Profesor Ini Sarankan Standar Lingkungan Hidup Diperkuat dalam RUU Cipta Kerja
Utama

Profesor Ini Sarankan Standar Lingkungan Hidup Diperkuat dalam RUU Cipta Kerja

Karena ekonomi dan masyarakat sangat bergantung terhadap lingkungan hidup. Misalnya, sektor perikanan sangat tergantung pada ekosistem di lautan. Jika ekosistem laut bagus dan tidak rusak, ikan akan berlimpah, dan pekerjaan sebagai nelayan akan tercipta.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kegiatan nelayan. Foto: kampungnelayan.com
Kegiatan nelayan. Foto: kampungnelayan.com

DPR bersama pemerintah dan DPD masih membahas materi muatan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Pembahasan didasarkan pada daftar inventarisasi masalah (DIM) dan klaster dalam RUU Cipta Kerja yang diarahkan pada kemudahan berusaha melalui penyederhanaan perizinan demi meningkatkan investasi. Seperti diketahui, RUU Cipta Kerja menyasar banyak sektor yang berimplikasi mengubah sekitar 79 UU terdampak, salah satunya sektor perikanan dan kelautan.          

Profesor sekaligus Direktur Penelitian Ekonomi Perikanan di Institute Kelautan dan Perikanan Universitas British Columbia, Canada, Prof Ussif Rashida Sumaila melihat fokus pemerintah dalam RUU Cipta Kerja yakni pembangunan ekonomi dan membuka peluang kerja. Namun, dia mengingatkan agar kebijakan yang diterbitkan ini nantinya jangan mengorbankan tujuan jangka panjang terutama sektor perikanan dan kelautan.   

Sumaila memberi contoh bahwa RUU Cipta Kerja cenderung melonggarkan standar lingkungan yang ada di Indonesia. Padahal, standar lingkungan yang selama ini ada di Indonesia tergolong lemah. “Sinyal kuat pelonggaran standar lingkungan ini bisa dilihat dari dicabutnya ketentuan mengenai komite penilai Amdal dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Sumaila dalam Webinar bertajuk “RUU Cipta Kerja dan Pembangunan Kelautan Berkelanjutan”, Senin (22/6/2020). (Baca Juga: Baleg Bakal Rampungkan DIM Klaster UMKM RUU Cipta Kerja)

Menurut Sumaila, jika standar dan regulasi terkait perlindungan lingkungan dilonggarkan, maka berpotensi menimbulkan eksploitasi berlebihan. Hal ini akan berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Dia menyarankan dalam merancang kebijakan lingkungan ini selayaknya melibatkan partisipasi publik yang luas.

Dia menjelaskan Kanada punya sejarah panjang dalam praktik omnibus law yang pertama kali digunakan sejak 1888. Sampai saat ini praktik omnibus law kerap menuai polemik karena menyasar banyak regulasi dan menyulitkan masyarakat untuk mengkaji secara mendalam. Tahun 1923, Parlemen Kanada menolak omnibus law karena terlalu banyak regulasi yang terdampak dan rumit.

Terpenting, Sumaila menegaskan dalam menyusun omnibus law RUU Cipta Kerja jangan sampai melonggarkan standar lingkungan karena ekonomi dan masyarakat sangat bergantung terhadap lingkungan hidup. Dia memberi contoh perekonomian sektor perikanan sangat tergantung pada ekosistem di lautan. Jika ekosistem laut bagus dan tidak rusak, ikan akan berlimpah, dan pekerjaan sebagai nelayan akan tercipta.

Tapi sebaliknya, jika ekosistem laut rusak maka tidak ada ikan yang bisa ditangkap, tidak akan ada juga pekerjaan nelayan. “Artinya tidak ada keuntungan ekonomi jika ekosistem laut rusak. Kehidupan kita sangat bergantung terhadap ekosistem kelautan dan perikanan yang bagus,” tegasnya.

Menurut Sumaila secara global lautan mengalami gangguan akibat polusi dan perubahan iklim. Stok ikan makin turun dan berdampak terhadap kehidupan manusia. Jika kebijakan yang ditempuh sifatnya relaksasi atau memberi kelonggaran, berarti semakin memburuk kondisi yang ada.

“Harus dicari keseimbangan antara kepentingan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan perlindungan lingkungan hidup. Jika kita tidak peduli lingkungan hidup, maka kita mengorbankan ekonomi dan penciptaan pekerjaan di masa depan,” lanjutnya.

Untuk memastikan agar RUU Cipta Kerja tidak meninggalkan kepentingan nelayan dan ekosistem laut, Sumaila mengusulkan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan manajemen kelautan nasional; memperkuat standar lingkungan; dan jangan merelaksasinya. “Komisi penilai amdal juga perlu diperkuat,” tegasnya.

Anggota Komisi IV DPR Luluk Hamidah menilai RUU Cipta Kerja akan berdampak serius terhadap UU yang ada saat ini. Menurutnya, jangan sampai RUU Cipta Kerja malah melahirkan masalah baru dan lebih besar. Ada kekhawatiran RUU Cipta Kerja makin meminggirkan nelayan dan pembudidaya ikan karena yang lebih diutamakan kepentingan investor.

Bahkan, ada yang berpandangan RUU Cipta Kerja merupakan upaya pemerintah untuk menghancurkan laut atas nama investasi. “Ini yang harus diwaspadai, jangan sampai atas nama investasi kemudian menghalalkan semua cara,” kata dia mengingatkan.  

Luluk melihat ekosistem laut dan pesisir di Indonesia tergolong rusak, ditambah lagi kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan ilegal. Menurut Luluk, hal penting yang harus diperhatikan yakni ekonomi berkelanjutan dan berdaulat. "Sekalipun tujuan RUU Cipta Kerja ingin mendatangkan investasi, tapi jangan korbankan kehidupan rakyat!"

Tags:

Berita Terkait