Produksi Migas Sebabkan Defisit Anggaran
Utama

Produksi Migas Sebabkan Defisit Anggaran

Anggaran subsidi BBM dinilai tak rasional karena terlalu besar.

KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.skkmigas.go.id
Foto: www.skkmigas.go.id
[Versi Bahasa Inggris]
Anggota Komisi VII DPR RI, Rofi Munawar, menyayangkan hasil produksi minyak dan gas yang dicapai oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Pasalnya, Rofi menilai lifting migas yang rendah telah menyebabkan defisit pada anggaran negara. Dia juga menyesalkan realisasi lifting migas oleh SKK Migas yang terus turun.

“Lifting migas yang rendah tidak bisa dipungkiri telah menyebabkan defisit pada anggaran negara. Disisi lain dalam APBNP tekanan nilai tukar rupiah diprediksi naik mencapai 10,2 persen. Tentunya hal ini akan semakin memperburuk struktur anggaran karena importasi minyak masih cukup tinggi selama ini,” keluh Rofi di Jakarta, Rabu (28/5).

Sebagaimana diketahui, realisasi lifting minyak bumi selama periode Desember 2013–Maret 2014 belum mencapai target APBN. SKK Migas baru berhasil menggenjot lifting minyak mencapai sekitar 700 ribu barel per hari. Padahal, target lifting minyak yang dalam APBN 2014 ditetapkan hampir 900 ribu barel per hari.

Sementara itu, lifting gas juga mengalami penurunan. Selama periode Desember 2013–Maret 2014, realisasi lifting gas bumi mencapai 1.301 ribu barel setara minyak per hari. Hal ini pun lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam APBN. Pasalnya, asumsi lifting gas bumi pada APBN tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 1.240 ribu barel setara minyak per hari.

Di sisi lain, saat ini cadangan gas di perut bumi Indonesia semakin menipis. SKK Migas mencatat, Indonesia hanya memiliki cadangan gas sebesar 1,7% dari total cadangan gas alam dunia. Nilai cadangan gas alam di Indonesia mencapai 112 triliun kaki kubik. Namun, Indonesia tetap saja melakukan ekspor gas ke beberapa negara salah satunya Singapura. Bahkan berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

“Lapangan gas yang ada saat ini dikunci dengan kontrak panjang untuk ekspor, kemudian blok-blok minyak strategis tak dimiliki National Oil Company dengan perolehan signifikan. Perlu ada rumusan yang lebih serius dari Pemerintah,” kata Rofi.

Direktur the Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, berpendapat anggaran negara juga menjadi tak sehat akibat besarnya subsidi energi. Bahkan, ia mengatakan bahwa subsidi energi dalam pembahasan APBN-P 2014 sudah tidak rasional. Hal ini karena menurut Enny, anggaran subsidi yang dialokasikan terlalu besar.

“Saya lihat besaran subsidi itu 35 persen dari belanja APBN. Itu sama saja dengan sepertiga dari total belanja anggaran negara yang disodorkan pemerintah. Kami pikir itu sudah tidak rasional lagi,” ujar Enny.

Enny meminta pemerintah agar melakukan terobosan dan mengambil langkah tepat. Ia memandang perlu adanya antisipasi besaran penambahan subsidi energi. Dia pun menyarankan pemerintah mengurangi beban subsidi sehingga bisa menyehatkan anggaran.

“Saya justru sarankan subsidi harus dikurangi bukannya malah ditambah. Kalau ditambah ya besok terus nambah. Idealnya, BBM bersubsidi harus dinaikkan agar pemberian dana ke sektor itu bisa berkurang. Ya saran saya, kurangi subsidi energi meski implikasi yang diambil dengan menaikkan harga BBM bersubsidi,” ungkapnya.

Ia mengakui, langkah itu bisa saja dianggap tidak populis. Oleh karena itu, pemerintah juga harus melihat momentum. Ia meminta, kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan dalam waktu dekat. Hanya saja, menurut Enny, hal itu juga jangan sampai dilakukan dalam momentum selama Ramadhan atau Idul Fitri. Selain itu, ia mengingatkan agar upaya pengurangan beban subsidi energi jangan dipolitisasi. Sebab, ia khawatir justru politisasi yang akan memicu efek lebih besar.

“Asalkan momentum segera dan tidak mendekati Ramadhan ini masih memungkinkan. Saya harap pemerintah siapkan skenario tersebut,” tutur Enny.

Hal penting lainnya adalah penegakkan hukum. Enny tegas meminta pemerintah agar dapat menekan penyalahgunaan dan kebocoran BBM bersubsidi. Sebab, ia melihat banyak BBM bersubsidi justru terserap ke sektor industri dan perkebunan. Hal itulah yang membuat volume BBM bersubsidi membengkak.
Tags:

Berita Terkait