Problematika Pengangkatan pensiunan Penegak Hukum Tanpa Proses Magang
Kolom

Problematika Pengangkatan pensiunan Penegak Hukum Tanpa Proses Magang

Pengesampingan ketentuan magang bagi calon advokat purnawirawan penegak hukum, tidak akan menjadi masalah selama advokat purnawirawan mengkhususkan diri untuk menangani perkara sesuai dengan keahlian profesinya semasa bertugas menjadi penegak hukum.

Bacaan 4 Menit
Tredi Wibisaka. Foto: dokumen pribadi
Tredi Wibisaka. Foto: dokumen pribadi

Persoalan pengesampingan magang bagi calon advokat pensiunan penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim,) oleh salah satu organisasi advokat yaitu Kongres Advokat Indonesia (KAI) menuai banyak tanggapan dari organisasi advokat lainnya.

 

Hukumonline nampaknya cermat mengangkat hal tersebut menjadi pemberitaan, sehingga cukup menjadi perbincangan hangat bagi sejumlah kalangan advokat. Penulis tergelitik untuk memberikan pandangan selaku advokat muda terkait hal tersebut.

 

Ketentuan magang bagi calon advokat tercantum dengan jelas dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), menyatakan:

  1. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
  1. Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Penjelasan huruf g

Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya.Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.

 

Berdasarkan kutipan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat dan penjelasannya, maka dapat dimaknai ketentuan magang bertujuan untuk memastikan calon advokat yang akan dilantik dan diangkat sumpah  memiliki pengalaman praktis yang cukup guna mendukung kemampuan, keterampilan dan etika dalam menjalankan profesi, sehingga dapat meminimalisir adanya “malpraktik” terhadap hak-hak dan kepentingan hukum klien yang mempergunakan jasa hukum advokat.

 

Sejalan dengan wacana pengesampingan oleh salah satu organisasi mengenai ketentuan magang dua tahun khusus bagi para calon advokat purnawirawan penegak hukum menimbulkan kekhawatiran yang cukup beralasan bagi sejumlah orang yakni berpotensi menurunkan kualitas profesi advokat itu sendiri, karena tugas mulia seorang advokat adalah memberikan pembelaan terhadap kepentingan hukum klien yang tidak terbatas pada hukum pidana, melainkan juga ranah perdata, TUN dan Tenaga Kerja.

 

Seperti yang kita ketahui bersama, tugas pokok penegak hukum polisi dan jaksa sangat spesifik yang perannya di dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dipisah ke dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Berbeda dengan tugas pokok polisi dan jaksa, maka hakim memiliki tugas pokok yang jauh lebih mulia yaitu sebagai perwakilan dari Tuhan untuk mengadili suatu perkara dengan seadil-adilnya.

 

Dalam perkara pidana, hakim bersifat aktif menggali kebenaran materiil, sedangkan dalam sengketa perdata mengali kebenaran formil dengan menjunjung tinggi asas audi et alteram partem (mendengarkan dua belah pihak yang berperkara) secara berimbang dan objektif.

 

Sementara advokat memiliki peran pendampingan terhadap kliennya dalam setiap tingkat pemeriksaan untuk membela kepentingan hukum kliennya mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan bahkan sampai perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dengan kata lain peran advokat seolah-olah berkesinambungan sepanjang klien memberikan kepercayaan kepada seorang advokat untuk menangani perkaranya. 

 

Semua penegak hukum memiliki peran dan tugas pokok masing-masing yang berbeda satu sama lain. Namun beban moral yang disandang seorang advokat seolah-olah melekat terhitung sejak lantik dan diangkat sumpah, karena sebagian masyarakat awam beranggapan advokat mengerti dan paham hukum dengan area praktik hukum yang cenderung lebih luas dibandingkan penegak hukum lainnya. Sehingga, advokat tidak dapat memilih-milih klien berikut dengan sejumlah permasalahan hukum yang membelit si calon klien.

 

Meski secara kode etik seorang advokat diperkenankan untuk menolak memberikan nasihat dan bantuan hukum dengan pertimbangan tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nurani, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 huruf (a) Kode Etik Advokat Indonesia, tertanggal 23 Mei 2002, yang menyatakan :

  1. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.

 

Berdasarkan ketentuan tersebut hendaknya advokat senantiasa jujur dan dapat mengukur kemampuan diri dengan menyesuaikan keahliannya terhadap suatu perkara yang hendak ditangani. Bukan lantas menjadi advokat yang enggan atau bahkan tidak pernah menolak perkara dengan alasan ketakutan kehilangan klien.

 

Menurut Penulis pengesampingan ketentuan magang bagi calon advokat purnawirawan penegak hukum, tidak akan menjadi masalah selama advokat purnawirawan mengkhususkan diri untuk menangani perkara sesuai dengan keahlian profesinya semasa bertugas menjadi penegak hukum.

 

Sebagai contoh: seorang purnawirawan penyidik tentu lebih mengerti mengenai hal-hal teknis dalam tahap penyidikan perkara pidana. Namun pengetahuan teknis mengenai penyidikan tidak lantas menjadi jaminan pula bagi yang bersangkutan dalam menyusun pembelaan bagi kliennya dalam tingkat persidangan atau dalam penanganan perkara-perkara perdata.

 

Menjadi advokat yang handal dan berkualitas tentulah membutuhkan waktu dan pengalaman yang cukup. Akan tetapi seberapa lama nilai kecukupan tersebut bagi masing-masing orang tentunya berbeda-beda. Menurut Penulis hal tersebut tergantung dengan kemampuan masing-masing individu si calon advokat.

 

Namun paling tidak UU Advokat sudah memberikan pertimbangan cukup dalam hal ketentuan magang dua tahun bagi seorang calon advokat sebagai salah satu persyaratan mutlak untuk dapat dilantik dan diangkat sumpah menjalankan profesi sebagai advokat.

 

Penulis berharap kiranya penegak hukum yang purnabakti dan kemudian memilih berprofesi sebagai advokat dapat sungguh-sungguh dalam memberikan bantuan hukum berdasarkan hati nurani dan keahliannya. Advokat tersebut juga tidak lantas berpuas diri hanya sekadar menjadi makelar kasus dengan mengandalkan koneksi atau mantan bawahannya tanpa didukung keterampilan untuk memberikan pembelaan kepada kliennya dengan tetap mengutamakan hukum dan keadilan. Sehingga, di masa yang akan datang tidak terjadi lagi malpraktik dari profesi advokat terhadap orang yang mempergunakan jasa hukum.

 

*)Tredi Wibisaka adalah seorang advokat sekaligus Wakil Sekretaris pada Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI DPC Jakarta Utara

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait