Profesi Hukum Bukan Melulu Lawyer
Berita

Profesi Hukum Bukan Melulu Lawyer

Suatu profesi hukum seyogianya mampu menciptakan pada perubahan perilaku masyarakat.

M-12
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho (tengah). Foto: Sgp
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho (tengah). Foto: Sgp

Bahwa advokat adalah profesi terpopuler di kalangan mahasiswa hukum merupakan satu fakta yang sulit dibantah. Materi, sekali lagi ini adalah fakta yang tak terbantahkan, masih menjadi ‘magnet’ terbesar yang menyebabkan banyak mahasiswa hukum bermimpi menjadi advokat terkenal.

Imbas dari kondisi ini, profesi hukum di sektor lain khususnya sektor publik seperti hakim, jaksa, dan panitera minim peminat. Senasib dengan sektor publik, sektor masyarakat sipil seperti profesi peneliti dan pengacara publik pada lembaga bantuan hukum juga kering peminat.

Hal inilah yang menjadi keprihatinan Eryanto Nugroho, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Dalam sebuah acara diskusi di Kampus FHUI, Depok, Rabu lalu (12/9), Ery mengatakan mahasiswa hukum saat ini cenderung berorientasi pada satu sektor saja. Dalam hal ini, sektor swasta termasuk di dalamnya profesi advokat masih yang terpopuler.

Masalah lain yang menjadi perhatian Ery adalah minimnya pemahaman mahasiswa hukum tentang apa itu profesi hukum. Dijelaskan Ery, profesi hukum melingkupi tiga aspek yang satu sama lain berkaitan. Ketiga aspek itu adalah generate knowledge, sharing knowledge, dan application knowledge. Idealnya, kata dia, seseorang yang menggeluti profesi hukum memahami ketiga aspek tersebut.

Sayang, faktanya, menurut Ery, masing-masing profesi hukum terkesan ‘asyik’ sendiri. Dosen sibuk dengan dunia mengajar, advokat juga sibuk berpraktik. Ery mengatakan seorang dosen yang bergerak di aspek generating and sharing knowledge seharusnya juga terjun ke aspek aplikasi. Sebaliknya, seorang advokat yang bergelut di aspek application seharusnya juga memperhatikan aspek sharing knowledge, misalnya dengan menulis buku tentang pengalamannya selama praktik.

“Pengacara sibuk dengan praktiknya, dosen hanya berbagi ilmu dengan mahasiswanya, jaksa, hakim sibuk dengan sidang. Sampai-sampai tidak mengikuti perkembangan hukum dan apa yang terjadi di tengah masyarakat,” tuturnya.

Satu hal penting lainnya yang menurut Ery juga kurang dipahami adalah esensi dari profesi hukum itu sendiri. Dia menegaskan bahwa ilmu hukum adalah ilmu tentang perilaku manusia. Ilmu hukum bukan sekadar peraturan. Makanya, Ery mengatakan esensi dari profesi hukum adalah bagaimana mengubah perilaku manusia ke arah yang lebih baik.

“Seseorang dapat dikatakan berprofesi hukum ditentukan dari seberapa sukses (dia) membawa perubahan perilaku manusia,” kata Ery.

Tingkatkan Skills
Senada dengan Ery, dalam acara yang sama, advokat senior M. Idwan Ganie atau akrab disapa Kiki Ganie mengatakan mahasiswa seharusnya tidak terpaku pada peraturan-peraturan. Ekstremnya, dia berpendapat belajar hukum sebenarnya tidak penting. Yang penting justru mengasah ketrampilan yang nantinya berguna ketika menjalani profesi hukum.

Dia menyebut setidaknya empat ketrampilan yang perlu diasah mahasiswa hukum. Empat ketrampilan itu adalah memecahkan masalah, negosiasi, cara meyakinkan orang, dan memberikan nasihat. “Ini adalah empat skills dasar yang harus dimiliki seseorang yang menggeluti profesi hukum, khususnya lawyer,” ujar Kiki yang juga dikenal sebagai salah seorang Managing Partner pada Lubis, Ganie, Surowidjojo.

Kiki berpendapat, lulusan fakultas hukum bebas memilih profesi hukum yang diminatinya. Namun, dia berpesan agar apapun profesi hukum yang dipilih harus dijalani dengan fokus. Menurut Kiki, apapun yang dijalani dengan fokus pasti akan memberikan hasil yang maksimal. Pesan berikutnya, Kiki mengimbau agar mahasiswa fakultas hukum cermat dalam memilih profesi yang akan digeluti. “Do what you love, dan love what you do,” imbuhnya.

Ketua ILUNI FHUI Melli Darsa mengatakan fakultas hukum pada dasarnya adalah tempat untuk melahirkan SDM-SDM yang siap terjun ke dunia profesi hukum. Di satu sisi, Melli menyatakan tidak sepakat jika fakta bahwa advokat adalah profesi hukum terpopuler di kalangan mahasiswa fakultas hukum dipersoalkan. Alasannya, menurut dia, publik masih membutuhkan banyak advokat.

Namun, di sisi lain, Melli juga mengimbau agar mahasiswa fakultas hukum mempertimbangkan profesi hukum alternatif. Alasannya, kata dia, tidak semua sarjana hukum cocok menjadi advokat. Selain itu, tingkat persaingan di dunia advokat juga semakin tinggi. Terlebih dengan adanya arus globalisasi, dimana advokat asing mulai merambah Indonesia.

Dia menegaskan bahwa apapun profesi hukum yang dipilih, kebutuhan publik tetap harus diutamakan. Pada dasarnya, lanjut Melli, tugas profesi hukum adalah bagaimana mengomunikasikan hukum kepada publik. Sepakat dengan Ery, profesi hukum juga harus mampu membawa perubahan bagi banyak orang.

“Jika ada yang berprofesi hukum namun tidak membawa perubahan bagi banyak orang, tidak pantas disebut berprofesi hukum,” pungkasnya.

Tags: