Profesor Indonesia dalam Pembukaan Rechtshogeschool
Rechtschool

Profesor Indonesia dalam Pembukaan Rechtshogeschool

Sejarah pendidikan hukum di Indonesia sering merujuk pada pendirian Rechtshogeschool di Batavia pada 28 Oktober 1924.

MYS
Bacaan 2 Menit
Profesor Indonesia dalam Pembukaan <i>Rechtshogeschool</i>
Hukumonline

Menelusuri jejak pendirian Sekolah Tinggi Hukum Batavia secara detail bukan perkara mudah. Tidak banyak referensi yang menceritakan saat-saat pendirian Rechtshogeschool (RHS) tersebut yang masih bisa diakses. Salah satu bukti yang bisa dilihat adalah foto hitam putih koleksi Tropenmuseum.

Sebuah foto memperlihatkan 10 orang pria, tiga diantaranya duduk. Di bawah foto tertulis dalam Bahasa Belanda: Aangeboden aan Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie ter geleenheid van de opening der Rechtshogeschool te Batavia. Kira-kira berarti foto ini dipersembahkan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam pembukaan Sekolah Tinggi Hukum Batavia.

Dalam caption foto juga tertulis keterangan salah seorang tokoh yang duduk adalah Prof. Hoesein Djajadiningrat. Dari nama dan wajah, Prof. Hoesein adalah satu-satunya orang non-Eropa. Tapi siapakah Hoesein yang ada dalam foto pembukaan HRS?

Nama Hoesein Djajadiningrat sering dikaitkan dengan hasil Politik Etis, yakni kebijakan Belanda membuka peluang sekolah bagi warga pribumi. Dalam buku ‘Jakarta: Sejarah 400 Tahun’, (terjemahan edisi 2012), Susan Blackburn menulis beberapa pemuda yang mengikuti program pendidikan pelaksaan Politik Etis dipilih secara khusus dari keluarga elit, dibawa ke sekolah Eropa di Batavia, dan diasuh di bawah bimbingan  orang Eropa yang bersimpati terhadap orang Indonesia.

Keluarga Hoesein, termasuk kakak tertuanya, Pangeran Achmad Djajadiningrat, termasuk yang mendapat kesempatan itu. Pangeran Achmad kemudian menjadi anak didik Penasihat untuk Urusan Pribumi dan Ahli Islam terkenal, Ch. Snouck Hurgronje (2012: 133).

Hoesein juga menyusul sekolah di Batavia. Sesuai saran Snouck Hurgronje, Hoesein dikirim ke negeri Belanda untuk meneruskan sekolahnya setelah lulus HBS (Hoogere Burgerschool) pada 1904.

Dalam buku Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, Karya dan Pengabdiannya yang ditulis Sutopo Susanto (1984), Hoesein digambarkan sebagai orang yang gemilang mengikuti pendidikan. Begitu tamat HBS, ia mengikuti kursus Bahasa Latin dan Yunani Kuno. Pada 1905 ia diterima di Universitas Leiden.

Ingin menjadi hakim, tapi…
Semula, Hosein hendak mengambil bidang hukum karena ingin menjadi hakim. Namun khawatir akan masa depan pekerjaan adiknya kelak, Pangeran Achmad mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Belanda, apakah warga pribumi bisa menjadi hakim, atau haruskah menjadi warga negara Belanda.

Pertanyaan Pangeran Achmad menjadi perhatian Belanda. Terbukti kemudian, Belanda membentuk suatu komisi yang mempelajari kemungkinan mendirikan sekolah hakim bagi pribumi di Hindia Belanda. Tim ini terdiri dari Hurgronje, van der Swan, dan Mr Koster.

Melalui Besluit Gubernement 9 Desember 1905 –ketika Hoesein sudah di Leiden—menteri jajahan diberi kuasa mengangkat hakim dari kalangan bumiputera. Seperti ditulis dalam biografinya, Hoesein sendiri akhirnya membatalkan minat masuk hukum. Ia memilih bidang bahasa dan sastra.

Hoesein menyelesaikan pendidikannya dengan cumlaude. Karena itu, oleh sejumlah dosen Leiden, ia diminta meneruskan jenjang pendidikan doktor. Akhirnya dengan cumlaude pula pria kelahiran 8 Desember 1886 itu berhasil mempertahankan disertasi Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten. Bijdrag ter kenschetsing van de Javaansche Geschiedschrijving (dibukukan menjadi Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten) pada 3 Mei 1913. Ia lulus di bawah bimbingan promotor Snouck Hurgronje. Dengan cumlaude pula!

Profesor Pertama dari Indonesia
Setelah menyelesaian studi di Leiden, Hoesein kembali ke Tanah Air. Ia bekerja di jawatan bahasa. Dalam jabatan itulah Hoesein pernah ditugaskan ke Aceh, dan menghasilkan Kamus Bahasa Aceh dua jilid. ‘Kamus ini merupakan kamus yang terlengkap yang pernah dibuat orang tentang bahasa-bahasa Nusantara hingga kini’. Jilid pertama 1011 halaman, jilid kedua 1349 halaman.

Pada 1916, bidang pekerjaan Hoesein diperluas. Ia diangkat menjadi Komisaris Negara untuk Urusan Bumiputera, yang membuatnya berhubungan dengan G.A.J. Hazeu, dan kemudian R.A Kern. Salah satu bidang yang diurusi Hoesein adalah urusan Islam. Jabatan sebagai ajunct-adviseur untuk urusan bumiputera dijabat Hoesein selama empat tahun, sampai pada saat ia diangkat menjadi Guru Besar RHS. Pengangkatan ini menjadi Hoesein sebagai orang Indonesia pertama yang diangkat sebagai guru besar.

Di RHS, Hoesein memberikan kuliah mengenai Hukum Islam dan Bahasa Melayu, kemudian juga Bahasa Jawa, dan Bahasa Sunda. Saat mengajar di RHS, ada satu cerita tentang ketidaksukaan Prof. Hoesein tentang penggunaan singkatan. Seorang mahasiswa datang ke rumahnya untuk bimbingan. Ketika ditanya darimana, si mahasiswa menjawab RH, karena saat itu Rechthogeschool biasa disingkat RH. Gara-gara menyingkat itu Prof. Hoesein menyuruh si mahasiswa pulang. Kisah ini diceritakan kembali R.A. Partini, isteri Hoesein, kepada penulis biografi suaminya.

Kiprah lain
Selama karirnya Hoesein banyak mengurusi bahasa dan kebudayaan Indonesia. Termasuk menjadi penasihat untuk restorasi candi, konservator naskah lembaga ilmu pengetahuan (kini dikenal sebagai Museum Nasional). Setelah sepuluh tahun mengajar di RHS, Hoesein diangkat menjadi anggota Dewan Hindia (Raad van Indie).

Jejak dan kontribusi Prof. Hoesein bisa ditelusuri juga dalam proses pendirian Pengadilan Agama di Indonesia. Seperti ditulis Daniel S Lev dalam bukunya Islamic Courts in Indonesia, a Study in the Political Bases of Legal Institution, Prof. Hoesein telah memimpin sebuah komisi guna meninjau kembali Raad Agama atau priesterraad.

Komisi ini menampung saran Snouck Hurgronje. Salah satunya adalah mengganti istilah priesterraad menjadi penghoeloerecht (Majelis Pengadilan Penghulu) yang terdiri dari penghulu sebagai hakim, dibantu dua penasihat dan seorang panitera. Lev menggambarkan Prof. Hoesein sebagai seorang ahli Islam terbesar dan guru besar pertama berbangsa Indonesia di Rechtshogeschool (1986: 33-34).

Kontribusinya dalam bidang agama juga terlihat pada masa Jepang ketika ia diangkat sebagai kepala Shumubu (Kantor Urusan Agama), yang kemudian menjadi cikal bakal Departemen Agama.

Setelah kemerdekaan, kiprah Prof. Hoesein tak pernah berhenti. Ia termasuk salah seorang anggota Panitia Perancang UUD yang diketuai Soekarno. Dalam proses penyusunan konstitusi itu, Prof. Hoesein mengambil peran antara lain dalam hal penyempurnaan bahasa.

Setelah Fakultas Sastra dan Ilmu Pengetahuan dibuka di Jakarta pada 1940, Prof. Hoesein banyak berkecimpung di sana, bahkan menjelang akhir hayat ia menjabat sebagai Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Indonesia.

Prof. Hoesein wafat pada 12 November 1960, dalam usia 74 tahun.

Tags: