Prof. Susi Dwi Harijanti : Semakin Dibutuhkan Perspektif Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia
Pengukuhan Guru Besar

Prof. Susi Dwi Harijanti : Semakin Dibutuhkan Perspektif Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia

Membangun jembatan antara hukum nasional Indonesia dengan perkembangan internasional perlu dilakukan secara terukur dan berstruktur. Terutama dalam bidang hukum tata negara.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Prof. Susi Dwi Harijanti saat membacakan orasi ilmiah, Sabtu (17/11) di Graha Sanusi, Universitas Padjajaran.
Prof. Susi Dwi Harijanti saat membacakan orasi ilmiah, Sabtu (17/11) di Graha Sanusi, Universitas Padjajaran.

Globalisasi telah mempengaruhi cara berhukum di berbagai negara. Berbagai aspek hukum nasional mau tak mau harus banyak disesuaikan dengan pengaruh internasional. Bidang hukum yang bercorak arbitrer mengenai tata negara pun tak luput dari tantangan untuk ikut menyesuaikan kembali berbagai konsep bahkan praktik pelaksanaannya.

 

Hukum Tata Negara yang berbasis konstitusi diharapkan responsive, bahkan antisipatif agar Indonesia tak “kehilangan rupa” namun juga tak “ketinggalan zaman”. Atas nama pembangunan hukum nasional, berbagai aspek hukum internasional dan perbandingan hukum tata negara tak bisa lagi dipandang sebagai kajian tambahan.

 

Demikianlah garis besar orasi ilmiah penerimaan gelar Profesor oleh Susi Dwi Harijanti di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran bulan lalu. Susi memberi judul orasi ilmiah tersebut Lampau dan Datang: Hukum Tata Negara dalam Arus Global.

 

Melalui pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum Tata Negara, Sabtu (17/11), Susi memaparkan bahwa hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional harus disikapi dengan sudut pandang baru. Salah satunya dengan menempatkan pengaruh internasional secara tepat dalam pengembangan hukum tata negara Indonesia.

 

Berkaitan dengan perjanjian internasional, Susi menyatakan bahwa beragam instrumen hukum tata negara bahkan hukum administrasi negara telah dibentuk dengan sumber perjanjian internasional yang dibuat oleh negara. Perjanjian-perjanjian internasional—sebagai bagian dari hukum internasional—menuntut tindak lanjut melalui pembentukan hukum nasional di negara yang terikat perjanjian.

 

Oleh karena itu, Susi mengusulkan agar pembelajaran hukum tata negara semakin banyak dikembangkan secara kolaboratif dengan hukum internasional. Aspek perjanjian internasional harus juga didalami oleh para ilmuwan hukum tata negara.

 

“Perjanjian internasional, misalnya, tidak lagi semata-mata dipelajari oleh ahli hukum internasional, tapi juga oleh ahli hukum tata negara,” katanya yang saat ini menjabat Kepala Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

 

Bidang hukum tata negara dan hukum internasional juga perlu mengembangkan diskusi intensif dalam usaha mendalami perjanjian internasional dari perspektif hukum tata negara.  Salah satu tujuannya untuk mencapai pemahaman bersama tentang perjanjian internasional yang tidak bertentangan dengan asas-asas serta norma-norma dalam UUD 1945.

 

“Globalisasi tidak dapat dihindari, yang terpenting adalah bagaimana Indonesia memperoleh manfaat darinya untuk mencapai tujuan-tujuan negara sesuai amanat dalam Pembukaan UUD 1945,” ujar Susi di hadapan ratusan hadirin yang memadati Graha Sanusi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.

 

Hal berikutnya yang menjadi perhatian Susi adalah pentingnya pengembangan kajian perbandingan hukum tata negara. Susi mencontohkan pengalaman Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang mulai mengajarkan perbandingan hukum tata negara pada tahun 1980an. Pokok bahasan kala itu menitikberatkan pada perbandingan konstitusi dengan menggunakan model C.F.Strong dan model sistem ketatanegaraan dari empat negara karya Maurice Duverger. Materi kuliah perbandingan hukum tata negara ini terus berkembang pada tahun 2000an.

 

Hasilnya adalah semakin banyak mahasiswa di program kekhususan hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran yang menghasilkan karya tulis ilmiah dengan perspektif internasional sebagai tugas akhir mereka. Hal tersebut akan bermanfaat memperkaya diskursus hukum tata negara mulai dari pengembangan teori hingga ke praktik kelak.

 

Kalangan ahli hukum tata negara akan semakin memahami konsep dan istilah dalam literatur internasional mengenai hukum tata negara. Oleh karena itu, pengembangan kajian hukum tata negara dalam menghadapi arus global perlu diarahkan pada perspektif internasional melalui metode perbandingan tersebut. Termasuk di dalamnya mengajarkan perbandingan secara benar agar tidak terjadi misuse of comparison.

 

Susi menguraikan fakta bahwa manfaat praktis dari perspektif internasional dalam pengembangan hukum tata negara Indonesia telah dirasakan. Ia menyebutkan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagai hasil dari perbandingan hukum tata negara dengan negara lain. Keduanya adalah lembaga negara baru pasca amandemen UUD 1945. Tidak hanya itu, Pasal 20 ayat 5 dalam UUD 1945 hasil amandemen dinilai Susi sebagai hasil transplantasi dari norma konstitusi Amerika Serikat.

 

“Perbandingan secara nyata digunakan saat terjadi amandemen UUD 1945 yang telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara signifikan,” kata Susi.

 

Meskipun demikian, Susi memandang bahwa perspektif internasional yang diterapkan dengan metode perbandingan dalam amandemen UUD 1945 kurang berhasil. Alasannya karena desain ketatanegaraan yang jelas dan solid justru tidak dicapai.

 

Susi menggambarkan bagaimana perspektif internasional dalam pengembangan hukum tata negara Indonesia semakin dibutuhkan. Terutama untuk menjawab berbagai tantangan globaliasasi. Para ahli hukum pun tak lagi bisa menganggap bidang hukum tata negara sebagai wilayah yang kedap dari hukum internasional.

 

Di sisi lain, perspektif ini perlu ditempatkan secara tepat mulai dari tahapan perbandingan hingga pilihan untuk melakukan adopsi konsep hingga transplantasi norma. “Berbagai faktor harus diperhatikan seperti politik, sejarah, dan budaya,” kata Susi.

 

Tags:

Berita Terkait