Program Bela Negara Tak Harus Dengan Pendidikan Militer
Berita

Program Bela Negara Tak Harus Dengan Pendidikan Militer

Karena keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesinya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Dia menyarankan perguruan tinggi yang bakal menyelenggarakan pendidikan militer dapat menghidupkan kembali mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan memodifikasi program serupa. Tak hanya teori, tetapi mengkombinasikan dengan pendidikan outdoor atau praktik. “Tapi juga bukan berbentuk pendidikan militer, karena bukan dilakukan dalam rangka mencetak para kombatan,” ujarnya mengingatkan.

Sukamta melanjutkan ancaman terhadap sebuah negara tak hanya serangan militer, tapi bisa ancaman berupa ekonomi, ideologi, wabah penyakit, hingga siber. Dia menekankan program bela negara tak selalu harus mencetak para kombatan, tapi terpenting mencetak generasi bangsa tangguh yang siap membela negara dengan bidang keahlian masing-masing.

“Yang penting disini tujuan kita adalah menumbuhkan kesadaran mahasiswa untuk hidup berbangsa dan bernegara serta menanamkan nilai-nilai dasar pembelaan negara,” katanya.

Gagal memahami kebutuhan

Sementara Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani menilai melalui kerja sama yang bakal dijalin antara Kemhan dengan Kemendikbud menunjukan pemerintah gagal memahami kebutuhan dan prioritas dunia pendidikan. Dia menilai terdapat sejumlah persoalan berkaitan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, belakangan terakhir. Alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, melalui kerja sama Kemhan dan Kemendikbud ini, malah pemerintah bakal memprogramkan militerisasi sektor pendidikan.

Bagi Ismail, rencana kebijakan tersebut mencerminkan terjadinya militerisasi sektor pendidikan. Mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Pada Juni 2019 lalu, Kemendikbud juga telah menggandeng TNI untuk membina para peserta didik baru yang difokuskan pada karakter nasionalisme siswa dengan materi mengacu pada Kemendikbud.

Karakter utama yang diajarkan mengenai nasionalisme yang bertujuan untuk menangkal paham radikalisme di kalangan siswa yang akan dilaksanakan pada masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) mulai jenjang SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Ismail juga menilai secara spesifik terjadi militerisasi dalam program bela negara dan makna nasionalisme. Padahal, Pasal 6 ayat (2) huruf d UU 23/2019 hanya menyebutkan salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi.

“Menjadi pertanyaan, dalam dunia kampus yang notabene dunia akademik, mengapa bentuk bela negara yang dicanangkan bersifat militeristik? Hal ini tidak relevan, karena seharusnya yang dicanangkan adalah pengabdian sesuai dengan profesi,” kritiknya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan (Wammenhan) Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan nantinya pendidikan militer lewat program bela negara tersebut akan diikuti dalam satu semester dan nilainya dimasukkan ke dalam Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil mahasiswa. Wacana ini menjadi salah satu yang sedang didiskusikan Kemhan dengan Kemendikbud untuk dijalankan.

Menurut Wamenhan, kerja sama tersebut menjadi upaya pemerintah agar generasi milenial tak hanya hanya kreatif dan inovatif, tapi juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, kecintaan generasi milenial terhadap negara bisa ditunjukkan dengan bergabung dalam komponen cadangan (Komcad), seperti yang diamanatkan UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Tags:

Berita Terkait