Pro Kontra Eksistensi Lembaga Manajemen Kolektif
Utama

Pro Kontra Eksistensi Lembaga Manajemen Kolektif

Pemusik menilai peran LMK belum maksimal.

ABDUL RAZAK ASRI/FAJAR REYHAN
Bacaan 2 Menit
Acara seminar BAM HKI di Jakarta. Foto: SGP
Acara seminar BAM HKI di Jakarta. Foto: SGP

Seorang Inul Daratista mungkin tidak pernah terpikir akan bersentuhan dengan urusan pengadilan. Biduanita dangdut yang cukup sukses dengan bisnis karaokenya ini ‘terpaksa’ datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat demi melayani gugatan yang dilayangkan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), sebuah lembaga manajemen kolektif (LMK).

Saat ini, jumlah LMK di Indonesia sudah cukup banyak. Bahkan, ada sebagian kalangan yang menyatakan LMK sudah menjamur di Indonesia sehingga dipertanyakan kemanfaatannya. Hal ini terungkap dalam acara seminar yang diselenggarakan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAM HKI) di Jakarta, Senin (29/4).

“Untuk bidang musik saja setahu saya ada enam, ada KCI (Karya Cipta Indonesia), RMI (Royalti Musik Indonesia), WAMI (Wahana Musik Indonesia, ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), ASPRINDO (AS Industri Rekaman Indonesia), dan PRISINDO (Performers’ Rights Society of Indonesia),” kata Djanuar Ishak, Sekretaris PRISINDO di sela-sela acara seminar.

Secara tersirat Djanuar mengkonfirmasi bahwa jumlah LMK memang semakin bertambah dari waktu ke waktu. Djanuar bahkan mengakui keberadaan LMK menjadi rancu karena user dipungut royalti oleh beberapa LMK sekaligus. Dia berpendapat kondisi ini memang membutuhkan solusi yang tepat.

“Maka solusi dari ini mengikuti apa yang akan dibuat dalam RUU Hak Cipta. Dimana nanti akan ada satu LMK yang mewakili bidang musik, buku, dan lain-lain,” papar Djanuar yang juga dikenal sebagai pencipta sekaligus penata musik ini.

Selain soal rancu, lanjut Djanuar, masalah lainnya adalah pemahaman yang minim para pihak yang berkepentingan atas keberadaan LMK. Dia bercerita, tidak jarang LMK dianggap sebagai yayasan sosial yang bertugas membantu ketika pencipta karya mengalami kesusahan. Dia tegaskan, LMK bukan yayasan sosial karena lembaga yang menjalankan fungsi itu sudah banyak di Indonesia.

Mengamini persoalan yang disebut Djanuar, personil band UNGU, Makki Parikesit mengakui kalangan pemusik memang masih bingung tentang keberadaan LMK. Dia bahkan berani menyebut sekitar 90 persen pemusik belum begitu paham pentingnya LMK. “Mereka (pemusik) sepertinya tidak paham kalau hak mereka dibela oleh LMK-LMK ini,” katanya.

“Fungsi LMK terasa tapi belum maksimal, sosialisasi untuk mengkampanyekan pentingnya LMK perlu dilakukan karena pencipta juga perlu diberi pemahaman yang tepat,” ujar Makki.

LMK Penting
Terlepas dari masalah yang muncul, Djanuar menekankan bahwa keberadaan LMK itu penting. Prinsipnya, kata dia, setiap karya itu memiliki nilai (value) dan potensi ekonomi pada hak pelaku pertunjukan. Fungsi LMK adalah mengelola hak pelaku pertunjukan. “Prinsipnya No Pay No Play (tidak bayar, maka tidak bisa dimainkan, red),” imbuhnya.

Dalam acara yang sama, Managing Director RMI Husain Audah menjelaskan landasan filosofis tentang pentingnya LMK. Menurut dia, keberadaan LMK adalah solusi atas masalah yang dihadapi pencipta maupun user.

Masalah dari sisi pencipta, mereka tentunya sulit untuk mengetahui siapa yang sedang memainkan atau mempertunjukan karyanya. Sementara, dari sisi user, mereka juga akan sangat kesulitan bila harus meminta izin satu persatu dari pencipta lagu yang karyanya akan digunakan.

“Bagi para pencipta yang bersangkutan dapat melakukan pekerjaannya dengan tenang, konsentrasi dalam berkarya tanpa harus direpotkan dengan urusan administrasi dan pemungutan royaltinya,” papar Husain.

Tags:

Berita Terkait