Prof Yusril Ingatkan Pemerintah Antisipasi Terjadinya Hukum Tata Negara Darurat
Terbaru

Prof Yusril Ingatkan Pemerintah Antisipasi Terjadinya Hukum Tata Negara Darurat

Soal kedaruratan, UUD NRI Tahun 1945 saat ini hanya mengatur kevakuman norma hukum melalui Perppu, belum mengatur terjadinya hukum tata negara darurat.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberi kuliah umum di FHUI, Jumat (5/5/2023). Foto: RES
Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberi kuliah umum di FHUI, Jumat (5/5/2023). Foto: RES

Tidak mudah bagi sebuah negara yang baru merdeka untuk mempertahankan kemerdekaannya. Ada banyak tantangan yang dihadapi di dalam maupun dari luar negeri. Tak lama setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan 17 Agustus 1945, kolonial Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Sebagai negara yang baru terbentuk, Indonesia belum siap menghadapi serangan Belanda dibantu tentara sekutu. Dalam peristiwa yang dikenal dengan istilah Agresi Militer II itu pusat pemerintahan Indonesia yang berpusat di Yogyakarta ditaklukan. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta sebagian besar kabinet ditawan Belanda.

Indonesia tak kehabisan akal untuk mempertahankan kemerdekaan, kendati Belanda melancarkan serangan dengan kemampuan militer yang mumpuni. Dalam peristiwa genting itu, Soekarno menginstruksikan pembentukan pemerintahan darurat di Sumatera Barat yang kemudian disebut Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Perintah Soekarno membentuk PDRI tertuang dalam mandat yang diteken Presiden Sooekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta di Yogyakarta tertanggal 19 Desember 1948. Mandat pembentukan PDRI itu dikirim melalui surat kawat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, Sumatera Utara.

Intinya, Syafruddin diminta membentuk PDRI. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan ketika itu Indonesia berada dalam kondisi hukum tata negara darurat, di mana pemerintahan tidak dapat berjalan karena pimpinannya ditawan. Kemudian memberikan mandat kepada Syarifuddin untuk menjalankan pemerintahan darurat.

“Hukum tata negara dalam keadaan darurat bukan soal terbitnya Perppu karena ketiadaan norma hukum pidana, misalnya menghadapi terorisme (ketika terjadi Bom Bali 2004, red), tapi melihat kondisi tata negara,” kata Prof Yusril saat memberikan kuliah umum bertema "Hukum Tata Negara Dalam Keadaan Darurat: Kasus Terbentuknya Pemerintah Darurat RI di Buktinggi (1948-1949)" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Jum'at (5/5/2023).

Baca Juga:

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah itu lebih jauh menerangkan konstitusi tidak mengatur pemberian mandat dari Presiden untuk membentuk pemerintahan darurat. Konstitusi hanya mengatur keadaan darurat dalam konteks pemerintah bertanggung jawab mengatasi keadaan darurat, tapi untuk mengatasi hal itu tidak punya perangkat dan norma hukum. Dengan begitu, pemerintah berhak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Hukumonline.com

Prof Yusril Ihza Mahendra saat memberikan kuliah umum di FHUI.

Hal tersebut ada kebutuhan politik ketatanegaraan tertentu, tapi terbentur dengan konstitusi. Konstitusi jelas mengatur Indonesia menganut sistem Presidensil, tapi dalam perjalanan sejarah Indonesia pernah menganut sistem parlementer. Kendati tidak diatur dalam konstitusi, tapi perubahan sistem dari presidensil ke parlementer merupakan bentuk konvensi konstitusional.

“UUD 1945 tidak berubah, tapi praktiknya berbeda dengan isinya dan itu diterima. Unsur diterima itu penting, kalau tidak diterima maka menjadi masalah,” ujarnya.

Mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) di era pemerintahan Susilo Bambang Yushoyono (SBY) itu menyebutkan PDRI terbentuk 22 Desember 1948 dengan pimpinan tertingginya Syarifuddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI. Ketika PDRI dideklarasikan pucuk pimpinannya tidak disebut sebagai Presiden atau Perdana Menteri, tapi ketua. Menurut Yusril, posisi Ketua PDRI sama seperti Perdana Menteri, bukan Presiden.

Berdirinya PDRI meyakinkan masyarakat internasional bahwa Republik Indonesia masih ada, tidak lenyap seperti klaim Belanda. Yusril mencatat PDRI berdiri selama 8 bulan. Selama PDRI berdiri pemerintah Indonesia melakukan beberapa perundingan dengan Belanda seperti perundingan Roem-Royen. Setelah PDRI berakhir pada Juli 1949, Syarifuddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandat yang telah diberikan kepada Presiden Sukarno.

Pengalaman sejarah itu menurut mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) di era pemerintah Megawati Soekarnoputri itu, penting bagi pemerintah untuk mengantisipasi ketika terjadi hukum tata negara darurat. Misalnya, konstitusi setelah amandemen memandatkan penyelenggaraan pemilu 5 tahun sekali.

"Tapi, bagaimana jika ada kondisi darurat yang menyebabkan pemilu tidak dapat digelar sesuai mandat tersebut? Hal itu termasuk krisis konstitusional dimana secara faktual terjadi krisis ketatanegaraan, tapi konstitusi tidak memberikan jalan keluar atas persoalan tersebut." 

Tags:

Berita Terkait