Pro Kontra Revisi Aturan Pemberian Remisi Terhadap Koruptor
Berita

Pro Kontra Revisi Aturan Pemberian Remisi Terhadap Koruptor

“Bila semangatnya meng-ignore PP 99/2012 ini suatu langkah mundur dalam rangka pemberantasa korupsi untuk efek jera”.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Johan Budi. Foto: RES
Johan Budi. Foto: RES
Rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menuai kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, dalam pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana pelaku kejahatan luar biasa seperti koruptor bagi sebagian kalangan dinilai tepat.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai rencana Menkumham Yasonna H Laoly merevisi PP 99/2012 dinilai tepat. Dalam UU Pemasyarakat, kata Fahri, tak ada pengkhususan narapidana. Tetapi semua narapidana yang melakukan kejahatan apa pun di mata negara sama. “Semua orang sama yang dianggap salah oleh negara. Makanya yang bersangkutan dibina oleh negara untuk dikembalikan pada negara,” ujarnya.

Menurutnya, terhadap narapidana yang mendapat remisi setidaknya dapat mempercepat kembali ke tengah masyarakat. Dengan begitu, beban negara dalam pemasyarakat berkurang. Pasalnya, tujuan pemasyarakatan adalah pembinaan  terhadap pelaku kejahatan di dalam Lapas. “Lebih cepat lebih baik di kembalikan ke masyarakat,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpandangan remisi merupakan hak terpidana sebagai warga binaan di Lapas. Ia berpendapat adanya pergeseran pengalihan fungsi pemasyarakatan menjadi pemenjaraan. Negara kata Fahri, beranggapan semakin banyak terpidana dijebloskan ke balik jeruji besi akan semakin baik.

Padahal prinsip tersebut dikenal dalam cara pandangan sistem kolonial. Sebaliknya, cara pandangan tersbeut tidak dikenal di alam demokrasi. “Saya apresiasi Laoly, dalam artian, dia mungkin ikut menyusun UU Pemasyarakatan. Dalam UU itu, enggak ada yang namanya koruptor, teroris, napi narkoba, semua orang sama. Saya rasa lebih cepat lebih baik,” katanya.

Wakil Ketua DPR lainnya , Fadli Zon menambahkan remisi terhadap narapidana sudah diatur dalam PP 99/2012. Remisi itu pula menjadi hak narapidana. Ia berpendapat rencana pemerintah, khususnya Menkumham merevisi PP 99/2012 agar memberikan ruang bagi terpidana pelaku kejahatan koruptor merupakan hal yang sah dan tak melanggar aturan.

Politiis Partai Gerindra itu berpandangan mekanisme pemberian hukuman terhadap pelaku kejahatan korupsi mesti diperberat. Namun begitu, narapidana kejahatan luar biasa tetap mendapat remisi sebagaimana narapidana pelaku kejahatan lainnya. “Kalau mau hukumannya saja yang diperberat, remisinya tetap diberikan,” ujarnya.

Anggota Komisi III Didik Mukrianto berpandangan, dalam PP 99/2012 tidak menghilangkan hak narapidana mendapatkan remisi. Hanya saja pemberian remisi memang perlu diatur, seperti khusus pelaku kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkotika, teroris dan kejahatan trans nasional. Nah, makanya pemberian remisi terhadap narapidana pelaku kejahatan luar biasa diperlukan syarat ketat.

Politisi Partai Demokrat itu menilai dalam memahami PP 99/2012 mesti secara utuh. Dengan begitu, semangat dalam menegakan hukum sesuai dalam PP 99/2012 dapat sepenuhnya dijalankan. Ia menilai, revisi yang akan dilakukan pemerintah dalam pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan korupsi tanpa ada perbedaan dengan narapidana lainnya. “Syarat-syarat tambahan dan khusus di PP 99/2012 ingin direvisi pemerintah,” katanya.

Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi berpendapat, remisi menjadi ranah Kemenkumham. Namun Johan mengingatkan Kemenkumham bahwa dalam PP 99/2012 terdapat pembatasan bagi terpidana pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi. Memang, pengetatan pemberia remisi bukanlah menghilangkan hak terpidana mendapatkan remisi.
“Bila semangatnya meng-ignore (abaikan) PP 99/2012 ini suatu langkah mundur dalam rangka pemberantasa korupsi untuk efek jera,” katanya.

Johan menegaskan pihaknya akan memberikan masukan kepada Kemenkumham sepanjang mengundang pihak KPK. Soal masukan seperti apa, pihak KPK menunggu undangan dari Kemenkumham sebelum dilakukan revisi PP tersebut. “Kita akan datang kalau dimintai pendapat,” ujarnya.

Sementara Direktur Eksekutif Intitute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono, berpandangan remisi memang menjadi hak terpidana. Hanya pengetatan pemberian remisi mesti dilakukan bagi terpidana korupsi, narkotika, kejahatan trans nasional dan terorisme.

“PP kemarin itu kalau cuma masalah korupsinya sudah tepat. Tapi narapidana yang masuk ranah PP itu kan tidak cuma korupsi. Nah yang di luar korupsi itu yang kurang tepat. Khusus untuk penyalahgunaan narkotika ringan, yang justru paling banyak menghuni lapas lapas, ini yang jadi masalah dirjen lapas, soalnya overkapasitas,” katanya.

Ia berpandangan pemberian remisi terhadap pelaku kejahatan korupsi tanpa persyaratan merupakan langkah kemunduran dalam penegakan hukum. Pemberian remisi dengan ‘diobral’ perlu dikaji ulang pemerintah agar sesuai dengan PP, bukan sebaliknya merevisi aturan PP 99/2012. Sebaliknya jika memberikan remisi cuma-cuma, Kemenkumham melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. “Ke depan pemberian remisi harusnya bukan di tangan eksekutif lagi,”  pungkasnya.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna H Laoly berencana merevisi PP 99/2012. Yasonna menilai pembatasan remisi terhadap terpidana korupsi tak sesuai dengan prinsip pemasyarakatan. Menurutnya, aturan pengetatan remisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa dalam aturan tersebut menjadikan hukum Indonesia mundur ke belakang. Bahkan, melemahkan hukum nasional lantaran menimbulkan diskriminasi antar narapidana.
Tags:

Berita Terkait