Pro Kontra Pembentukan Arbitrase dan Mediasi HKI
Utama

Pro Kontra Pembentukan Arbitrase dan Mediasi HKI

Pihak yang pro memandang pembentukan badan arbitrase dan mediasi adalah satu cara untuk menghindari markus.

Mon/Dny
Bacaan 2 Menit

 

Fakta-fakta itulah yang mendorong penggagas membentuk badan arbitrase HKI. Mereka adalah mantan Dirjen HKI Zen Umar Purba, mantan Direktur Kerja Sama Ditjen HKI Ansori Sinungan, para raktisi Insan Budi Maulana, Cita Citra Winda, Elisabeth gunawan Suryomurcito, Justisiari P Kusumah, dan Widia Buenastuti (Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan).

 

Pertengahan April 2010 lalu, kesembilan penggagas bersama 15 asosiasi pengusaha menandatangani deklarasi pembentukan badan arbitrase. Asosiasi itu antara lain Yayasan Karya Cipta Indonesia, Asosiasi Franchise, Kamar Dagang Australia dan Kamar Dagang Eropa.

 

“Sekarang ini penegakan hukum merupakan aspek yang penting dan pemerintah perlu dibantu,” ujar Zen. Ia menyatakan pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau alternatif lain memang diamanatkan peraturan di bidang HKI. Yakni, antara lain Pasal 84 UU Merek, Pasal 47 UU Desain Industri, Pasal 124 UU Paten dan Pasal 39 UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

 

Gunawan Suryomurcito menerangkan sebelum deklarasi, para penggagas menjaring pendapat dari pemangku kepentingan. Hasilnya, badan arbitrase khusus HKI memang diperlukan. “Alasan utama karena beracara pengadilan lama dan isu markus. Kalau sudah di pengadilan, money talk itu ada,” ujar Gunawan.

 

Pertanyaanya apakah badan arbitrase HKI bisa efektif? Sebagai perbandingan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) – yang notabene bisa menyelesaikan sengketa HKI – jumlah penanganan perkara HKI sedikit jumlahnya. Melihat hal itu, Zen menyatakan badan arbitrase HKI tidak bertujuan untuk menangani perkara sebanyak-banyaknya. “Kita hanya bertujuan untuk membantu penegakan hukum. Bukan atas dasar banyak sengketa,” ujar Zen.

 

Menurut Gunawan, soal ‘laku tidaknya’ badan arbitrase ini belum bisa dibuktikan sekarang. “Kami belum bisa memastikan bahwa apakah memang orang tidak butuh, nyatanya BANI sudah ada tapi nggak ada yang ke situ. Atau karena tidak ada lembaga khususnya. Itu masih menjadi tanda tanya,” ujarnya.

 

Ke depan, kata Gunawan, yang akan menyulitkan adalah kemauan para pihak untuk tunduk dan taat pada putusan arbitrase. “Orang Indonesia maunya menang,” ujar Gunawan. Sementara, UU No. 30/1999 tentang Arbitrase memungkinkan permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Halaman Selanjutnya:
Tags: