Prof Jimly: Saatnya Evaluasi Reformasi Hukum
Terbaru

Prof Jimly: Saatnya Evaluasi Reformasi Hukum

Sebab sejak bergulirnya era reformasi 1998 hingga kini, reformasi hukum hanya sepanggal-penggal, belum seluruhnya. Perlu melihat ulang seluruh kebijakan di bidang hukum sepanjang era reformasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI Prof Jimly Asshiddiqie saat menjadi keynote speaker dalam diskusi bertajuk 'Darurat Peradaban Hukum: Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif', Rabu (19/10/2022). RFQ
Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI Prof Jimly Asshiddiqie saat menjadi keynote speaker dalam diskusi bertajuk 'Darurat Peradaban Hukum: Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif', Rabu (19/10/2022). RFQ

Situasi institusi penegakan hukum belakangan berada pada titik nadir, setelah sejumlah aparatur penegak hukum tersandung kasus pelanggaran etik maupun pidana. Reformasi di berbagai sektor sejak 1998 hingga kini telah berlangsung hampir 25 tahun. Sayangnya, harapan perubahan wajah penegakan hukum bak panggang dari api. Karenanya perlu mengevaluasi secara total penerapan reformasi di bidang hukum yang telah berjalan lebih dari dua dasawarsa.

“Sudah saatnya kita evaluasi ulang, apakah impian kita the rule of law sudah terwujud? Tapi semua lini menghadapi krisis. Ini semua akibat perubahan yang tidak terkendali. Artinya ada yang salah.  Seperti memisahkan Polri dari TNI, itu belum penegakan hukum,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Jimly Asshiddiqie dalam sebuah diskusi bertajuk “Darurat Peradaban Hukum: Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif” di Jakarta, Rabu (19/10/2022).

Menilik awal pembentukan negara, para pendiri bangsa memilih konsep negara hukum. Buktinya dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Indonesia didefinisikan sebagai negara hukum. Karena itulah impian Indonesia menjadi negara hukum sedari awal amatlah serius. Malahan istilah yang digunakan penjelasan umum negara hukum dalam UUD 1945 adalah rechtsstaat. Atas dasar itulah pemerintah dan masyarakat Indonesia mesti komitmen mewujudkan negara hukum Pancasila.

“Jadi pemerintahan kita dipimpin dengan the rule of law. Sedangkan budaya politik kita masih feodal terpaku dengan figur. Atasan kita adalah rule of law, not of man,” kata dia mengingatkan.

Baca Juga:

Ia melihat sejak 1998, reformasi bergulir di segala lini. Hanya saja di bidang hukum masih sepenggal-penggal, alias belum seluruhnya. Seperti memisahkan Polri dari TNI dengan membentuk masing-masing UU. Tapi, pemisahan institusi tersebuut belum membahas mendalam soal penegakan hukum. Begitu pula dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberikan kewenangan menguji UU terhadap konstitusi hingga membatalkan UU.

Sementara Mahkamah Agung diberikan kewenangan menilai dan membatalkan peraturan di bawah UU. Kedudukan MA dan MK sejatinya sama dalam hal menangani pengujian peraturan perundangan berdasarkan hierarkinya. Tapi bagi Jimly, bila hendak mengevaluasi negara hukum mesti dilakukan secara menyeluruh. Termasuk institusi kepolisian dan kejaksaan. Sementara dalam Pasal 30 UUD 1945 masih sebatas membahas hubungan kepolisian dan TNI dalam pertahanan dan keamanan. Sementara dalam konteks penegakan hukum belum menjadi pembicaraan mendalam.

“Jadi saatnya kita mengadakan evaluasi menyeluruh tentang konsep negara hukum kita mulai hulu sampai hilir,” harapnya.

Mantan Ketua MK periode 2003-2008 itu menuturkan tanpa menyadari pertumbuhan the rule of game di negara hukum Indonesia amat kompleks. Banyak orang tak menyadari banyak lembaga peradilan kuasi yang dibentuk UU.  Seperti lembaga yang mengadili, tapi tidak dikonstruksi sebagai lembaga hukum. Seperti Komisi Informasi Publik. Sebab KIP, menjadi lembaga yang dapat mengadili perkara sengketa informasi publik serta dapat memenjarakan pejabat negara 1 hingga 2 tahun.

“Jadi ada banyak masalah lembaga kuasi peradilan kita. Bawaslu, KIP, KPPU, itu pengadilan semua. Yang sarjana hukum kita banyak tidak menyadari,” kata Jimly.

Amendemen

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu memimpikan UUD 1945 dapat diamendemen. Namun belakangan rencana mengamandemen kandas. Padahal Jimly mengusulkan agar DPR, MPR dan DPD diperbaiki kewenangannya dalam UUD 1945. Baginya, evaluasi reformasi yang telah berjalan 24 tahun mesti dilakukan. Selain itu perlu melihat ulang keseluruhan kebijakan yang telah diciptakan sepanjang era reformasi. Termasuk di dalamnya perwujudan negara hukum berdasarkan Pacasila yang sebenarnya hanya sepenggal-penggal sepanjang reformasi.

“Kita buat KPK, Komisi Yudisial, dan pisahkan TNI dan Polri tapi belum seluruhnya. Peradilan semua masih berjalan sendiri-sendiri.”

Dalam kesempatan yang sama, Mantan Hakim Agung periode 2011-2018 Prof Topane Gayus Lumbuun punya pandangan yang sama dengan Jimly. Hanya saja Gayus lebih fokus mereformasi di bidang peradilan. Menurutnya, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Menkopolhukam Mahhfud MD agar melakukan reformasi hukum. Dia berbarap reformasi hukum yang digagas Presiden Jokowi dapat konkrit.

Hukumonline.com

Mantan Hakim Agung Prof Topane Gayus Lumbuun dan Ketua DPN Peradi Prof Otto Hasibuan.

Seperti adanya pemberian sanksi berjenjang bagi hakim di pengadilan negeri (PN). Misalnya terdapat hakim tersandung persoalan hukum, maka Ketua dan Wakil Ketua PN pun terkena sanksi. Kemudian terhadap hakim yang melakukan pelanggaran tidak disediakan pembelaan bantuan hukum dari institusi maupun Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

Tags:

Berita Terkait