentuk oleh KY memiliki perspektif anti korupsi serta memiliki background yang cukup kuat dalam melakukan seleksi atau tidak.

Julis menjelaskan, ketika seorang menjadi selector hakim ad hoc dengan segudang persyaratannya yang membuatnya bagai manusia tak bercela maka paling tidak penyeleksi patut memiliki kualitas yang sejajar atau melebihi di atasnya. Nahas, hal tersebut menjadi sulit karena publik tidak mengetahui siapa-siapa saja yang memeriksa.

“(Kemudian) terkait partisipasi publik. Ini jelas telah dijamin Pasal 17 ayat (3) UU Komisi Yudisial. Masyarakat diberikan hak untuk memberikan informasi atau pendapat. (Tetapi) bagaimana masyarakat memahami haknya jika proses transparansinya dan akuntabilitasnya dirasa kurang? Tidak heran publik tidak memiliki rasa memiliki peradilan, rasa menjaga marwah peradilan, kalau partisipasinya tidak dijaga,” tuturnya.

Ketua PBHI itu menerangkan bahwa dengan jejaring masyarakat sipil yang KY miliki sampai ke level daerah dan juga tergabung dengan jejaring kantor penghubung KY, sebetulnya KY telah memiliki banyak pintu untuk menggali informasi dan pendapat publik selaku end user dari para calon. “Pertanyaannya, apakah masyarakat sipil dan jejaring ini dibuka peluangnya untuk memberikan masukan? Karena tidak banyak yang mengetahui seleksi ini, tapi dalam kasus korupsi, korbannya adalah sosial publik.”

Dia juga mengkritik akan hal teknis seperti jaminan keterlibatan masyarakat dalam proses seleksi untuk hadir, menonton, atau bahkan bertanya secara terstruktur pada proses seleksi tersebut. Pada pengalamannya, sempat terjadi di mana tidak bisa mengisi kolom komentar dan masukan secara tiba-tiba. Hal yang teknis seperti ini memiliki substansi soal proses yang akuntabel dan menjadi penting untuk didorong.

“Saya pikir ke depannya KY harus proaktif, tidak hanya mengumumkan profil atau karakter secara deskriptif tapi juga secara progresif mengundang, mengkonsolidasikan publik menggali informasi dan pendapat untuk menjaga integritas itu,” pesannya.

Tags:

Berita Terkait