Pro-kontra Citizen Law Suit: Belajar dari Kasus Nunukan
Fokus

Pro-kontra Citizen Law Suit: Belajar dari Kasus Nunukan

Sebuah terobosan hukum kembali bergulir dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Untuk pertama kalinya, pengadilan membenarkan sebuah gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara, atau mekanisme hukum yang lazim disebut citizen law suit. Model alternatif gugatan di masa mendatang.

Mys/Nay
Bacaan 2 Menit
Pro-kontra Citizen Law Suit: Belajar dari Kasus Nunukan
Hukumonline

Selain menjadi berita baik bagi ke-53 penggugat, penetapan majelis hakim pada Senin (12/05) bisa menjadi preseden bagi gugatan-gugatan sejenis di masa mendatang. Selain tragedi buruh migran Nunukan, gugatan secara citizen law suit yang telah didaftar ke pengadilan adalah kasus divestasi Indosat.

 

Tim Advokasi Tragedi Nunukan sendiri awalnya tidak terlalu optimis. Dalam acara konperensi pers di Gedung Adam Malik YLBHI, dua hari menjelang penetapan, nuansa pesimisme muncul di antara para wakil dan kuasa penggugat. "Sebab, kami melihat ada beberapa persoalan mendasar yang mengganggu upaya para penggugat mencari keadilan," Choirul Anam, salah satu kuasa penggugat, memberi alasan.

 

Choirul tentu tidak asal omong. Perjalanan sidang atas perkara ini begitu berliku. Beberapa kali sidang ditunda karena tergugat -- antara lain presiden dan lima menteri -- maupun kuasa hukumnya tidak hadir. Penyebabnya, tak lain adalah surat kuasa. Masalah surat kuasa tergugat sampai memakan waktu tiga kali persidangan. "Majelis hakim terlalu akomodatif terhadap ketidakseriusan para kuasa tergugat," tulis Tim Advokasi Tragedi Nunukan (TATN) dalam rilisnya.

 

Hal lain yang dipersoalkan TATN adalah keputusan hakim untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap gugatan para penggugat. Pasalnya, pemeriksaan pendahuluan (dismissal process) hanya dikenal dalam gugatan PTUN, tidak dalam gugatan perdata.   

 

Namun pesimisme para penggugat dijawab majelis hakim dengan terobosan hukum. Saat mengeluarkan penetapan atas pemeriksaan pendahuluan Senin lalu, majelis hakim pimpinan Andi Samsan Nganro -- bersama Iskandar Tjakke dan Sunaryo-- menyetujui mekanisme citizen law suit, meskipun dasar hukumnya masih menjadi perdebatan.

 

Majelis berargumen bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 --sebagaimana diubah UU No. 35/1999-- tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman, hakim tidak boleh menolak untuk menangani perkara. Di samping itu, hakim berkewajiban untuk menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat. "Hakim tidak boleh menolak perkara walau belum ada dasar hukumnya," urai majelis hakim dalam putusannya.

 

Uraian majelis hakim memang sejalan dengan pasal 14 ayat (1) UU No. 14/1970 yang berbunyi: Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

 

Ketua majelis hakim perkara tersebut, Andi Samsan Nganro, kepada hukumonline menyatakan bahwa dalam membuat keputusan itu, ia mencoba memberanikan untuk membaca kebutuhan masyarakat.

 

Andi mengemukakan alasan mengapa hakim mengabulkan bentuk gugatan citizen lawsuit yang belum ada ada dasar hukumnya. Pasalnya, dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak jelas hukumnya.

 

Apalagi menurut Andi, secara filosofis, setiap warga negara berhak untuk membela kepentingan umum atau kepentingan publik. Selain itu, tuntutan hukum masyarakat dewasa ini semakin menempatkan pengadilan sebagai tumpuan harapan untuk mencari keadilan dan terobosan-terobosan hukum.

 

"Membaca fakta itu, dihubungkan dengan filosofi bahwa setiap warga negara mempunyai kepentingan publik, maka gugatan  yang mengatasnamakan warga Nunukan yang merasa sebagai korban, kami terima," ujar Andi. Alasannya, gugatan seperti ini menggugat otoritas negara -- pemerintah -- untuk sesuatu tindakan yang merugikan kepentingan umum. Andi juga menyatakan bahwa putusannya itu adalah sebuah terobosan hukum.

 

Memperdebatkan dasar hukum

Sejauh ini, pihak Kejaksaan Agung selaku kuasa hukum para tergugat memang tetap pada pendiriannya. Slamet Riyadi, jaksa pengacara negara, tetap mempersoalkan dasar hukum pengajuan gugatan secara citizen law suit. "Itu kan belum diatur menurut hukum positif. Yang ada baru gugatan class action dan legal standing," ujarnya, menanggapi keputusan PN Jakarta Pusat.

 

Argumen serupa sudah disampaikan tujuh jaksa pengacara negara dalam sidang 5 Mei lalu. Mereka berdalih bahwa citizen law suit hanya dikenal dalam common law system, terutama dalam perkara-perkara lingkungan hidup di Amerika Serikat.

 

Di negara Paman Sam, model gugatan citizen di bidang lingkungan ini diartikan sebagai hak yang diberikan oleh undang-undang kepada warga negara untuk menggugat orang lain, negara, pihak lain atau gabungannya untuk melindungi lingkungan hidup.

 

Citizen law suit dapat diajukan apabila terdapat violating the environment law atau terdapat ancaman terhadap lingkungan hidup. Menurut kuasa para tergugat, untuk bisa mengajukan citizen law suit, pengadilan harus memperhatikan ada tidaknya standing. Sebab, kalau tidak ada standing, maka gugatan tidak dapat diperiksa.

 

Tetapi argumen tergugat dibantah oleh TATN. Meskipun tidak ada dasar hukum, nyatanya dalam praktek, pengadilan telah berkali-kali melakukan terobosan hukum. Secara yuridis, kasus Nunukan adalah kasus pelanggaran HAM.

 

Pasal 71 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas menyebut bahwa "perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah". Selanjutnya, pasal 7 ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang untuk melakukan semua upaya hukum atas terjadinya pelanggaran HAM.

 

Bukan korban

Salah satu masalah penting yang dikritisi kuasa hukum para tergugat adalah keterwakilan penggugat. Sebagaimana diketahui, gugatan atas tragedi Nunukan ke PN Jakarta Pusat diajukan oleh 53 orang anggota masyarakat. Mulai dari rohaniwan Romo Sandyawan Sumardi, aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana, bekas buruh migran hingga ibu rumah tangga. Pendek kata, para penggugat bukanlah korban langsung dari tragedi Nunukan.

 

Itulah yang dipersoalkan Slamet Riyadi dan kawan-kawan. Menurut kuasa hukum tergugat tersebut, citizen law suit mestinya merupakan gugatan yang diajukan oleh orang yang benar-benar telah nyata (secara langsung) menderita kerugian. Dan, yang tak kalah pentingnya, penggugat diberi hak oleh undang-undang untuk menggugat. Oleh karena syarat tersebut tidak dipenuhi, menurut tergugat, gugatan Romo Sandyawan Cs harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

TATN sendiri mengakui bahwa para penggugat bukanlah korban langsung. Tetapi, ada  keluarga buruh migran, mantan buruh asal Indonesia, pekerja sosial, dan masyarakat biasa. Tragedi Nunukan telah menggugah mereka untuk menggugat.

 

Menurut Romo Sandyawan, dalam tragedi yang menewaskan 79 orang buruh migran itu, pemerintah terkesan tidak tanggap. Penelitian kalangan LSM menunjukkan bahwa para buruh sudah diperlakukan tidak manusiawi sejak masa pengiriman hingga terusir dari Malaysia. "Itu menunjukkan parahnya perlindungan hukum (dari Pemerintah) terhadap buruh migran," Rita Olivia, salah seorang anggota TATN, menambahkan.

 

Gugatan yang terdatar di PN Jakarta Pusat pada 24 Januari 2003 itu dilakukan karena telah terjadi pelanggaran HAM terhadap buruh migran Indonesia dan anggota keluarganya. Mereka dideportasi paksa secara massal dari Malaysia ke Nunukan, Kalimantan Timur, Juli 2002.

 

Tidak aneh kalau gugatan itu dilayangkan terhadap sembilan instansi pemerintah terkait yang dinilai lamban menangani tragedi Nunukan, Juli 2002. Mereka adalah Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Kesehatan, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, dan Dirjen Imigrasi Departemen Kehakiman & HAM.

 

Dalam gugatannya, TATN meminta pengadilan untuk menyatakan para tergugat lalai dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya yang menjadi buruh migran di luar negeri. Akibat kelalaian itu, telah menyebabkan kerugian materiil dan immateriil bagi para buruh migran.

 

Penggugat juga meminta agar pengadilan menghukum para tergugat untuk segera meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak Buruh Migran (1990), membuat perjanjian bilateral dengan Malaysia tentang penempatan buruh migran. Di samping melakukan investigasi atas kerugian tadi, pemerintah diminta pula membicarakan kompensasi kepada para korban dengan pemerintah Malaysia.

 

Apakah permintaan itu dikabulkan atau tidak, sepenuhnya tergantung majelis hakim. Toh, materi gugatan belum disentuh sama sekali. Sidang-sidang berikutnya masih akan diwarnai pro-kontra dan argumentasi hukum. Tetapi, pengakuan majelis hakim atas mekanisme citizen law suit patut dicatat sebagai terobosan hukum dalam sejarah pengadilan Indonesia. "Saya kira itu bisa menjadi preseden hukum di masa mendatang," ujar Asfinawati, anggota TATN lainnya.

 

Tags: