Produsen Hollywood Diusulkan Buka Kantor di Indonesia
Berita

Produsen Hollywood Diusulkan Buka Kantor di Indonesia

Untuk menghindari terjadinya praktik monopoli distribusi film.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Produsen Hollywood Diusulkan Buka Kantor di Indonesia
Hukumonline

Demi mencegah terjadinya praktik monopoli distribusi film, Pemerintah mendesak para produsen film Hollywood memiliki kantor perwakilan di Indonesia. Dengan membuka kantor di Indonesia, mereka bisa langsung mendistribusikan film-film ke bioskop yang ada di tanah Air.

 

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Bambang Brodjonegoro, mengatakan idealnya para produsen film besar memiliki kantor di Jakarta, sehingga bisa langsung mendistribusikan film-film ke bioskop di Indoensia. Ia yakin, dengan adanya sistem ini, bisnis bioskop di Indonesia dapat berkembang.

 

“Kalau jalur film hanya melalui beberapa importir saja dan importirnya juga punya bioskop, maka mereka akan mendistribusikan kepada bioskop mereka lebih dulu,” kata Bambang di DPR, Kamis (7/7).

 

Bambang mengakui, para produsen film asing yang ingin berinvestasi atau membuka kantor distribusi film di Indonesia masih terganjal oleh ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI). Oleh sebab itu, katanya, Pemerintah berniat mengkaji ulang ketentuan tersebut.

 

Untuk diketahui, dalam PP No 36 Tahun 2010 tentang DNI dinyatakan, sektor kebudayaan dan pariwisata di bidang teknis film, seperti studio pengambilan gambar film, laboratorium film, sarana pengisian suara film, sarana percetakan dan/atau penggadaan film, menjadi terbuka untuk asing maksimal 49 persen.

 

Bambang mengatakan, terkait aturan DNI ini, kembali pada komitmen Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagai instansi yang bertanggungjawab atas pengembangan industri film nasional. Sedangkan Kementerian Keuangan, hanya mengatasi masalah pajak dan bea masuk yang menjadi kewajiban dari para importir.

 

“Soal DNI biar teman-teman Budpar yang menyelesaikan, sedangkan kita membereskan masalah pajak dan bea masuk saja,” ujarnya.

 

Sekadar catatan, Kementerian Keuangan telah menyederhanakan aturan impor film dengan memberlakukan satu jenis bea masuk dan mengubah pola penarikannya dari tarif ad valorem 10 persen menjadi tarif spesifik Rp22.000 per menit. Peraturan bea masuk dan PPN yang baru ini juga berlaku bagi importir lama. Namun, untuk pajak pertambahan nilai (PPN) masih digodok hingga saat ini.

 

Bambang menambahkan, setiap negara memiliki kebijakan industri film yang berbeda. Di China, misalnya. Negara Tirai Bambu itu sangat membatasi film dari Amerika. Setidaknya, hanya 20-30 film dalam satu tahun. Sedangkan Singapura dan Malaysia relatif lebih terbuka dengan membebaskan bea masuk film.

 

“Di Thailand beda lagi. Negara itu sangat membatasi masuknya film asing. Itu bertujuan untuk mendorong perkembangan film nasional secara lebih serius,” jelasnya.

 

Untuk Indonesia sendiri, lanjut Bambang, dibutuhkan proteksi terhadap film asing agar industri film nasional berkembang. Namun, ia mengingatkan agar proteksi yang ada tidak berlebihan. Atas dasar itu itu, Pemerintah terus mencoba mencari jalan tengah yang memenangkan semua pihak tanpa melanggar hukum.

 

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, sebelumnya mengingatkan penerapan pajak tinggi terhadap sektor perfilman mesti dihindari. Pasalnya, industri perfilman di Tanah Air masih seumur jagung dan memerlukan dukungan untuk berkembang. Apalagi,  hasrat masyarakat untuk menonton film begitu besar.

 

“Semestinya ada regulasi yang menguntungkan bagi semua pihak. Jadi jangan cari pajak besar di film, karena industri ini tergolong masih bayi di Indonesia,” katanya.

Tags: