Pro Kontra Pemulihan Hak Pilih TNI
Berita

Pro Kontra Pemulihan Hak Pilih TNI

Pengamat politik mendukung usulan pemulihan hak pilih TNI yang diprediksi baru akan siap dieksekusi 2019.

Fat/Sam
Bacaan 2 Menit
Pro Kontra pemulihan hak pilih TNI. Foto: Sgp
Pro Kontra pemulihan hak pilih TNI. Foto: Sgp

Wacana hak pilih anggota TNI kembali menghangat. Muncul usulan agar hak pilih anggota TNI dipulihkan kembali. Seperti biasa wacana ini selalu memunculkan dua kubu berseberangan, pro dan kontra. Terlepas dari itu, wacana ini muncul di saat revisi regulasi pemilu tengah digodok di parlemen.

 

Dalam sebuah acara diskusi di DPD, Rabu (23/6), Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Chotibul Umam Wiranu menolak usulan pemulihan hak pilih anggota TNI dengan sejumlah alasan. Pertama, undang-undang jelas melarang anggota TNI dalam kegiatan politik. Pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 memang tegas melarang anggota TNI terlibat dalam kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.

 

Kedua, menurut Chotibul, karakteristik TNI dengan sistem komando tidak cocok dengan konteks civil society yang demokratis. “Bukan soal TNI sudah siap berdemokrasi, tetapi ada logika yang tidak nyambung (garis komando dan demorasi, red.),” ujar Chotibul.

 

Politisi PPP Arief Mudatsir Mandan mengingatkan bahwa memulihkan hak pilih TNI sama saja mengulang sejarah beberapa tahun silam. Ketika itu, tutur arief, keterlibatan TNI dalam politik mengakibatkan sistem ketatanegaraan tidak berjalan.

 

“Tentara bukan political society, tentara itu adalah combatan society, yakni masyarakat yang bersenjata yang memiliki SIM untuk membunuh musuh sesuai komando yang diberikan. Oleh karena itu dia combatan, maka dia tidak punya hak pilih,” ujarnya.

 

Di luar itu, sistem komando TNI tidak tepat jika diterapkan di ranah politik. Jika tetap dipaksakan, kata mantan Anggota DPR periode 2004-2009 ini, maka yang terjadi adalah demokrasi akan mati. “Jadi tidak ada tawar menawar, wacana seperti itu adalah wacana yang salah kaprah dan tidak harus dilanjutkan, tegasnya.

 

Menurut Mudatsir, ketimbang memulihkan hak TNI, sebaiknya pemerintah mencurahkan perhatiannya terhadap kesejahteraan prajurit TNI. Lalu, yang juga patut diperhatikan adalah persoalan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI yang masih banyak kekurangan. “Ini wacana yang lebih produktif, daripada wacana tentara diberi hak pilih dan dipilih,” tukasnya.

 

Anggota DPD AM Fatwa berpendapat pada dasarnya anggota TNI memiliki hak politik sebagaimana warga negara Indonesia pada umumnya. Sejarah juga mencatat bahwa berpuluh-puluh tahun TNI diberikan hak pilih dalam pemilu, sebelumnya akhirnya “dibekukan”.

 

Apabila hak pilih itu ingin dipulihkan, kata Fatwa, maka harus dipastikan terlebih dahulu apakah TNI sudah cukup profesional dan netral untuk diberikan hak tersebut. “Maka itu, untuk mencegah efek yang tidak diinginkan, persyaratan-persyaratan bagi TNI untuk berpolitik di dalam undang-undang harus ditegaskan kriterianya. Misal, harus memiliki profesional dan netralisme yang tinggi,” usul senator asal DKI Jakarta ini.

 

Dalam forum diskusi berbeda, Peneliti Imparsial Al Araf mengatakan wacana pemulihan hak pilih TNI perlu dikaji lebih dalam. Sebelum nanti diputuskan, Al Araf berharap beberapa hal perlu dipertimbangkan. Satu hal yang penting adalah persoalan independensi. Lalu, lanjut Al Araf, perlu dipikirkan pula teknis penggunaan hak pilih dalam pemilu. “Mungkin tidak memilih di barak, atau memilih pada masa libur dinas,” ujarnya.

 

Pengamat politik Arbi Sanit mendukung usulan pemulihan hak pilih TNI. “Sudah saatnya sudah dapat dimulai,” imbuhnya. Namun begitu, Arbi mengingatkan bahwa pemulihan tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa persiapan sistem. “Sistemnya harus diperhatikan lebih awal. Baru jika nanti semua telah siap, di 2019, TNI mungkin baru bisa ikut pemilu,” ujarnya.

Tags: