Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan
Fokus

Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan

Tidak sedikit masyarakat yang masih berpikiran skeptis terhadap lembaga Paksa Badan (gijzeling) bagi para debitur nakal. Mereka mengatakan Paksa Badan tidak menyelesaikan persoalan inti, yaitu kembalinya dana kreditur. Beberapa praktisi hukum malah menilai, dasar hukum lembaga Paksa Badan yang hanya berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) jauh dari memadai.

Amr/APr
Bacaan 2 Menit
Proporsionalitas Lembaga Paksa Badan
Hukumonline

Seperti yang pernah dikemukakan hakim agung Muladi, pada dasarnya keberadaan lembaga Paksa Badan tidak ditujukan untuk mengembalikan dana kreditur yang ditahan debitur beserta penjaminnya. Menurut mantan Menteri Kehakiman ini, Paksa Badan lebih cenderung memberikan jaminan kepada para kreditur bahwa pihak debitur akan berpikir dua kali untuk berbuat nakal.

Dari sini, ada beberapa hal yang agak menarik untuk ditinjau lebih lanjut. Pertama, menyangkut dasar hukum Paksa Badan. Kedua, berkaitan dengan relevansi pengenaan Paksa Badan terhadap debitur bandel dengan pengembalian dana krediturnya. Artinya, sampai sejauh mana ekspektasi dari kreditur akan pengembalian piutangnya akan dijawab oleh lembaga Paksa Badan ini.

Untuk hal yang terakhir, barangkali kita akan mempersoalkan proporsionalitas lembaga Paksa Badan yang termasuk lingkup hukum eksekusi. Dalam hal ini, kita akan menengok sedikit tentang latar belakang pengenaan Paksa Badan kepada pihak tertentu dalam lingkup hukum perdata.

Penerapan sanksi pidana dalam lingkup hukum perdata merupakan persoalan yang lain lagi. Jadi, kita pun harus mengetahui landasan hukum yang membenarkan penerapan sanksi pidana Paksa Badan ke dalam wilayah hukum perdata.

Paksa Badan secara umum

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.2 Tahun 1964 dan No.2 Tahun 1975 telah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan dan Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai "gijzeling". Gijzeling yang diatur dalam Pasal 209-224 Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB/HIR) dan Pasal 242-258 RBg (luar Jawa dan Madura) dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan.

Menurut Muladi, dalam perkembangannya pro-kontra terhadap SEMA itu terus terjadi karena landasan hukum pembekuan ketentuan HIR dan RBg tersebut dianggap tidak memadai. MA saat itu dinilai mulai menghambat pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka, seperti diamanatkan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 serta Pasal 27 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970.

Kemudian melalui PERMA No.1 Tahun 2000, kedua SEMA di atas dinyatakan tidak berlaku lagi. Dasar pertimbangannya, pembekuan lembaga gijzeling dipandang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa.

Sebagian praktisi hukum sama sekali tidak memPermasalahkan apabila gijzeling diterjemahkan sebagai Paksa Badan atau penyanderaan. Pasalnya, substansinya senafas, perampasan kemerdekaan orang.

Perampasan kemerdekaan orang merupakan wajah lain pro-kontra terhadap penerapan kembali Paksa Badan. Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto pernah mengungkapkan bahwa apapun dasarnya, Paksa Badan mengandung unsur perampasan kebebasan seseorang (dalam hal ini debitur). "Kebebasan seseorang yang HAM-nya dijamin oleh hukum," tegas Djoko.

Paksa Badan dalam latar belakang

Untuk menjawab sejauh mana proporsionalitas Paksa Badan sebagai sanksi perdata terhadap debitur yang beritikad buruk akan dimulai dari tinjauan gijzeling dari sisi hukum pidana dan HAM. Sepadankah pengenaan Paksa Badan selama 3 tahun dengan kerugian yang diderita kreditur ketika piutangnya tetap tidak kembali, sekalipun Paksa Badan telah dikenakan atas diri debitur?

Menurut Perma No.1 Tahun 2000, Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh pengadilan, untuk memaksa yang berkewajiban memenuhi kewajibannya.

Lembaga Paksa Badan timbul dari hubungan hukum perdata antara sculdeiser/kreditur dengan sculdenaar/debitur. Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar sejumlah uang kepada kreditur. Dalam wilayah hukum publik, Paksa Badan diatur dalam UU No.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, konteksnya adalah Wajib Pajak yang tidak disiplin.

Hubungan hukum antara kreditur dan debitur diatur dalam KUH perdata Buku III tentang Perikatan. Di sana ada dua pihak, pihak yang berhak atas prestasi atau pihak berhak (schuldeiser) dan pihak yang berkewajiban memberi prestasi (schuldenaar).

Prestasi memiliki arti luas yang tidak hanya berupa uang, tetapi apa saja yang tidak dilarang oleh hukum. Jadi, bisa berupa penyerahan barang yang tidak berupa uang, kewajiban melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

Dari pengertian di atas bisa terjadi, dalam suatu hubungan hukum perikatan pada suatu waktu, suatu pihak bisa menjadi pihak yang berhak. Namun di lain waktu, bisa menjadi pihak yang berkewajiban. Kalau seorang penjual barang tidak menyerahkan barang kepada pembeli setelah menerima pembayaran, si penjual menjadi pihak berkewajiban.

Ketika yang berkewajiban/debitur tidak memenuhi kewajibannya, walaupun ia mampu melakukannya, pengadilan berhak mengeluarkan perintah untuk melakukan Paksa Badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik itu.

Paksa Badan dalam hukum perdata

Pasal 28 i ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum. Dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bunyi Pasal 4 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM adalah persis sebagaimana Pasal 28 i tersebut di atas. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 28 j UUD 1945, serta Pasal 67, 68, 69, 70, dan 73 UU No.39 Tahun 1999. Juga dengan beberapa pranata hukum internasional.

Perhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 21 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3 Universal Declaration on Human Rights (UDHR), Pasal 9 dan 11 International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR).

Pasal 3 UDHR berbunyi, setiap orang mempunyai hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi. Sementara Pasal 9 ICCPR berbunyi, tak seorang pun bisa dicabut kebebasannya kecuali atas dasar sesuai dengan ketentuan menurut undang-undang. Dan Pasal 11 ICCPR bunyinya, tak seorangpun boleh dipenjara semata-mata atas dasar ketidakmampuannya untuk memenuhi kewajiban dalam kontrak.

Ketentuan-ketentuan tersebut mengatakan dapat saja seseorang terampas kebebasannya karena hukuman badan yang dijatuhkan kepadanya dengan putusan pengadilan pidana (lingkup hukum publik). Sedang terampasnya kebebasan seseorang lewat Paksa Badan, walaupun masih lewat putusan pengadilan, lingkupnya adalah hukum perdata.

Namun melihat pengaturan tentang Paksa Badan adalah oleh RIB/HIR dan RBg yang merupakan hukum acara, Paksa Badan juga mencakup lingkup hukum acara atau eksekusi.

Pasal 5 Perma No.1 Tahun 2000 menyatakan Paksa Badan ditetapkan untuk 6 bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 tahun. Kecuali terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang telah berusia 75 tahun, Paksa Badan juga dapat dikenakan atas ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur yang beritikad tidak baik (Pasal 3).

Paksa Badan dalam perspektif debitur

Jika memperhatikan uraian argumentasi di atas, lembaga Paksa Badan sebagai sanksi terhadap debitur yang beritikad tidak baik adalah proporsional. Hak kemerdekaan seseorang, seperti yang dikatakan UU HAM, tidak dapat dikurangi apalagi dicabut dalam keadaan apapun.

Pengenaan sanksi Paksa Badan dalam hukum perdata/kepailitan dalam hal ini hanya dapat dibenarkan atas dasar asas komplementer (principle of complementary) dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat. Dengan demikian, tidak tepat jika masyarakat menganggap lembaga Paksa Badan tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya, kembalinya hak si kreditur.

Lembaga Paksa Badan sesungguhnya diadakan untuk tujuan yang lebih jauh, yaitu mengermbalikan keseimbangan yang hilang ketika debitur terbukti di pengadilan dengan sengaja melanggar hak dari kreditur untuk mendapatkan prestasi yang seharusnya ia terima. Dengan dasar itu, sebagian hak dari debitur yang beritikad tidak baik tersebut dikurangi, yaitu hak atas kebebasannya.

Hak atas kebebasan seseorang merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai secara ekonomis. Walaupun Perma No.1 Tahun 2000 mengatur bahwa Paksa Badan hanya dapat dikenakan pada debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai hutang sekurang-kurangnya Rp1 miliar, bukan berarti angka itu mencerminkan harga dari hak atas hidup bebasnya seseorang.

Mengapa kita tidak mempertanyakan lebih jauh mengenai proporsionalitas lembaga Paksa Badan ini dari sudut pandang si debitur yang beritikad tidak baik yang bersangkutan? Apakah Perma No.1 Tahun 2000 telah memberikan pengaturan yang memadai menyangkut bidang acara Paksa Badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik?

Djoko Sugianto dari Komnas HAM memandang dari sudut pandang debitur yang dikenakan Paksa Badan, acara Paksa Badan yang diatur Perma No.1 Tahun 2000 masih belum memenuhi asas proporsionalitas.  Perma No.1 Tahun 2000 yang mengatur lembaga Paksa Badan ini memang masih banyak mengandung kelemahan mendasar seperti itu.

Beberapa ketentuan dalam Perma No.1 Tahun 2000 merupakan ketetenuan hukum yang seharusnya menjadi porsi dari peraturan yang tingkatnya jauh lebih tinggi, yaitu undang-undang. Gagasan ini didukung oleh Muladi yang mengemukakan bahwa pengaturan pelaksanaan Paksa Badan terhadap debitur yang beritikad tidak baik, tidak boleh diatur secara khusus dalam Perma, melainkan harus dengan undang-undang.

Apalagi pasal 2 Perma No.1 Tahun 2000 dengan tegas mengatur bahwa Perma tersebut bisa mengatur menyimpang dari ketentuan HIR dan RBg, yang hierarkinya sama dengan undang-undang.

Agar dasar hukum Paksa Badan dapat dijalankan secara efektif, maka cacat-cacat yang ada di dalamnya harus segera diperbaiki. Utamanya, menyangkut upgrading atau peningkatan derajat peraturan perundangan yang akan mengaturnya, yaitu tidak lagi dengan Perma, melainkan dengan undang-undang.

 

Tags: