Profesor Nilai Revisi Hukum Acara Perdata di Prolegnas Kurang Tepat
Utama

Profesor Nilai Revisi Hukum Acara Perdata di Prolegnas Kurang Tepat

Seharusnya revisi hukum acara perdata ini dibarengi dengan pembahasan hukum materilnya juga.

RIA
Bacaan 2 Menit
Suasana Konferensi Nasional Hukum Perdata II di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Kamis (16/4). Foto: RIA.
Suasana Konferensi Nasional Hukum Perdata II di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Kamis (16/4). Foto: RIA.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof. Y. Sogar Simamora menilai masuknya revisi undang-undang hukum acara perdata ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) sebagai langkah yang kurang tepat.

Dalam Konferensi Nasional Hukum Keperdataan II di FH Universias Udayana (Bali), Kamis (16/4), Sogar berpendapat pembaharuan perangkat aturan formil dari hukum perdata seharusnya dibarengi dengan perbaikan peraturan materilnya juga.

“Kalau hendak membangun undang-undang hukum acara perdata, mau ngga mau mustinya juga harus mengagendakan legislasi tentang undang-undang perikatan. Mengapa undang-undang perikatan? Karena itu mengatur dari hukum materilnya,” tutur pria yang menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK).

Pembahasan mengenai perikatan ini menjadi satu hal yang dirasa urgen oleh Sogar. Pasalnya, hingga saat ini, buku mengenai perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) sudah tidak sesuai.

Berdasarkan catatan, tiga buku lainnya dalam kitab undang-undang peninggalan Belanda yang diundangkan pada tahun 1838 ini sudah ada lex specialis-nya sendiri yang dituangkan dalam hukum positif Indonesia.

“Buku satu mengenai orang ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, buku dua tentang benda diantaranya ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, buku empat tentang pembuktian, itu udah jadi domain hukum acara perdata. Tinggal buku tiga tentang perikatan,” jelas Sogar kepada hukumonline.

Oleh sebab itu pula, lanjutnya, para akademisi dari Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan (APHK) mengadakan Konfrensi Nasional Hukum Keperdataan II berfokus membahas mengenai perikatan dengan tajuk acara “Karakteristik Hukum Perikatan Indonesia Menuju Pembaharuan Hukum Perikatan Nasional”.

“Kita harus objektif bahwa banyak ketentuan yang ada di dalam buku tiga itu yang udah ngga sesuai lagi dengan kebutuhan hukum,” ujar Sogar.

Sogar menyebutkan, bagaimana mungkin orang Indonesia masih bisa mengacu pada  peraturan yang sudah dibuat berabad-abad lalu, yang sepertinya pada zaman itu mobil saja belum ada. “Apalagi internet. Sekarang orang transaksi apa-apa sudah online,” imbuhnya.

Hal serupa dikemukan oleh Prof. Nindyo Pramono. Menurut guru besar asal Fakultas Hukum asal Universitas Gadjah Mada ini, pengadaan undang-undang perikatan sudah menjadi satu urgensi bagi praktik hukum di Indonesia, sebab sudah banyak pengaturan yang sudah tidak tepat lagi, yang mana jika melihat pada praktiknya, praktik-praktik ini sudah melenceng jauh dari pengaturan di Indonesia sekarang.

“Kalau bicara kepentingan praktik, ini (pembahasan legislasi rancangan undang-undang perikatan, red) sudah harus dimulai,” ungkapnya.

Baik Nindyo maupun Sogar satu suara, tak perlu bermimpi soal untuk melakukan pembaruan kodifikasi hukum perdata. “Parsial aja udah. Itu paling realistis menurut saya. (Biarkan) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini ke depannya parsial seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,” ujar Nindyo.

“Faktanya kita tidak mampu membuat kodifikasi yang general. Makanya harus realistis. BW yang diterjemahkan secara tidak resmi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kalau ndak bisa dibuat secara general seperti itu, ya ambil aja bukunya jadi undang-undang,” lanjutnya.

Tak perlu mengkhawatirkan perkara tumpang tindih pengaturan asalkan semuanya berasal dari satu pintu, sebut Nindyo.

Pembaruan hukum perikatan ini semakin dirasakan urgensinya oleh Nindyo dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlangsung di tahun ini. Berdasarkan pengamatannya, pengaturan-pengaturan di negara-negara tetangga sudah jauh lebih berkembang mengikuti dinamika yang terjadi di kehidupan manusia masa kini.

“Kita jujur aja, menghadapi MEA, kita berada di posisi yang selalu inferior. Ini yang harus dibalik,” kilahnya.

Tags:

Berita Terkait