Pro Kontra Pembatasan Masa Aktif KPK
Berita

Pro Kontra Pembatasan Masa Aktif KPK

Ke depan, tidak dapat ditebak terkait dengan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman. Foto: RES
Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman. Foto: RES

Revisi Undang-Undang (RUU) No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Korupsi (KPK) masuk Prolegnas 2015. Ironisnya, kelembagaan KPK bakal terancam bubar. Pasalnya, KPK akan beroperasi selama dua belas tahun ke depan sejak UU KPK hasil revisi diberlakukan.

Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman berpandangan, revisi UU KPK dapat dilakukan sepanjang menjadi kebutuhan dalam pemberantasan korupsi yang melemah. Ia menilai setidaknya terdapat beberapa pasal dalam UU KPK yang mesti direvisi dalam rangka mencegah multi interpretasi.

Misalnya, mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh KPK. Benny sedikit berang dengan batasan beroperasinya KPK selama dua belas tahun ke depan sejak diundangkannya UU KPK hasil revisi. Ia menilai mesti adanya ukuran batasan operasi KPK. “Menurut saya KPK dengan sendirinya kehilangan fungsi, keberadaannya saat institusi penegak hukum lain semacam polisi dan jaksa lebih baik,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan, perlunya melakukan penelitian terkait latar belakang perubahan UU KPK. Jika latar belakang perubahan UU KPK dalam rangka melumpuhkan pemberantasan korupsi dengan mencopot kewenangan lembaga antirasuah maka mesti ditolak.

“Kenapa 12 tahun, kenapa tidak 2 tahun, 50. 100 tahun itu yang emsti diteliti. Tapi itu kan masih pikiran awal, belum jadi, apa rasionalitasnya,” ujarnya.

Pasal 5 RUU KPK secara jelas memberikan batasan waktu beroperasinya KPK. Pasal itu berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan”.

Wakil ketua Komisi III lainnya, Desmon Junaedi Mahesa mengatakan batasan waktu selama 12 tahun sejak diundangkannya UU KPK hasil revisi tidak berdasar. Pasalnya, peristiwa ke depan tidak dapat ditebak terkait dengan penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.

“Waktu KPK dibikin, kejaksaan dan polisi tidak beres. Jadi, soal itu kapan zero corruptiopn itu?  parameter sederhana penindakan bawa efek jerak tidak? Mulai dari mana, apa ada lembaga yang berdasarkan masukan KPK yang bolong (korup) itu,” ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu berpandangan, pembatasan beroperasinya KPK 12 tahun ke depan mesti menjadi pertimbangan terkait perubahan mental institusi kepolisian dan kejaksaan. “Inilah sebagai bahan renungan, apa polisi sudah berubah? Seperti saya bilang niat selalu baik. Kejaksaan dan Kepolisian tidak beres lalu ada KPK, apa sekarang sudah beres, posisinya sama,” katanya.

Anggota Baleg Masinton Pasaribu berpandangan, sebagai bagian pihak pengusul RUU KPK, keberadaan lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi belumlah optimal. Sejak era reformasi hingga saat ini masuk dalam masa transisi, yakni dengan keberadan KPK. Hal itu disebabkan lembaga kepolisian dan kejaksaan tak mampu melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal. Dengan begitu, masa transisi inilah yang perlu diakhiri. Dengan catatan penataan dan penguatan institusi kepolisian dan kejaksaan.

“Masa transisi kapan kita akhiri, kita buat batasan waktu 12 tahun.  Ada rentang 20 tahun sebenarnya, penguatan pembetantasan korupsi kurang kita revisi kembali semangat bagaimana penataan kepolisian kita dan kejaksaan agar bisa bekerja melaksanakan penegakkan hukum,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat, KPK sebagai lembaga yang lahir di era reformasi ketika kepolisian dan kejaksaan terkooptasi oleh orde baru. Seiring berjalannya waktu itulah perlu dilaklukan penataan sistem kelembagaan penegakan hukum. Menurutnya melalui revisi UU Kejaksaan dan Kepolisian, kedua institusi itu bakal diperkuat terkait dengan peran penegakan hukum secara optimal. “Kita mengakhiri masa transisi KPK,” ujarnya.

Meski demikian, kata Masinton, jika dirasa 12 tahun kurang maka bukan tidak mungkin dapat diperpanjang waktu masa transisi tergantung dari kebutuhan. Yang pasti, ide pembatasan 12 tahun masih sebatas wacana, belum di tingkat akhir. “12 tahun ada waktu, kalau rasa kurang kita panjangkan lagi, pembatasan sampe kapan,  17 tahun, efektif 18 tahun kita bisa, tergantung kebutuhan memperpanjangnya,”  pungkas anggota Komisi III itu.

Terpisah, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW),Emerson Yuntho, berpandangan Pasal 5 dan 73 RUU KPK menyebutkan secara spesifik pembatasan usia KPK hanya 12 tahun sejak disahkannya UU KPK hasil revisi. Hal tersebut bukanlah bentuk penguatan, sebaliknya hanyalah pelumpuhan KPK.

“Ini adalah kiamat pemberantasan korupsi, bukan hanya bagi KPK tapi juga bangsa Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan, pendirian KPK merupakan mandar reformasi. Publik pun berharap banyak terhadap kinerja KPK. Menurutnya, pembubaran KPK secara permanen melalui RUU KPK menjadi lonceng peringatan baik bagi koruptor. “Tetapi jadi penanda datangnya kiamat bagi publik dan upaya pemberantasan korupsi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait