Pro-Kontra Pengacara Keluarga Presiden
All the Presidents’ Lawyers

Pro-Kontra Pengacara Keluarga Presiden

SBY adalah contoh presiden yang menunjuk khusus pengacara keluarga. Buyung sempat menyampaikan penyesalan atas tindakan SBY.

M. Yasin/Hasyry Agustin
Bacaan 2 Menit
Palmer Situmorang (Kanan). Foto: RES
Palmer Situmorang (Kanan). Foto: RES

Bermula dari telepon dari Sekretariat Negara ke telepon seluler Palmer Situmorang pada 4 Desember 2013. Si penelepon memberitahukan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin bertemu. Presiden membutuhkan jasa advokat. Meskipun seolah tak percaya pada awalnya, Palmer tetap meluncur ke Istana Bogor, menemui Presiden, 9 Desember 2013.

Jadilah kemudian publik mengetahui Palmer ditunjuk menjadi kuasa hukum keluarga Presiden SBY. Palmer juga tampil membela dan memberikan klarifikasi kepada masyarakat jika nama keluarga SBY disebut-sebut dalam suatu kasus. Misalnya ketika terdakwa kasus korupsi Anas Urbaningrum meminta agar SBY dan anaknya Edhi Baskoro alias Ibas menjadi saksi di persidangan. Palmer langsung mengklarifikasi. “Pak SBY dan Ibas tidak tahu menahu mengenai proyek Hambalang,” jelas advokat lulusan Universitas Krisnadwipayana Jakarta itu.

Klarifikasi juga diberikan Palmer saat nama SBY disebut-sebut dalam kasus Bank Century. Kadang klarifikasi dilakukan melalui konferensi pers atau mengirimkan rilis, kadang memberitahukan melalui surat kepada media bersangkutan. Jika tudingan tak berdasar, Palmer menyiapkan upaya hukum. Palmer dibantu dua advokat lain, Hafzan Taher dan Bachtiar Sitanggang.

Dihubungi Senin (22/9), Palmer Situmorang menegaskan masih menjadi pengacara Presiden SBY. Meskipun SBY akan menyerahkan jabatan presiden kepada Joko Widodo, selama kuasa belum dicabut Palmer tetap menjadi pengacara SBY dan keluarganya. “Sampai dicabut. Berlaku selama ada keperluan,” ujarnya.

Mengadu ke polisi
Selama menjabat dua periode, SBY tak lepas dari kritik dan tudingan miring. Salah satu yang membuat SBY ‘mentally down’ adalah tudingan bahwa ia pernah menikah dan punya anak sebelum masuk Akademi Militer di Magelang. Yang mengeluarkan pernyataan bukan sembarang orang, dialah Zaenal Ma’arif, mantan Wakil Ketua DPR.

Merasa nama baiknya dicemarkan, SBY melapor ke Polda Metro Jaya. Diiringi pengawal dan didampingi sang istri, Ani Yudhoyono, SBY mendatangi Polda Metro Jaya pada Minggu, 29 Juli 2007. Pilihan datang pada hari libur ada hubungannya dengan penjelasan sang Presiden kepada wartawan kala itu. SBY mengatakan ia datang melapor ke polisi sebagai warga Negara, bukan sebagai presiden. Karena itu pula ia tak menggunakan instrumen aparat penegak hukum di bawahnya untuk langsung memproses Zaenal.

“Saya datang dalam kapasitas saya sebagai warga negara, bukan sebagai presiden. Saya harus mengikuti hukum jika warga negara mendapat masalah seperti ini. Saya juga tidak menggunakan perangkat negara seperti Jaksa Agung dan Kapolri,” jelas SBY.

Meski SBY sudah memaafkan, Zaenal tetap dihukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat delapan bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun. Majelis dipimpin Agung Raharjo menyatakan Zaenal terbukti mencemarkan harkat dan martabat keluarga SBY. Patut dicatat bahwa pada masa pemerintahan SBY pula Mahkamah Konstitusi mencabut pasal-pasal penghinaan Presiden dalam KUHP.

Kritik Buyung
Laporan langsung Presiden SBY ke polisi menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mendukung, ada yang mengkritik. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hukum (2007-2009), Adnan Buyung Nasution, termasuk yang melayangkan kritik. 

“Saya kaget mengetahui kejadian itu,” tulis Buyung dalam bukunya ‘Nasihat untuk SBY’. Buyung melanjutkan ada perasaan bersalah, guilty feeling, bercampur kesal atas kedatangan SBY ke Sentra Pelayanan Kepolisian tanpa lebih dahulu berkonsultasi dengan anggota Wantimpres.

“Meskipun Presiden mengatakan kepergiannya ke Polda Metro Jaya untuk masalah pribadi, tapi tidak begitu caranya. Presiden kan punya penasihat bidang hukum di Wantimpres, kenapa tidak bertanya dulu?,” tulis Buyung.

Rasa bersalah campur kesal ditumpahkan Buyung saat sidang kabinet di Istana Tampaksiring, Bali. Sebelum sidang ditutup, Buyung angkat tangan, mohon izin bicara. Seperti tertulis dalam buku tersebut, Buyung menyatakan tidak perlu presiden sendiri yang datang.

“Saya mau menyatakan penyesalan, tidak setuju, kenapa presiden dalam posisi presiden pergi melapor ke Polda Metro Jaya mengenai delik penghinaan terhadap presiden. Sebetulnya tidak perlu presiden sendiri yang datang. Banyak cara, there are many ways to Rome. Sangat saya sesalkan hal itu. Kenapa Bapak Presiden tidak menelepon saya, bertanya kepada saya, bagaimana cara yang baik untuk menghadapinya”.

Diam sejenak, Presiden menjawab Buyung. “Bang, memang waktu itu saya sedang mentally down. Abang bayangkan, saya di mata keluarga bagaimana dituduh macam-macam seperti itu. Amat menjatuhkan nama baik saya, kehormatan saya. Jatuh sekali mental saya, sehingga tidak sempat saya telepon abang. Saya memang salah, saya minta maaf”.

Adegan itu terjadi sebelum SBY menunjuk pengacara keluarga. Setelah Palmer Situmorang dan kawan-kawan ditunjuk, Presiden tak pernah tercatat lagi secara langsung melaporkan orang yang melayangkan kritik atau tuduhan. Tim lawyer-nya yang terus bergerak. 

Salah seorang tokoh yang mendapat somasi dari tim hukum SBY dan keluarga adalah mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli. Pernyataan Rizal mengenai barter dan gratifikasi dalam jabatan dianggap memfitnah SBY. Seorang penulis di situs jurnalisme warga Kompasiana, Sri Mulyono, juga mendapat somasi dari pengacara karena tulisannya ‘Kejarlaku Daku, Kau Terungkap’. Tulisan ini seolah menuduh SBY memerintahkan KPK agar Anas Urbaningrum ditetapkan sebagai tersangka.

Somasi itu menimbulkan prokontra pula. Yang menentang menganggap somasi pengacara SBY dan keluarga itu berlebihan dan memperlihatkan sikap antikritik; sebaliknya yang pro menganggap siapapun berhak melayangkan somasi terhadap pihak yang sudah menghujat secara berlebihan apalagi memfitnah. “Hak seorang pemimpin juga mesti dihargai untuk menunjuk pengacara keluarga,” jelas Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR, Nurhayati Ali Assegaf.

Tags:

Berita Terkait