Pro Kontra Pembentukan Arbitrase dan Mediasi HKI
Utama

Pro Kontra Pembentukan Arbitrase dan Mediasi HKI

Pihak yang pro memandang pembentukan badan arbitrase dan mediasi adalah satu cara untuk menghindari markus.

Mon/Dny
Bacaan 2 Menit
Dirjen HKI Andi N Sommeng mendukung pembentukan <br> BAM HKI. Foto: Sgp
Dirjen HKI Andi N Sommeng mendukung pembentukan <br> BAM HKI. Foto: Sgp

Ide pembentukan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) mendapat sambutan positif dari pemerintah dan praktisi HKI. Pembentukan badan itu dinilai bisa memberi alternatif penyelesaian sengketa yang lebih baik ketimbang pengadilan. Seperti halnya badan arbitrase lain, kelebihan BAM HKI ini diharapkan bisa menyelesaikan perkara lebih cepat lantaran putusannya bersifat final dan mengikat.

 

“Capek berperkara di pengadilan. Kadang-kadang (putusannya) tidak bisa dijadikan landasan,” ujar praktisi HKI, Ali Imron. Pengacara dari Pasific Patent ini menyatakan tak jarang putusan hakim bertentangan satu sama lain, meski posisi kasusnya sama. “Kalau begitu, yang bisa dijadikan patokan yang mana? Itu menunjukkan hukum belum berjalan dengan baik,” imbuh Ali.

 

Ali menyatakan dengan pembentukan badan arbitrase HKI, penyelesaian sengketa bisa dituntaskan dengan biaya cepat dan murah. Ditambah lagi arbiter yang dipilih nantinya merupakan profesional sehingga diharapkan bisa menjatuhkan putusan yang adil bagi para pihak.

 

Hanya, Ali berpendapat sebaiknya arbiter berasal dari praktisi dan akademisi saja. “Saya sangsi kalau arbiternya berasal dari mantan pegawai Ditjen HKI, karena sebagian besar persoalan HKI berasal dari sana,” kata Ali.

 

Hal senada juga diungkapkan Agus Tribowo Sakti, praktisi dari Amroos & Partners. “Berperkara di pengadilan kelihatannya memang murah. Tapi kalau sampai tingkat kasasi dan peninjauan kembali, biayanya jadi mahal,” ujar Agus. Selain itu, imbuh Agus, pengadilan yang bersifat terbuka akan memberikan citra buruk dalam dunia bisnis. Sementara, arbitrase bersifat tertutup.

 

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar pun mendukung pembentukan badan yang digagas oleh sembilan orang praktisi HKI ini. Menurut Patrialis, penyelesaian ke pengadilan prosesnya panjang dan lama sehingga merugikan para pihak. Sementara, sengketa HKI membutuhkan penyelesaian yang cepat. “Arbitrase sangat bagus sebagai jalan pintas,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional ini.

 

Dirjen HKI, Andi Noorsaman Someng mendukung pembentukan badan arbitrase ini. “HKI itu hak privat, lebih baik kalau diselesaikan secara perdamaian, tak usah ke pengadilan. Cukup panjang dan biayanya mahal,” ujar Andi.

 

Fakta-fakta itulah yang mendorong penggagas membentuk badan arbitrase HKI. Mereka adalah mantan Dirjen HKI Zen Umar Purba, mantan Direktur Kerja Sama Ditjen HKI Ansori Sinungan, para raktisi Insan Budi Maulana, Cita Citra Winda, Elisabeth gunawan Suryomurcito, Justisiari P Kusumah, dan Widia Buenastuti (Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan).

 

Pertengahan April 2010 lalu, kesembilan penggagas bersama 15 asosiasi pengusaha menandatangani deklarasi pembentukan badan arbitrase. Asosiasi itu antara lain Yayasan Karya Cipta Indonesia, Asosiasi Franchise, Kamar Dagang Australia dan Kamar Dagang Eropa.

 

“Sekarang ini penegakan hukum merupakan aspek yang penting dan pemerintah perlu dibantu,” ujar Zen. Ia menyatakan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif lain memang diamanatkan peraturan di bidang HKI. Yakni, antara lain Pasal 84 UU Merek, Pasal 47 UU Desain Industri, Pasal 124 UU Paten dan Pasal 39 UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

 

Gunawan Suryomurcito menerangkan sebelum deklarasi, para penggagas menjaring pendapat dari pemangku kepentingan. Hasilnya, badan arbitrase khusus HKI memang diperlukan. “Alasan utama karena beracara pengadilan lama dan isu markus. Kalau sudah di pengadilan, money talk itu ada,” ujar Gunawan.

 

Pertanyaanya apakah badan arbitrase HKI bisa efektif? Sebagai perbandingan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) – yang notabene bisa menyelesaikan sengketa HKI – jumlah penanganan perkara HKI sedikit jumlahnya. Melihat hal itu, Zen menyatakan badan arbitrase HKI tidak bertujuan untuk menangani perkara sebanyak-banyaknya. “Kita hanya bertujuan untuk membantu penegakan hukum. Bukan atas dasar banyak sengketa,” ujar Zen.

 

Menurut Gunawan, soal ‘laku tidaknya’ badan arbitrase ini belum bisa dibuktikan sekarang. “Kami belum bisa memastikan bahwa apakah memang orang tidak butuh, nyatanya BANI sudah ada tapi nggak ada yang ke situ. Atau karena tidak ada lembaga khususnya. Itu masih menjadi tanda tanya,” ujarnya.

 

Ke depan, kata Gunawan, yang akan menyulitkan adalah kemauan para pihak untuk tunduk dan taat pada putusan arbitrase. “Orang Indonesia maunya menang,” ujar Gunawan. Sementara, UU No. 30/1999 tentang Arbitrase memungkinkan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

 

Di tengah sambutan positif, ada pula yang menyambut negatif rencana pembentukan arbitrase ini. Thurman Panggabean salah satunya. Praktisi HKI itu menilai saat ini badan tersebut belum diperlukan.

 

Pasalnya, perkara yang dibawa ke arbitrase adalah perkara yang didasari atas perjanjian. Dalam HKI biasanya berupa perjanjian lisensi. Sementara, saat ini perkara yang timbul adalah gugatan pembatalan atau penghapusan merek/hak cipta. “Saya rasa jangan terlalu mengada-ada,” imbuh Thurman.

Tags: