Properti untuk WNA Dibuka, Perhatikan Usulan Ini
Berita

Properti untuk WNA Dibuka, Perhatikan Usulan Ini

Kontrol Pemerintah harus tetap ada, termasuk terhadap properti yang dimiliki asing.

FNH
Bacaan 2 Menit
Kepala BKPM Franky Sibarani  (kiri). Foto: RES
Kepala BKPM Franky Sibarani (kiri). Foto: RES
Di tengah lesunya perekonomian dunia, Indonesia berupaya membuka ruang investasi di berbagai sektor untuk menggeliatkan roda perekonomian dalam negeri. Salah satu sektor yang diusulkan adalah kepemilikan asing atas properti. Pemerintah sudah membuka wacana membuka ruang bagi asing untuk memiliki properti di Indonesia.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengakui telah mengusulkan adanya perpanjangan kepemilikan asing atas properti di Indonesia, yang sebelumnya hanya 15 x 2 tahun dan dapat diperpanjang 10 x 2  tahun atau selama 50 tahun, menjadi 25 tahun x 2 dan dapat diperpanjang menjadi 15 tahun x 2 yakni 80 tahun. Tujuannya, untuk menarik investor asing menanamkan investasi di Indonesia.

Franky mengakui terus terang, usulan itu sesuai misi BKPM menarik investor sebanyak-banyaknya. “Usul kami untuk menarik investor,” kata Franky kepada hukumonline, Senin (29/6).

Namun Franky menegaskan asing boleh punya properti dengan syarat: tidak berlaku di seluruh kawasan Indonesia. BKPM mengusulkan hanya berlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK diharapkan akan menjadi pusat dan pertumbuhan ekonomi baru. Ditegaskan Franky, gagasan memudahkan asing berinvestasi itu masih terus dimatangkan oleh BKPM.

Pengamat Properti, Nirwono Yoga, menilai ada tiga persoalan investasi terkait properti yang harus dituntaskan. Pertama, investasi properti yang dibuka untuk asing harus berada pada kawasan-kawasan tertentu. Jika tidak, perkembangan ekonomi akan terus berpusat di daerah yang sudah maju dan berkembang. “Misalnya ke daerah Indonesia Timur yang memang membutuhkan investor asing untuk bisa mengembangkan daerah,” kata Nirwono kepada hukumonline.

Dalam hal ini, pemerintah harus tegas daerah mana saja yang menjadi daerah unggulan untuk menarik investor asing masuk. Sehingga kebijakan kepemilikan lahan yang diperpanjang menjadi 80 tahun menjadi menarik bagi investor asing.

Kedua, untuk daerah-daerah yang sudah berkembang, daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata dan punya keunggulan, Pemerintah dapat melakukan proteksi untuk warga Indonesia. Pemerintah harus berani memihak dan mempermudah akses kepemilikan properti kepada WNI. “Misalnya daerah Mataram yang punya potensi pariwisata bagus. Ini harusnya diproteksi supaya daerah wisata di Mataram jangan sampai jatuh ke tangan asing. Berarti tetap dikuasai sama warga Indonesia. Membatasi wilayah strategis tadi di bawah kepemilikan WNI,” imbuhnya.

Ketiga, Pemerintah harus mengambil peran sebagai pemilik bank lahan. Pemerintah harus dapat mengendalikan pertumbuhan kota dan pembangunan kawasan serta mengatur tata ruang. Selama ini, Pemerintah tidak memiliki peran sebagai bank lahan sehingga tata ruang kota menjadi amburadul.

Pembebasan lahan, lanjutnya, tidak bisa diserahkan ke asing atau mekanisme pasar. Pemerintah justru seharusnya menjadi pihak yang membeli lahan dan mengatur layaknya di Singapura dan Tokyo Jepang. Jika terus diserahkan ke mekanisme pasar, tata ruang akan kacau dan sembrawut. Untuk itu, pemerintah harus berani menjadi panglima pembangunan kota maupun wilayah di Indonesia.

“Ujung-ujungnya tentu terjadi degradasi kualitas lingkungan karena pemerintah tidak punya kuasa. Hanya memberi izin. Itu tidak ampuh,” jelas Nirwono.

Ia mencatat, dari segi hukum, kegagalan di Indonesia terkait investasi adalah tata ruang yang buruk dan sulit diatur karena lahan yang akan diatur dimiliki oleh pengembang, pemilik properti. Apalagi jika properti tersebut dimiliki oleh asing.

Namun demikian, Nirwono sepakat jika pemerintah membuka peluang investor untuk masuk ke daerah KEK. Jika diletakkan di lokasi KEK, maka pengendaliannya juga akan menjadi khusus. Yang terpenting, Nirwono mengingatkan, Pemerintah tetap mengawal pembangunan di KEK.

“Jadi sering lepas kontrolnya di situ. Ketika dikuasai asing, pemerintah tidak bisa masuk. Harus ada batas-batas tertentu untuk penguasaan oleh asing dimana boleh dikuasai dan dimana yang tidak. Kalau tidak, pemerintah cuma bisa jadi penonton dan masyarakat di daerah tidak akan bisa ikut berkembang, warga lokal tetap harus diberi kesempatan untuk memiliki properti,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait