Pro Kontra Perppu Penyelamatan Lembaga Peradilan
Utama

Pro Kontra Perppu Penyelamatan Lembaga Peradilan

Sepintas usulan Perppu penyelamatan lembaga peradilan adalah hal yang baik. Namun, persoalan mafia peradilan harus dipecahkan melalui langkah-langkah luar biasa dengan melibatkan publik.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS


Mantan dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu berpendapat, meski sistem sudah diperbaiki, namun perilaku hakim tak juga kunjung pulih. Padahal, perubahan sistem ke arah yang lebih baik mesti diimbangi dengan sumber daya manusia yang siap melakukan perubahan positif.

Apalagi, Komisi Yudisial menyatakan siap berkoordinasi dan berkontribusi bersama lembaga lain dalam mewujudkan dunia peradilan yang lebih baik. Ia pun meminta publik memberikan waktu pemerintah untuk mematangkan wacana tersebut dan mendukung pemerintah dalam upaya membenahi dunia peradilan Indonesia.

Lebih lanjut, ia berharap substansi Perppu fokus pada penguatan terhadap KY. Selain itu, perlu adanya keselarasan antara kebutuhan KY dan harapan publik mau pun lembaga egislasi terkait dengan penguatan kewenangan pengawasan eksternal hakim oleh KY, yakni memberikan kewenangan eksekutorial kepada KY.

“Pembenahan itu harus bersifat menyeluruh sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan harus direbut kembali, jika tidak krisis degradasi (distrust) kepada lembaga peradilan semakin tergerus,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR Risa Mariska berbeda pandangan. Menurutnya, Perppu penyelamatan lembaga peradilan belum diperlukan. Pasalnya, penyelamatan lembaga peradilan dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang, seperti KY, MA dan KPK yang memiliki tigas pemberantasan korupsi.

“Saya rasa belum perlu ada Perppu. Jadi biarkan lembaga tersebut bekerja sesuai dengan kewenangannya. Saya khawatir kalau ada peraturan lain yang diterbitkan akan menjadi tumpang tindih dengan kewenangan institusi yang tadi sudah saya sebutkan,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Tidak menjawab persoalan
Peneliti Pusat Studi Kebijakan Hukum Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, menilai Perppu tak menjawab akar permasalahan. Sebaliknya, Perppu tak ubahnya UU yang dibuat sepihak oleh pemerintah. Menurutnya, persoalan mafia peradilan yang paling pokok tidak sekadar berkaitan dengan kekosongan maupun tidak memadainya UU. Mafia peradilan adalah persoalan akut yang hanya dapat diberantas dengan reformasi peradilan yang total dan komprehensif.

Miko berpandangan wacana penerbitan Perppu sebagai reaksi atas sikap Ketua MA yang pasif dan tertutup. Oleh sebab itu, Ketua MA Hatta Ali mesti segera mengambil langkah proaktif dalam pemberantasan mafia peradilan. “Langkah itu sekaligus menepis persepsi bahwa rentetan kasus belakangan juga melibatkan Pimpinan MA,” ujarnya.

Dia mengatakan, reformasi peradilan mesti ditempuh pimpinan MA, yakni dengan membentuk Tim Pemberantasan Mafia Peradilan dalam lingkup pengadilan dan bekerjasama dengan KY dan KPK. Menurutnya, Tim Pemberantasan Mafia Peradilan difokuskan untuk membongkar jaringan mafia peradilan sekaligus memberikan arahan perubahan peraturan kepada Pimpinan MA.

Miko mengatakan, berbagai aturan internal MA yang dapat menjadi celah penyalahgunaan kewenangan harus segera diperbaiki. Misalnya, penyederhanaan alur dan tahapan perkara, transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan perkara, pemisahan yang tegas antara administrasi kelembagaan dengan administrasi yudisial, hingga pengintegrasian pengawasan dengan sistem promosi dan mutasi.

Penguatan sistem pengawasan internal -Bawas MA- dan eksternal -KY- menjadi keharusan, termasuk posisi Ketua Muda Pengawasan yang kosong hingga hari ini harus segera dipilih dengan sosok yang berintegritas dan berani. MA dan KY seharusnya mencari jalan keluar atas permasalahan kedua institusi tersebut, terutama menerjemahkan secara bersama batasan etik dan perilaku hakim dengan urusan teknis yudisial.

“Persoalan mafia peradilan harus dipecahkan melalui langkah-langkah luar biasa dengan melibatkan publik dan bukan dengan penerbitan Perppu. Capaian reformasi dan kewibawaan peradilan sangat bergantung pada langkah apa yang akan diambil oleh Pimpinan MA,” pungkas Miko.
Beberapa kasus mafia peradilan yang terjadi belakangan ini memunculkan wacana agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Hal itu sebagai upaya menyelamatkan lembaga peradilan dari ulah sejumlah oknum yang terlibat dalam kasus korupsi. Perppu dinilai sebagai jalan yang cepat dalam mengatasi kondisi degradasi peradilan.

Komisioner Komisi Yudisial (KY), Farid Wadji, menilai sepintas usulan Perppu penyelamatan lembaga peradilan adalah hal yang baik. Oleh karena itu, KY menunggu tindaklanjut yang lebih konkrit dari pemerintah karena penerbitan Perppu menjadi kewenangan dan ranah presiden. Hanya saja, pemerintah mesti menelaah terlebih dahulu urgensi persyaratan penerbitan Perppu tersebut.

“Sepintas bagi kami ini perkembangan yang baik, kami menantikan tindaklanjut kongkrit pemerintah,” ujarnya melalui pesan singkat di Jakarta, Senin (30/5).

Sekadar ingatan, usulan Perppu penyelamatan lembaga peradilan kali pertama muncul dari hakim agung Gayus Lumbuun. Hakim agung itu gerah melihat hakim dan panitera di jajaran lembaganya terjerat kasus korupsi.

Menurut Farid, praktik korupsi yang terjadi di lembaga peradilan belakangan ini menunjukkan buruknya situasi peradilan saat ini. Ia menilai berbagai peristiwa tersebut mesti dijadikan momentum perubahan. Pasalnya, perubahan signifikan dapat menyentuh ke akar persoalan. Bukan sebaliknya, perubahan hanya aksesoris semata.

“Jangan sampai reformasi peradilan berjalan, namun korupsi peradilan juga tidak berhenti. Perubahan itu tidak elok jika sekadar memindahkan bandul masalah,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait