Prosedur Pengiriman Dokumen Pengadilan Indonesia ke Belanda Ditata
Berita

Prosedur Pengiriman Dokumen Pengadilan Indonesia ke Belanda Ditata

Setiap dokumen yang akan diteruskan melalui Kementerian Luar Negeri harus merupakan dokumen asli dan lengkap.

Mys/Ash
Bacaan 2 Menit
Prosedur Pengiriman Dokumen Pengadilan Indonesia ke Belanda Ditata
Hukumonline

Dokter Robert Visser dan dokter B. Kubat pernah bersinggungan dengan proses hukum di Indonesia. Hasil kerja kedua dokter forensik dan patolog Belanda itu sangat menentukan jawaban atas teka-teki yang menyelimuti dunia hukum Indonesia pasca kematian aktivis HAM, Munir. Visum yang dibuat Visser dan Kubat membuka tabir yang masih gelap: Munir meninggal karena “konsentrasi arsen sangat meningkat” dalam darahnya. Dalam bahasa awam, Munir telah diracun di dalam pesawat yang ia tumpangi menuju Belanda.

 

Dokumen hasil visum Munir bisa diperoleh dan ditunjukkan dalam sidang pengadilan di Indonesia. Sebaliknya, doker Visser dan dokter Kubat tak bisa mengikuti proses persidangan kasus pembunuhan Munir secara terus menerus di PN Jakarta Selatan 2005 silam. Dokumen pengadilan Indonesia, kalaupun mereka hendak mengakses saat itu, tidak gampang memperolehnya.

 

Persentuhan pengiriman dokumen bisa jadi bukan hanya dalam kasus Munir. Ketika Indoveer Bank, anak usaha Bank Indonesia, dibangkrutkan di Belanda, kemungkinan ada pelayanan pengiriman dokumen dari Indonesia ke Belanda atau sebaliknya.

 

Agar proses pengiriman dokumen pengadilan dari Indonesia ke Belanda berjalan lancar, belum lama ini Kementerian Luar Negeri Belanda c/q Civil Division of Legal Affairs Department melayangkan dokumen ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda. Pada 20 Juli lalu, KBRI meneruskan dokumen itu ke Kementerian Luar Negeri di Jakarta. Ditjen Protokoler dan Konsuler Kementerian Luar Negeri meneruskan dokumen tadi ke Mahkamah Agung dan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM.

 

Dokumen dimaksud mengatur tentang tata cara penyampaian dokumen hukum Pengadilan Indonesia kepada warga negara atau badan hukum Belanda di Belanda. Berdasarkan salinan salinan surat Ditjen Protokoler dan Konsuler yang diperoleh hukumonline, dipersyarakan bahwa dokumen yang dikirim ke Negeri Kincir Angin itu bukan merupakan kutipan dari dokumen asli. Dengan kata lain, dokumen hukum yang akan diteruskan melalui Kementerian Luar Negeri harus dokumen asli dan lengkap.

 

Setiap permintaan bantuan hukum dalam masalah perdata dan niaga di Belanda dilakukan melalui saluran diplomatik. Kementerian Luar Negeri Belanda meneruskan permohonan itu ke lembaga yang berwenang di sana. Untuk timbal balik hubungan perdata dan niaga, yang berwenang adalah De Officier van Justitie (Public Prosecutor at the District Court of Hague). Lalu, permohonan diteruskan kepada individu atau badan hukum yang dituju. “Jadi, secara prosedual, KBRI tidak dapat menyampaikan secara langsung putusan pengadilan di Indonesia kepada pihak tertuju,” demikian penggalan surat Ditjen Protokoler dan Konsuler ke Sekretaris Mahkamah Agung.

 

Kementerian Luar Negeri meminta Mahkamah Agung agar menyertakan ringkasan dokumen pengadilan dalam bahasa Inggris. Cara ini dilakukan untuk mengantisipasi agar proses penerjemahan seluruh dokumen tidak memberatkan Mahkamah Agung. Hal ini juga mengantisipasi jika pihak tertuju tidak mengerti bahasa Indonesia.

 

Namun saat dikonfirmasi Jum’at (03/9) kemarin, Sekretaris Mahkamah Agung HM Rum Nessa mengatakan tidak ingat persis apakah sudah menerima surat dari Kementerian Luar Negeri itu atau belum.

 

Konvensi 1965

Tatacara pengiriman naskah Pengadilan Indonesia ke Belanda merupakan tindak lanjut dari Konvensi Hague tentang Pengiriman Dokumen Pengadilan ke Luar Negeri (Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters. Belanda adalah negara anggota Konvensi 1965 tersebut.

 

Biasa disingkat Hague Service Convention adalah perjanjian multilateral yang disepakati peserta Konperensi Hukum Privat Internasional pada 15 November 1965. Keuntungan Konvensi ini adalah menyeragamkan prosedur pengiriman dokumen-dokumen hukum di negara anggota.

 

Konvensi ini berisi 31 pasal, mengatur antara lain perlunya membuat otoritas khusus yang melayani permohonan pengiriman dokumen hukum tersebut. Otoritas ini berwenang menentukan apakah suatu permohonan atau pengiriman dokumen sudah sesuai dengan Konvensi atau belum. Pasal 4 Konvensi tegas menyebutkan: “If the Central Authority considers that the request does not comply with the provision of the present Convention, it shall promptly inform the applicant and specify its objections to the request”.

 

Tags: