Proses Hukum Novel Baswedan Dinilai Wajar
Utama

Proses Hukum Novel Baswedan Dinilai Wajar

Namun, penahanan tidak perlu dilakukan setelah proses rekonstruksi, dengan pertimbangan kinerja KPK tetap berjalan. Novel tak pernah takut dengan proses hukum.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
(Dari Kanan ke Kiri) Koordinator Kontras Haris Azhar, Anggota Komisi III Arsul Sani, Moderator, Anggota Kompolnas Adrianus Meliala, Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution. Foto: RFQ.
(Dari Kanan ke Kiri) Koordinator Kontras Haris Azhar, Anggota Komisi III Arsul Sani, Moderator, Anggota Kompolnas Adrianus Meliala, Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution. Foto: RFQ.

Persamaan di depan hukum berlaku terhadap semua warga negara. Tak saja pejabat negara, penegak hukum sekalipun jika melakukan dugaan tindak pidana mesti diproses hukum. Contohnya adalah kasus yang menimpa seorang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Apalagi, kasus yang terjadi pada 2004 itu akan segera memasuki masa daluarsa.

“Kalau melihatnya, ini proses hukum yang sah,” ujar Anggota Komisi III DPR Arsul Sani, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (2/5).

Arsul berpandangan kasus yang menjadi sandungan Novel merupakan peristiwa biasa. Menjadi luar biasa lantaran Novel merupakan penyidik KPK. Terlebih, Novel juga merupakan penyidik kasus simulator Surat Izin Mengemudi dengan tersangka kala itu Irjen Djoko Susilo. Maklum, Novel yang notabene anggota Polri itu lebih memilih menjadi pegawai KPK ketimbang kembali ke korps bhayangkara.

Proses hukum menjadi penting tak saja pertimbangan daluarsa, namun juga asas keadilan bagi korban. Kendati demikian, sejatinya penegakan hukum tak saja hanya berpatokan pada hukum acara, tapi juga mempertimbangkan aspek lainnya. Misalnya kerja KPK dalam penyidikan sejumlah kasus yang belum rampung. Meski Arsul setuju proses hukum berjalan, namun jalan tengah yang mesti diambil adalah tidak melakukan penahanan terhadap Novel.

“Tapi nanti kalau proses rekonstruksi selesai, tidak perlu dilanjutkan dengan penahanan. Karena kalau ditahan akan mempengaruhi kinerja KPK dan mengaduk-ngaduk perasaan masyarakat,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan proses hukum dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap kasus yang sudah terjadi pada 2004 silam. Kepastian hukum bisa saja dengan menghentikan penyidikan, atau jika terbukti dengan memberikan hukuman. Yang pasti demi kepastian hukum proses tetap berjalan. “Silakan proses hukum dilakukan, tapi juga harus memenuhi syarat-syarat yang dikenal due process of law,” imbuhnya.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala menilai tak tepat dalam kasus Novel dikaitkan antara hubungan Polri dengan KPK. Pasalnya kasus yang menjerat Novel bersifat personal. Justru dengan mengaitkan hubungan KPK dan Polri, kedua lembaga kembali menjadi tegang.

Adrianus menilai berkas kasus Novel, sudah dalam tahap P19. Itu sebabnya demi kepentingan pemberkasan di tingkat penuntut umum, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Menurutnya, saat bertemu dengan Kabareskrim Komjen Budi Waseso, ia mendengar Polri berkeinginan menyelesaikan sejumlah perkara yang mangkrak. Setidaknya terdapat ribuan kasus yang mesti segera dirampungkan. Nah, kasus Novel satu dari sekian perkara yang sudah siap dimajukan untuk diselesaikan selain pertimbangan daluarsa.

“Memang ada 'cuci gudang' di jaman Kabareskrim Budi Waseso, maksudnya kasus-kasus yang mangkrak mau segera diselesaikan,  salah satunya kasus Novel yang mau daluarsa.Kasus ini ditujukan pada warga negara yang melakukan tindak pidana pada saat melaksanakan tugasnya,” kata dosen kriminologi Universitas Indonesia (UI) itu.

Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution berpendapat dari perspektif penegakan hukum, langkah Polri sudah sesuai koridor. Pasalnya upaya penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Polri berdasarkan proyustisia. Menurutnya, jika seorang tersangka dilakukan pemanggilan dua kali tidak hadir, maka penyidik dapat melakukan pemanggilan paksa. “Penyidik punya hak subyektif dan ini hal biasa saja. Tapi pespektif opini publik menanggapi berbeda, itu juga wajar-wajar saja,” katanya.

Menurutnya, persamaan di depan hukum berlaku bagi setiap warga negara. Ia berpandangan pertimbangan daluarsa bagi Polri memacu penyidik segera menyelesaikan kasus tersebut. Persoalan terbukti tidaknya di persidangan, itu persoalan lain. Terpenting, dalam kasus tersebut terdapat kepastian hukum agar kasus Novel juga tidak menggantung. “Jadi tindak pidana karena jabatan kemudian tidak di pidana , itu tidak bisa,” katanya.

Koordinator Kontras, Haris Azhar mengatakan Novel Baswedan tak takut dengan proses hukum. Hanya saja penegakan hukum harus berjalan sesuai koridor tanpa ada motif balas dendam. Ia menilai kasus Novel menjadi bancakan oleh kepolisian. Di era Susilo Bambang Yudhyono kasus Novel diminta dihentikan sejenak. Kala itu, kasus Djoko Susilo menyeruak diproses KPK. Nah, sebagai penyidik kasus Djoko Susilo, Novel dicari kesalahannya yakni kasus lawas.

Setidaknya, Kontras telah melakukan investigasi. Kala 2004 silam, terdapat empat pelaku tindak pidana pencurian diboyong ke pantai wisata alam panjang Bengkulu. Novel yang kala itu menjabat Kasatreskrim Polres Bengkulu datang terlambat. Sementara telah terdapat pelaku tindak pidana yang ditembak oleh bawahan Novel di pantai wisata alam panjang Bengkulu. Bahkan ada yang hingga melayang nyawanya. Oleh Kapolres Bengkulu kala itu, Novel diminta bertanggungjawab secara hukum dan etik. “Di sidang etik, Novel protes. Jadi sidang etik saja ini bisa manipulatif, kasus rekayasanya saja direkayasa,” ujarnya.

Berdasarkan informasi yang diterima Haris, Novel yang berada di Bengkul emoh menjalani rekonstruksi pagi tadi. Dengan kata lain, kata Haris, rekonstruksi dilakukan tanpa Novel. Lebih lanjut, Haris Azhar berpandangan sepanjang KUHAP lama masih berlaku dan leadership pemerintahan lemah, maka ‘telenovela’ KPK-Polri tersu terjadi. Ia menilai ancaman Polri tidak lagi terhadap KPK, tetapi juga orang yang memberikan dukungan lembaga antirasuah. “Kedilan itu perlu integritas, begitu juga penegakan hukum,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait