Prinsip Ex Aequo et Bono Juga Diterapkan Hakim Industrial
Berita

Prinsip Ex Aequo et Bono Juga Diterapkan Hakim Industrial

Dalam praktek, kebanyakan hakim enggan untuk memutus lebih dari apa yang diminta. Apalagi dalam perkara perdata. Tetapi bukan mustahil hakim memutus berdasarkan apa yang dirasakan adil.

Mys/KML
Bacaan 2 Menit
Prinsip <i>Ex Aequo et Bono</i> Juga Diterapkan Hakim Industrial
Hukumonline

Tengok saja putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara gugatan ujian nasional Mei silam. Dalam putusannya, hakim menolak petitum yang disampaikan penggugat. Meskipun demikian, hakim juga menghukum tergugat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan. Putusan hakim didasarkan pada asas ex aequo et bono.

 

Secara umum, ex aequo et bono diartikan sebagai permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya bila hakim punya pendapat lain daripada apa yang diminta pada petitum. Dalam perkara perdata, penggugat lazim mengajukan prinsip ini pada bagian akhir gugatannya. Hakim memang wajib mempertimbangkan hukum dan rasa keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.

 

Berdasarkan penelusuran hukumonline, putusan hakim yang didasarkan pada ex aequo et bono bukan hanya dalam kasus gugatan ujian nasional tadi. Belum lama ini, majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) juga membuat pertimbangan sejenis.

 

Menimbang, bahwa sekalipun majelis hakim tidak dapat mengabulkan gugatan penggugat, namun demikian demi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak, majelis akan memutus perkara aquo berdasarkan asas ex aequo et bono atau putusan yang seadil-adilnya, papar majelis hakim PHI beranggotakan  Lilik Mulyadi, Junaedi, dan Sri Razziaty Ischaya. Perkara yang diputus adalah perkara nomor 176/PHI.G/2007.

 

Dalam amarnya majelis menghukum tergugat membayar hak-hak penggugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan upah selama proses PHK. Kalau ditotal jumlahnya sekitar Rp44,38 juta. Selain itu, majelis mengesahkan PHK antara penggugat dan tergugat terhitung sejak 11 November 2005.

 

Putusan ini merupakan jawaban atas gugatan Robinson Hasibuan terhadap Direksu Perusahaan Umum (Perum) PPD. Tadinya, Robinson adalah sopir PPD dengan status karyawan tetap atau pegawai. Selama 24 tahun ia mengabdikan diri, hingga akhirnya malapetaka datang: Surat Keputusan Direksi PPD tentang Pemberhentian Dengan Hormat Karena Tidak Dapat Melaksanakan Tugas Sebagai Pegawai Perum PPD.

 

Robinson tentu saja kesal disebut tidak dapat melaksanakan tugas. Nyatanya, ia berhenti karena sejak 2003 bis PPD yang biasa ia bawa sudah dikandangkan. Sejak itu, ia terpaksa berbagi dengan sopir lain membawa bis cadangan. Ia justru khawatir surat PHK keluar lantaran terkait aktivitasnya sebagai pengurus aktif serikat pekerja di Perum PPD. Baik alasan maupun prosedur pemecatan dinilai Robinson melanggar aturan.

 

Di pengadilan, kuasa hukum PPD mencoba membangun argumen bahwa gugatan Robinson tidak berdasar dan keliru. Pemberhentian penggugat, kata tergugat, justru sebagai penghormatan atas hak karyawan dalam hal pengunduran diri. Intinya, tergugat menganggap Robinson telah mengundurkan diri. Tergugat juga menganggap PHI tidak berwenang menangani gugatan Robinson mengingat status PPD sebagai BUMN.

 

Majelis berpandangan, oleh karena hubungan kerja penggugat dan tergugat bersifat tetap, maka pengakhiran kerja harus mengacu kepada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Meskipun demikian, permintaan Robinson agar PPD mempekerjakan dirinya kembali ditolak hakim. Demikian juga petitum mengembalikan harkat dan martabat penggugat seperti semula. Ia juga meminta SK PHK dinyatakan batal.

 

Petitum yang diajukan Robinson ditolak majelis. Tetapi majelis hakim tetap ‘memenangkan' dia dengan menghukum PPD membayar sejumlah kewajiban. Menariknya, putusan yang dijatuhkan pada Agustus lalu itu, mengacu pada prinsip ex aequo et bono.

 

Direktur Eksekutif Trade Union Rights Center (TURC) Surya Tjandra mengatakan di luar PHI sebenarnya ada beberapa kali hakim memutus berdasarkan prinsip itu. Putusan demikian umumnya didasarkan pada pertimbangan yang matang, dengan memperhatikan banyak aspek.

 

Tags: