Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum
Terbaru

Prof. Satjipto Rahardjo: Empati Manusia Harus Dilibatkan dalam Penegakan Hukum

Nampaknya pemikir Francis Fukuyama terlalu tergesa-gesa dan gegabah mengumandangkan kemenangan kapitalisme. Dalam buku fenomenalnya yang berjudul The End of History and the Last Man, Fukuyama berpendapat bahwa laju kereta sejarah sudah berhenti.

Ycb
Bacaan 2 Menit

 

Mengapa Indonesia tidak punya konsistensi dan determinasi?

Ceritanya akan menjadi panjang. Kalau kita lihat, memang Jepang sudah ditempa sedemikian rupa selama ratusan tahun. Dia menutup diri dari luar negeri. Selama dia mengisolasi, dia membangun watak kejepangannya. Begitu dia muncul menjadi salah satu negara maju, watak kejepangannya sudah jadi. Karena itulah saya melontarkan pikiran, kita ini belum betul-betul menjadi Indonesia. Sedangkan Jepang sudah benar-benar menjadi Jepang. China sudah rampung menjadi China. Kalau ada pengaruh mereka berani menawar.

 

Kalau kita kayaknya ketakutan seakan kena penalti kalau tak mengikuti pandangan Barat. Misalnya konsep Good Corporate Governance (GCG). Sebenarnya Indonesia punya segudang gagasan indah. Tapi terlalu cepat menyerah. Kita begitu tergesa-gesa transformed into becoming modern.

 

Anda juga berpendapat, terlalu mahal ongkos fisik maupun sosial yang akan dibayar jika terlalu memaksa menyesuaikan diri dengan nilai Barat. Seberapa besarkah biaya itu?

Jelas mahal sekali. Kapital ada pada mereka, teknik teknologi ada pada mereka. Kita sebagai pendatang baru selalu membayar fee kepada mereka. Kita bakal didikte terus karena bargaining power terlalu lemah. Kenapa? Karena kita harus jadi mereka.

 

Termasuk harus meniru produk-produk hukum mereka?

Benar. Jadi, kita ini sangat larut dalam globalisasi. Orang Jawa punya istilah ngeli (mengikuti arus). Kalau Jepang ngeli, bukan keli (hanyut). Kita yang keli. Hahaha… Jepang punya versi demokrasi tersendiri. GCG itu usungan produk Barat loh.

 

Menurut Anda apakah praktek hukum juga harus dibarengi dengan moral yang bagus pula?

Itu benar sekali dan memang seharusnya begitu. Makanya kita harus merumuskan kembali. Supremacy of law itu wajib. Kalau tidak disadari, supremacy of law hanya diterjemahkan menjadi supremasi Undang-Undang. Padahal bukan itu maksudnya. Supremacy of law juga supremacy of justice.

 

Artinya pilar hukum Indonesia masih rapuh?

Iya. Jika hanya based on rules saja atau sekadar prosedural.

 

Apa yang diharapkan dari prosedur hukum jika memang rapuh?

Kami di Universitas Diponegoro memiliki konsepsi penegakan hukum berbasis progresif. Memang panjang ceritanya. Intinya, hukum jangan dipandang sebagai peraturan saja, tapi juga diteropong sebagai perilaku manusia. Nah, kita harus ikut merumuskan, bahwa faktor manusia adalah elemen dari hukum. Empati manusia harus dilibatkan. Kita mesti sadar, Indonesia seharusnya menerapkannya.

Tags: