Problematik Eksekusi Putusan Terpidana Korupsi
Fokus

Problematik Eksekusi Putusan Terpidana Korupsi

Penerbitan SEMA jangka waktu minutasi putusan harus dibarengi dengan kesiapan SDM di MA.

ASh
Bacaan 2 Menit
Walikota Bekasi non-aktif Mochtar Mohammad usai diperiksa KPK. Foto: Sgp
Walikota Bekasi non-aktif Mochtar Mohammad usai diperiksa KPK. Foto: Sgp

Kelambanan eksekusi putusan perkara pidana, khususnya dalam perkara korupsi akhir-akhir ini kerap menimbulkan persoalan dalam praktik. Sumber masalahnya terletak pada salinan putusan yang belum dikirim secara resmi baik kepada terpidana atau penasihat hukumnya maupun kepada jaksa selaku eksekutor. Dalam beberapa kasus korupsi, terpidana dankuasanya menolak dieksekusi kalau hanya dengan petikan putusan.

Sebut saja kasus Gubernur Bengkulu non-aktif Agusrin M. Najamuddin, Bupati Subang non-aktif Eep Hidayat, Bupati Lampung Timur Satono, dan Walikota Bekasi non-aktif Mochtar Mohammad. Keempatnya, divonis bebas di pengadilan tingkat pertama, tetapi di tingkat kasasi divonis bersalah. Mochtar, lewat kuasa hukumnya Sirra Prayuna, menolak eksekusi oleh jaksa KPK lantaran belum menerima salinan putusan kasasi dari panitera Pengadilan Tipikor Bandung. Penolakan serupa datang dari kuasa hukum Agusrin, Marthen Pongrekun.

Mereka menilai eksekusi hanya “bermodalkan” sebuah petikan putusan adalah illegal dan melanggar pasal 270 KUHAP. KUHAP menyatakan pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Nah, dasar eksekusi, menurut mereka, adalah salinan putusan resmi, bukan petikan putusan.       

Kejaksaan mengalami kesulitan mengeksekusi ketiga terpidana (Eep, Agusrin, Satono) itu lantaran belum memperoleh salinan putusan lengkap dari Mahkamah Agung (MA), sehingga proses eksekusi tidak bisa berjalan cepat. Jaksa Agung Basrif Arief sendiri mengaku dilema karena ada sejumlah kasus yang terpidananya tidak mau dieksekusi hanya dengan petikan putusan terutama menyangkut terpidana perkara-perkara besar.

Seperti dalih terpidana, Basrief mengatakan keberatan terpidana ini merupakan hal yang wajar mengingat pasal 270 KUHAP mengatur bahwa eksekusi harus dengan salinan putusan. “Sepanjang terpidananya menerima eksekusi dengan petikan putusan, itu tidak masalah. Ini biasanya terjadi di perkara-perkara tindak pidana umum. Kalau perkara besar (korupsi) ada kalanya si terpidana meminta salinan putusan. Ini juga tidak salah karena Undang-Undang mengatur itu,” katanya.

Menurut Basrief, masalah eksekusi ini tidak lepas dari sistem minutasi (pembuatan salinan putusan) di MA karena proses minutasi putusan membutuhkan waktu lama. Alhasil, kejaksaan dengan “terpaksa” mengeksekusi dengan petikan putusan seperti eksekusi terhadap Eep dan Agusrin. Karenanya, ia berharap semua eksekusi perkara tindak pidana khusus dan umum dapat dilaksanakan secepatnya.

MA menegaskandengan berbekal petikan putusan ini sebenarnya jaksa sudah bisa mengeksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Setelah hakim memutus perkara lazimnya dilakukan proses minutasi. Selama proses minutasi ini, para pihak diberikan petikan putusan yang hanya berisi amar/diktum yang ditetapkan majelis.“Petikan putusan sudah bisa dijadikan dasar eksekusi,” kata Sekretaris MA Nurhadi.

Kebijakan serupa tak hanya datang dari MA. Juru Bicara MA Topane Gayus Lumbuun menegaskan Jaksa Agung MA Rachman (2004) pernah mengeluarkan surat edaran yang intinya eksekusi dapat dilakukan hanya dengan pemberitahuan petikan putusan. Gayus mengakui bahwa proses minutasi (pengetikan) putusan membutuhkan waktu lama. MA sendiri telah berupaya mengatasi persoalan ini termasuk menggunakan jasa pihak ketiga untuk mempercepat proses pengetikan salinan putusan.

“MA sudah berusaha keras untuk itu (membuat salinan secara cepat). Sampai-sampai MA menggunakan tenaga outsourcing yang profesional karena tak boleh salah ketik atau salah kata, mencantumkan dalam salinan lengkap itu. MA menyadari dan berusaha keras,” kata Gayus.

Mengacu SEMA No. 1 Tahun 2011 tentang Perubahan SEMA No. 2 Tahun 2010 tentang Penyampaian Salinan Putusan dan Petikan Putusan, petikan putusan perkara pidana diberikan kepada terdakwa, penuntut umum, dan rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan segera setelah putusan diucapkan.

Namun, angka 2 SEMA ini menyebutkan untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa/penasihat hukumnya, penuntut umum, kecuali untuk perkara cepat diselesaikan menurut sesuai ketentuan KUHAP. Hal ini juga termuat dalam Paket UU Bidang Peradilan, seperti pasal 52A ayat (2) UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

Perlu SEMA

Persoalan lambannya kejaksaan mengeksekusi terpidana korupsi sebenarnya terletak pada sistim administrasi minutasi putusan yang berlaku di MA. Hal itu disebabkan ketiadaan aturan jangka waktu penyelesaian minutasi putusan, khususnya minutasi putusan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali (PK).

Persoalan ini hendaknya tidak boleh dianggap remeh dan perlu disikapi serius oleh MA. Sebab, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada sekitar 48 terpidana korupsi belum dieksekusi Kejaksaan. Dari jumlah itu, 25 terpidana korupsi telah melarikan diri. Sisanya, masih melenggang bebas lantaran eksekusi belum bisa dilaksanakan.

Karena itu pula ICW mendorong Kejaksaan Agung dan MA untuk merumuskan kebijakan percepatan eksekusi para terpidana korupsi. Sebab, lambannya eksekusi menjadi celah pada terpidana korupsi melarikan diri.“Karena memang problem-nya bukan hanya di Kejaksaan, tapi juga di pengadilan yang lambat menyerahkan salinan putusan ke Kejaksaan,” ujar Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.

Contoh terkini, kaburnya Satono terkait korupsi APBD Lampung Timur ini. Saat panggilan eksekusi terakhir yang dilayangkan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung pada 9 April 2012 lalu, Satono tidak diketahui keberadaanya alias buron. Alhasil, Kejari Bandar Lampung memasukan Satono ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dengan No.01/DPO/N.8.10/04/2012 tanggall 9 April 2012. Kini, Kejagung telah melayangkan permintaan perpanjangan cegah atas nama Satono yang berlaku sejak 7 April 2012.

Mengatasi persoalan ini, idealnya jangka waktu proses minutasi putusan juga harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 14 hari sesuai SEMANo 1 Tahun 2011 dan tiga paket UU di bidang peradilan yang mengamanatkan salinan putusan (perkara biasa) harus sudah dikirim dalam jangka waktu 14 hari sejak putusan diucapkan kepada para pihak. Karena itu, sistem minutasi putusan mendesak perlu dibenahi dengan menerbitkan SEMA yang menentukan jangka waktu proses penyelesaian minutasi putusan maksimal 14 hari.

Sementara MA sendiri hanya memiliki SK KMA No. 138 Tahun 2009 yang mengatur jangka waktu penanganan perkara selama satu tahun sejak perkara masuk termasuk proses minutasi. Kebijakan ini didukung dengan SEMA No 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai kelengkapan Permohonan Kasasi dan PK dari pengadilan pengaju.

Dengan SEMA No. 14 Tahun 2010 itu setiap pengajuan berkas memori kasasi/PK harus melampirkan soft copy putusan pengadilan tingkat pertama/banding, sehingga salinan putusan secara lengkap bisa segera dibuat dengan cepat oleh MA. Selanjutnya, salinan putusan bisa segera dikirim ke panitera pengadilan tingkat pertama dan jaksa. Hal ini untuk mengatasi kesulitan kejaksaan/KPK dalam mengeksekusi terpidana korupsi.

Penerbitan SEMA jangka waktu minutasi putusan ini harus dibarengi dengan  kesiapan SDM di MA. Jika tidak, persoalan lambannya proses eksekusi terpidana korupsi yang dapat berakibat kaburnya terpidana korupsi akan terus terulang. Apalagi, perkara korupsi merupakan salah satu perkara extra ordinary crime yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pengadilan sesuai amanat SEMA No. 3 Tahun 2001 tentang Perkara-Perkara Hukum yang Perlu Mendapat Perhatian Pengadilan.

Tags: