Prof Enny Nurbaningsih: Terobsesi Pembaharuan Sistem Hukum Sejak SMA
Srikandi Hukum 2018

Prof Enny Nurbaningsih: Terobsesi Pembaharuan Sistem Hukum Sejak SMA

Bergulat di dunia akademik dan birokrat. Kini fokus merampungkan RKUHP, RKUHAP, UU Pemasyarakatan termasuk UU Kejaksaan dan UU Kepolisian agar sistem penegakan hukum ke depan menjadi lebih baik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Prof Enny Nurbaningsih. Foto: RES
Prof Enny Nurbaningsih. Foto: RES

Belum menamatkan sekolah menengah atas (SMA), remaja putri ini sudah berniat dan bercita-cita menjadi seorang sarjana hukum. Adalah Enny Nurbaningsih, kala itu di Pangkal Pinang, sekira pertengahan 1970-an. Gemar membaca buku dan tekun belajar menjadi “modal” utama, remaja kelahiran Pangkal Pinang, 27 Juni 1962 ini hijrah ke pulau Jawa, menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Yogyakarta.

 

“Dari awal sekolah SMA, saya sudah punya obsesi besar, bahwa kalau saya bisa jadi sarjana hukum dan sambil berangan-angan bisa melakukan perbaikan sistem hukum,” ujarnya kepada Hukumonline di ruang kerjanya pertengahan Maret lalu.

 

Makanya selepas menamatkan pendidikan SMA, Enny hanya memilih FH UGM. Alasannya sederhana, Kota Yogyakarta sejak dulu dikenal sebagai kota pendidikan. Alhasil, Enny berhasil diterima perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu. “Alhamdulillah lolos,” ujarnya.

 

Selain berstatus mahasiswa FH UGM, Enny aktif dalam beberapa kegiatan kemahasiswaan di kampus yang dikenal sebagai kota Gudeg itu. Seperti, organisasi kemahasiswaan dan Resimen Mahasiswa (Menwa), organisasi yang biasanya disukai kaum adam ini. Terjun payung dan panjat tebing, kegiatan yang sering dilakukannya, selain menjadi anggota Menwa.  

 

“Sejak tahun pertama menjadi mahasiswa, saya mendaftar Resimen Mahasiswa. Saat menjadi anggota Menwa saya pernah dikirim ke Timor-Timur saat kondisi kota itu sedang tidak kondusif,” tuturnya.   

 

Kesibukan kegiatan kemahasiswaan tidak membuat kuliahnya terganggu. Akhirnya, Enny menyandang gelar sarjana hukum pada 1981. Tak lama kemudian, dia memutuskan untuk menjadi pengajar atau dosen di almamaternya sebagai profesi yang dicita-citakan. Baginya, dosen merupakan profesi yang menyenangkan seraya terus bisa mengasah dan mengembangkan ilmu.

 

Tak heran, kini Enny telah mencapai puncak gelar akademik di bidang hukum tata negara, mulai menyandang gelar magister hukum dari Universitas Padjajaran Bandung (1995), doktor ilmu hukum dari FH UGM (2011), hingga menyandang gelar profesor sejak 2014. Desertasi doktorny berjudul “Aktualisasi Pengaturan Wewenang Mengatur Urusan Daerah dalam Peraturan Daerah”.

 

“Saya merasa dunia saya ada di situ (dosen). Saya mendalami bidang ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi, itu bidang yang saya dalami,” kata dia.

 

Gelar akademik itu tidak membuatnya jumawa, seraya terus belajar dan mengasah keilmuannya. Bagi Enny selama sistem hukum belum sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, Enny menegaskan bakal mencurahkan pikiran dan tenaganya dalam rangka melakukan perbaikan sistem hukum yang berkeadilan, salah satunya melalui dunia kampus.

 

Baca:

 

Dunia kampus dan birokrat

Cita-citanya sejak kuliah hendak berkontribusi memperbaiki sistem hukum yang berkeadilan terus dilakoni hingga saat ini. Terlebih, sejak 2014 hingga saat ini, wanita kelahiran Pangkal Pinang 27 Juni 1962 ini mengemban jabatan yang cukup berpengaruh dalam perkembangan hukum Indonesia yakni Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan HAM. Dengan begitu, “perjuangan” Enny itu melalui dunia akademik dan birokrat.  

 

Meski menjadi pejabat eselon I, Enny tak meninggalkan dunianya menjadi pengajar hukum tata negara di FH UGM. Baginya, dunia kampus menjadi wadah menuangkan kebebasan akademik untuk melakukan berbagai penelitian hukum dan aktualisasi ide demi perkembangan dunia hukum Indonesia tanpa belenggu. Sementara, jabatannya sebagai Kepala BPHN pun menjadi wadah ikhtiar melakukan perbaikan sistem hukum.      

 

“Kampus sebagai ‘laboratorium’ penelitian hukum, tempat terus-menerus mengasah ilmu. Tak hanya memahami teori secara tekstual, namun juga memahami persoalan penerapan hukum di masyarakat atau law in action. Jadi, saya tidak hidup di menara gading,” tuturnya.

 

BPHN, sebagai lembaga pemerintah yang bertugas mengkaji dan merancang peraturan perundang-undangan (pembentukan hukum) versi pemerintah, seperti halnya “dunia kampus” melalui berbagai penelitian, diskusi, seminar dalam upaya pembentukan hukum. “Saya menciptakan suasana kebatinan di BPHN seperti halnya ‘dunia kampus’ atau semi kampus, yang tidak terlalu kental dunia birokrasi, tetapi lebih kental dunia akademik.”

 

Sebelumnya, kiprah ibu dengan satu anak ini di dunia hukum terbilang memiliki pengalaman “segudang”. Selain mengajar, dia tercatat pernah menjadi Staf Ahli Hukum DPRD Kota Yogyakarta sejak 2004 hingga 2014 yang kerap dipercaya menyusun regulasi daerah antara DPRD dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tentu pengalaman ini menjadi “modal” melanjutkan tugasnya menjadi Kepala BPHN yang kerap mewakili pemerintah ketika membahas sebuah RUU bersama DPR.    

 

“Saya pikir ini yang harus dilakukan akademisi, ketika terjun di dunia birokrat. Jadi tidak bisa tiba-tiba, harus punya bekal pengalaman cukup,” pesannya.

 

Pada Januari 2007 hingga beberapa tahun, Enny pernah menjadi konsultan hukum di lembaga asing, Swisscontact. Sejak 2009 hingga kini, Enny tercatat sebagai Penasihat di Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah (Sadar-Otda). Tak hanya itu, pada pertengahan 2015, Enny pernah ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Wakil Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid IV. Di komunitas akademik, dia pernah menjabat Sekretaris I Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Tingkat Nasional dan Sekretaris Umum Asosiasi HTN dan HAN di Provinsi Yogyakarta.

 

Hukumonline.com

 

Keluarga bidang hukum

Menjadi orang nomor satu di BPHN tak pernah terpikirkan di benak Enny sebelumnya. Meski dia mengaku sering mengunjungi BPHN dalam rangka melakukan penelitian hukum. Bagi Enny BPHN sebagai “gudang” memahami pembangunan hukum yang dilakukan pemerintah. Tak heran, BPHN menjadi pusat data hasil penelitian bagi mahasiswa fakultas hukum berbagai kampus.

 

“Tidak pernah saya berpikir saya harus menjadi kepala BPHN, tidak pernah. Hidup saya mengalir saja. Tapi mengalirnya hidup saya lakukan dengan konsisten,” ujarnya.

 

Di tengah kesibukan Enny menapaki kariernya hingga menjadi Kepala BPHN tidak menjadi persoalan bagi suami dan anaknya. Terlebih, sang suami, R. Sumendro dan putri semata wayangnya, Prajaningrum Nurendra sama-sama menekuni profesi hukum. Keduanya pun, sama-sama alumnus FH UGM. Sang suami berprofesi sebagai notaris dan aktif di keorganisasian. Sementara sang putri bergelut di bidang hukum pidana.

 

“Kami sudah buat komitmen dan tidak ada persoalan. Apa yang kita lakukan dalam membangun, tidak hanya untuk keluarga, tetapi untuk kepentingan negara dan keluarga.”

 

Tak jarang, saat di rumah, Enny bersama suami dan anaknya berdiskusi membahas perkembangan dunia hukum. Terkadang, diskusi dilakukan dengan sang anak dan suami dilakukan melalui aplikasi whatssap. Meski tak bertatap muka, komunikasi dan diskusi kerap dilakukan bersama suami dan putrinya. “Jadi seru sekali, karena dunia kita di hukum semua,” kata dia.

 

Baca:

 

Harapan sistem hukum

Sebagai Kepala BPHN, Enny memiiki obsesi besar terhadap pembaruan/penataan sistem hukum di Indonesia. Sebab, sistem hukum yang berjalan selama ini dipandang belum sesuai cita-cita para founding father bangsa ini. Tak hanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Rancangan Hukum Keperdataan juga belum terselesaikan yang beberapa hukum perdata yang ada sudah tidak efektif penerapannya.  

 

“Apa rekomendasinya di situ, apakah dicabut, apakah bentuk yang baru, apakah direvisi. Ini yang harus dievaluasi dan dianalisa untuk kemudian diperbaharui.”

 

Dia merasa pekerjaan menata sistem hukum ini seperti mengurai benang kusut, sehingga tidak lepas dari berbagai kegiatan penelitian untuk mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi yang tepat untuk memperbaikinya. Mengurai ribuan berbagai jenis peraturan perundang-undangan mesti diimbangi kerja tim yang solid dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

 

“Dengan begitu, dapat diketahui peta besar yang menjadi akar persoalan, termasuk prioritas utama yang mesti dikerjakan,” lanjutnya.  

 

Menurut Enny, prioritas utama yang mesti digarap yakni sektor penegakan hukum dan perbaikan regulasi sektor ekonomi yang menghambat ruang gerak dunia usaha. Ia menilai, semua regulasi di dua sektor tersebut mesti segera diperbaiki. Obsesinya setelah merampungkan RKUHP, dilanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan UU tentang Pemasyarakatan serta UU Kejaksaan dan UU Kepolisian.

 

“Harapannya sistem penegakan hukum kita ke depan bisa lebih baik lagi dengan dibekali aparat penegak hukum yang semakin profesional. Karena regulasinya sudah ditata sedemikian rupa. Penataan regulasi ini menjadi proyek besar yang sedang dijalani BPHN. Proyek ini dilakukan secara keroyokan dari berbagai kampus dan pakar di bidangnya.”

 

Perempuan dan hukum

Sebagai wanita berkarier di dunia hukum, Enny memilki tips bagi kaum hawa yang bakal menekuni bidang atau profesi hukum. Kuncinya, kata dia, “Menjadi diri sendiri”. Ketika menjadi diri sendiri, maka ia dapat menekuni dunia hukum secara total, tidak lagi setengah hati. Menjadi aparatur penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, ataupun advokat mesti dijalani secara profesional dan bermartabat.

 

“Tentunya, menjaga marwah profesi hukum yang ditekuninya sesuai koridor yang berlaku. Kalau sudah terjun di bidang itu (hukum) mesti maksimal,” ujarnya.

 

Dia berharap kaum hawa bisa menunjukan “kemampuannya” dengan menjadi bagian dalam membangun sistem hukum, menghilangkan sekat-sekat antara laki-laki dan perempuan, dan hukum mesti menjadi panglima dalam berkehidupan berbangsa. Menurutnya, perempuan hakikatnya makhluk yang berani karena menjadi orang yang berani mengambil resiko ketika hendak melahirkan, pertaruhan nyawa.  

 

“Siapapun dia, termasuk perempuan harus bersama-sama membangun (hukum, red) itu. Jadi perempuan itu berani mengambil keputusan ketika situasi sulit.”

Tags:

Berita Terkait