Problematika Hubungan Kerja di Masa Pandemi, Begini Pandangan Sejumlah Akademisi
Fokus

Problematika Hubungan Kerja di Masa Pandemi, Begini Pandangan Sejumlah Akademisi

Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Perundingan pengusaha-pekerja, serta campur tangan pemerintah penting dilakukan untuk mencari solusi terbaik.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja di masa pandemi. Ilustrator: HGW
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja di masa pandemi. Ilustrator: HGW

Andaikan seorang karyawan perusahaan positif terjangkit Covid-19 dan harus menjalani karantina, apakah pengusaha tetap wajib membayar upahnya? Apakah jika karyawan diharuskan bekerja dari rumah akibat kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak warga, misalnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pengusaha berhak mengurangi gaji mereka? Dapatkah pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan dalih ada force majeur?

Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi webinar internasional hubungan kerja dalam pandemi Covid-19 yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Surabaya bekerja sama dengan Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI), Universitas Kanjuruhan Malang, Universitas Bondowoso, Universitas Wiraraja Sumenep, Minggu (10/5) lalu.

Tampil sejumlah akademisi Andi Bau Joyce Soraya al Mu’dhor, Yayuk Sugiarti, Nur Azizah, Johan Imanuel, Ayunita Nur Rohanawati, Imam Budi Santoso, Yetniwati, dan Susilo Andi Darma. Para akademisi memberikan pandangan mengenai masalah ketenagakerjaan yang timbul akibat penyebaran Covid-19 dan mengajukan alternatif solusi.

(Baca juga: Alasan Force Majeur yang Berimplikasi PHK Karyawan).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Asri Wijayanti mengatakan bahwa penyebaran Covid-19 yang diikuti oleh pembatasan-pembatasan sosial telah berdampak pada pekerja dan pengusaha. Pembatasan mobilitas pekerja telah menyebabkan sejumlah perusahaan mengambil kebijakan work from home. Kebijakan ini bukan tanpa implikasi. Positifnya, pengusaha dan pekerja berpartisipasi mencegah penularan virus mematikan itu. Negatifnya, operasional perusahaan tidak dapat dijalankan sebagaimana biasa. Perusahaan yang mengandalkan pekerjaan secara langsung (offline) di kantor/pabrik terpaksa mengambil kebijakan lain.

Asri memberi contoh, mengurangi sebagian kegiatan usaha yang dapat bermakna mengurangi jumlah pekerja, mengurangi waktu kerja, atau mengurangi fasilitas yang diterima pekerja. Dampak paling fatal adalah penutupan perusahaan, atau menghentikan seluruh kegiatan usaha, dan sudah pasti berimbas lebih lanjut pada PHK.

Akademisi Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), Muzaffar Syah Mallow memberi contoh di Malaysia. Pemerintah Malaysia memberikan rangsangan Ekonomi Prihatin Rakyat bernilai RM250 miliar (AS$57,7 miliar) untuk membantu rakyat Malaysia. Selain itu diberikan subsidi upah pada majikan dengan parameter tertentu. Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari risiko lebih besar pada masalah ketenagakerjaan. Bagaimana dengan Indonesia?

Secara normatif, di Indonesia pengusaha perlu menghindari PHK sebagai jalan keluar ketika terjadi masalah ketenagakerjaan. Pengusaha dan pekerja dapat merundingkan opsi atau alternatif yang menyenangkan kedua belah pihak. “Pada prinsipnya, PHK merupakan upaya terakhir dalam hubungan ketenagakerjaan yang wajib dirundingkan para pihak,” papar Joice Soraya, akademisi Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang.

Ia merujuk pada Pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini menghendaki pengusaha, pekerja, serikat pekerja, dan pemerintah bersama-sama menguayakan agar tidak terjadi PHK. Kalaupun PHK menjadi opsi yang tidak dapat dihindari, perlu ada perundingan pengusaha dan pekerja.

Bagaimanapun hak-hak pekerja harus dipenuhi meskipun situasi pandemi. Termasuk misalnya jika seorang pekerja positif terjangkit Covid-19 dan harus dikarantina sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dosen Universitas Wijaya Putra, Joko Ismono, berpandangan bahwa upah pekerja yang suspect Covid-19 tetap harus dibayar selama yang bersangkutan menjalani isolasi atau karantina. Kalaupun ada perubahan besaran upah dan cara pembayarannya akibat PSBB, tetap harus dilakukan sesuai kesepakatan. Ia merujuk pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.

Ada empat poin berkaitan dengan upah yang diatur dalam SE Menaker tersebut. Pertama, bagi pekerja yang masuk kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP) berdasarkan keterangan dokter dan tidak masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, upahnya dibayar penuh. Kedua, jika pekerja masuk kategori suspect Covid-19 dan harus dikarantina, upahnya dibayar penuh selama masa karantina atau isolasi. Ketiga, jika pekerja tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dibuktikan dengan surat keterangan dokter, upahnya dibayar sesuai peraturan perundang-undangan. Di sini frasa terakhir bukan lagi ‘dibayar penuh’, melainkan dibayar sesuai peraturan perundang-undangan. Keempat, jika perusahaan membatasi kegiatan usaha yang berakibat sebagian atau seluruh pekerja tidak masuk kerja, maka besaran dan cara pembayaran upay dilakukan berdasarkan kesepakatan. Tujuannya adalah kelangsungan usaha.

Force Majeur

Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, kesulitan bukan hanya dialami pekerja, tetapi juga pengusaha. Melakukan PHK adalah opsi yang sudah dijalankan sejumlah pengusaha. Lebih dari dua juta pekerja yang sudah dirumahkan dan di-PHK. Pertanyaan mendasarnya, dapatkah pengusaha melakukan PHK dalam situasi pandemi seperti sekarang?

Secara normatif, ada beberapa alasan PHK data dilakukan. Misalnya, alasan-alasan yang dibenarkan berdasarkan Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup baik disebabkan oleh kerugian selama dua tahun berturut-turut maupun karena keadaan memaksa (force majeur). Dari ketentuan ini jelas bahwa pengusaha dapat melakukan PHK jika terjadi force majeur.

Apa yang dimaksud dengan force majeur dalam ketenagakerjaan? UU Ketenagakerjaan tidak memberikan penjelasan lebih detil. Secara umum, Joice Soraya menyatakan force majeur sebagai suatu keadaan yang tidak memungkinkan para pihak untuk melaksanakan prestasi sesuai perjanjian. Dalam perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak lazimnya telah diatur apa saja kondisi yang masuk kategori force majeur.

Sekretaris P3HKI, Abdul Khakim, berpendapat tujuan pengaturan force majeur dalam Pasal 164 UU Ketenagakerjaan adalah mencegah terjadinya kerugian pihak pekerja dalam hubungan kerja karena kondisi tak terduga, termasuk pandemi Covid-19. Hakikatnya adalah melindungi pekerja sebagai pihak yang lemah dalam hubungan kerja.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, alasan-alasan force majeur itu telah berkembang dalam praktik. Bukan hanya tutupnya operasional usaha karena kantor/pabrik terbakar dan bencana alam, tetapi juga karena kebijakan pemerintah yang membuat core business perusahaan terhenti.

(Baca juga: Penting!!! Inilah Putusan-Putusan PHK Akibat Force Majeur).

Pada umumnya, bencana alam diakui sebagai dasar legal bagi perusahaan melakukan PHK. Penyebaran Covid-19 telah ditetapkan Pemerintah melalui Keppres No. 12 Tahun 2020 sebagai bencana nasional. Cuma, sifatnya adalah bencana non-alam. Apakah dengan demikian penyebaran Covid-19 dan kebijakan membatasi mobilitas warga dapat dijadikan alasan force majeur untuk PHK?

Sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, force majeur dapat dijadikan alasan PHK. Pengusaha dapat berpijak pada kebijakan pemerintah yang menyebabkan operasional perusahaan terganggu. Sejumlah akademisi dalam webinar juga berpandangan bahwa Keppres No. 12 Tahun 2020 dapat dipakai sebagai pijakan force majeur. Tetapi penting digarisbawahi bahwa pengusaha tidak dapat begitu saja menyebut force majeur. Pengurus P3HKI, Imam Budi Santoso, menegaskan harus dibuktikan terlebih dahulu kerugian yang dialami perusahaan akibat dampak Covid-19. Joice juga menyebutkan dampak langsung Covid-19 terhadap operasional perusahaan harus dibuktikan. “Ketika PHK tidak dapat dihindari, maka wabah Covid-19 jangan dijadikan alasan perusahaan mem-PHK pekerja tanpa dibuktikan terlebih dahulu kerugian yang dialami perusahaan akibat dampak Covid-19,” paparnya dalam presentasi webinarnya.

Intinya, alasan force majeur itu tidak bisa dijadikan alasan secara serta merta. Harus dilihat kasus demi kasus agar jelas korelasi antara penetapan darurat oleh pemerintah dengan berhenti beroperasinya perusahaan. Jika terjadi sengketa, maka hakim harus benar-benar menguji kebenaran klaim perusahaan atas force majeur.

(Baca juga: Guru Besar Ini Bicara PHK Alasan Force Majeur Dampak Covid-19).

Agar tidak menimbulkan sengketa ketenagakerjaan yang kompleks, para akademisi mengusulkan solusi duduk bersama merundingkan jalan keluar terbaik. Bagaimanapun, situasi pandemi telah berdampak terhadap pekerja dan pengusaha, dan kondisi ini tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Asri Wijayanti menyebutkan berunding adalah jalan keluar yang lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kedua pihak harus mempertimbangkan untung rugi pada opsi yang dipilih. Berunding adalah konsekuensi yuridis jika ada kondisi yang tak dapat dihindari kedua belah pihak.

Pekerja Migran

Selain ancaman PHK terhadap pekerja di dalam negeri, ada problematika pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Faktanya, penerapan lockdown atau pembatasan di beberapa negara berimbas pada pekerja migran Indonesia  sehingga banyak yang dipulangkan. Mereka yang dipulangkan ke Tanah Air pun tidak otomatis bisa pulang ke rumah karena ada penolakan dari masyarakat yang khawatir terdampak virus. Masalah lain adalah tertundanya pengiriman pekerja migran Indonesia ke luar negeri.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Agusmidah, melihat bahwa pekerja migran juga menjadi rentah secara ekonomi dan sosial. Di satu sisi, hubungan kerja mereka diputus dan harus kembali ke Tanah Air; dan sisi lain berpotensi terjangkit virus atau dianggap sebagai sumber penularan.

Sesuai UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, tanggung jawab pemulangan pekerja migran ada di pundak Pemerintah, mulai dari pusat hingga ke pemerintah kabupaten/kota. Sayangnya, Pemerintah terlambat menetapkan kebijakan protokol kepulangan pekerja migran, sehingga beberapa dari mereka pulang secara mandiri dan tanpa protokol pemeriksaan kesehatan. Akibatnya, ada penolakan seperti yang terjadi di Karangasem, Bali.

Agusmidah memperkirakan arus kepulangan pekerja migran akan berlangsung hingga Juni mendatang. Karena itu menyarankan agar Pemerintah menyiapkan tempat karantina untuk menampung sementara pekerja migran yang pulang. Misalnya, di Medan, ada di Pangkalan Udara TNI Soewondo (eks Bandar Udara Polonia), yang dapat dimanfaatkan menampung pekerja migran yang pulang lewat Sumatera Utara. Selain itu, menurut dia, penanganan dimulai sejak hulu hingga ke hilir, yakni sampai ke desa tujuan akhir para pekerja migran. Itu pula sebabnya perlu melibatkan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah memikirkan bagaimana membuka kesempatan kerja bagi pekerja migran yang selama ini menggantungkan hidupnya di luar negeri. Jika tidak, Agusmidah khawatir jumlah penduduk miskin di Tanah Air akan meningkat seiring dengan penyebaran Covid-19.

Temukan/Nikmati Akses Tanpa Batas Koleksi Peraturan Perundang-undangan dan FAQ Terkait Covid-19di sini.

Tags:

Berita Terkait