Profesor Belanda Nilai UU Keolahragaan Membingungkan
Berita

Profesor Belanda Nilai UU Keolahragaan Membingungkan

Tak jelas bagaimana mencapai tujuan dalam undang-undang itu.

ALI
Bacaan 2 Menit
Profesor Belanda Nilai UU Keolahragaan Membingungkan
Hukumonline

Profesor Hukum Olahraga dari Belanda, Ben Van Roumpoy menilai UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional sangat membingungkan dan banyak pasal-pasal yang bersifat ambigu.

Pandangannya ini dia sampaikan ketika menjawab pertanyaan salah seorang peserta dalam seminar nasional “Pembangunan Olahraga Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia 2013”. Dalam seminar yang diselenggarakan Kementerian Olahraga (Kemenpora) serta fakultas hukum UI, UGM, dan Undip ini, Ben tampil sebagai pembicara utama.

Menurut Ben, ada banyak hal yang tak jelas dalam UU itu. Namun, ketika ia mencoba melihat ‘penjelasan’, disebut ‘cukup jelas’. “Ada banyak yang hilang dari yang seharusnya diatur dalam UU Olahraga,” ujar Peneliti Asser Insitute Belanda untuk bidang kajian hukum olahraga ini, di Jakarta, Senin (25/11).  

Salah satu contohnya, Ben menjelaskan bahwa UU itu bertujuan untuk menciptakan good governance dalam penyelenggaraan olahraga nasional. Namun, lanjut Ben, UU itu tak menjelaskan bagaimana para pemangku kepentingan bertindak untuk mencapai cita-cita good governance itu.

“Yang tak jelas adalah hak dan kewajiban para pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan olahraga nasional. Kewajibannya seperti apa? Saya tak tahu apakah ini kesalahan saya membaca UU atau teks UU itu yang memang tak jelas. Saya melihatnya seperti itu (UU tak jelas,-red),” tuturnya.

Sebelumnya, dalam pembukaan Seminar nasional ini, Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Yuli Mumpuni Widarso mengakui bahwa UU Keolahragaan ini belum bisa menjawab sengketa olahraga yang mulai marak belakangan ini. Sengketa-sengketa itu merupakan ‘buah’ dari berkembangnya industri sepakbola.

“UU No.3 Tahun 2005 belum dapat mengokomodir sepenuhnya sengketa yang muncul. Sebagian besar pasal-pasal dalam UU itu masih bicara seputar instansi dan pihak-pihak terkait baik di tingkat pusat atau daerah,” ujar Yuli.

Yuli menambahkan karena Kemenpora menyadari UU belum mengatur seputar sengketa olahraga, maka sejak 2008, Kemenpora sudah berupaya mendiskusikan hal ini. “Pada 2008, Menpora mengajak akademisi hukum untuk memikirkan bagaimana kita menyelesaikan masalah sengketa. Kita sudah menjadi bagian dari arbitrase internasional, tapi sengketa olahraga belum diakomodir dalam sistem hukum kita,” jelasnya.

Yuli menjelaskan untuk memasukan hukum olahraga dan dapat dikenal serta diterima sebagai subsistem hukum nasional bukan perkara yang mudah. “Ini tugas yang tak ringan,” ujanrya.

Lebih lanjut, Yuli mengatakan sengketa yang timbul biasanya menyangkut kontrak pemain dengan klub sepakbola. “Biro hukum kami sudah beberapa mendapat aduan masalah kontrak pemain asing di Indonesia. Saya sering konsultasikan masalah ini dengan Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja,-red),” ujarnya.

Ditemui usai pidato pembukaan, Yuli menuturkan meski mengakui ada kekosongan hukum dalam penyelenggarana olahraga, ia belum bisa menentukan apakah Kemenpora menginginkan revisi UU Keolahragaan atau menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP). “Itu nanti yang akan kita jawab dalam seminar ini. Minimum kita harus bisa hasilkan ‘road map’ mau kemana hukum olahraga kita ini dibawa,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait