Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial
Utama

Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial

Ambang batas ini dinilai justru membuat presiden dalam posisi lemah sejak pencalonan, karena dia dipaksa bertransaksi jangka pendek dengan partai pengusung untuk memenuhi syarat suara atau kursi. Akibatnya, membuka pintu yang demikian luas terhadap oligarki.

CR-28
Bacaan 4 Menit
Narasumber dalam Forum Diskusi Salemba 73 bertajuk 'Merefleksikan Kembali Presidential Threshold (PT) 0 Persen, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?' Kamis (27/1/2022). Foto: CR-28
Narasumber dalam Forum Diskusi Salemba 73 bertajuk 'Merefleksikan Kembali Presidential Threshold (PT) 0 Persen, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?' Kamis (27/1/2022). Foto: CR-28

Isu presidential threshold (PT) kembali menghangat dengan adanya sejumlah permohonan pengujian materil Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait ambang atas pencalonan presiden (presidential threshold/PT). Aturan ambang batas pencalonan presiden ini sebetulnya isu lama yang belakangan ini mencuat kembali jelang Pemilu 2024 mendatang. Sebab, beberapa tahun lalu aturan itu telah berkali-kali diuji di MK dan putusannya ditolak karena dianggap sebagai open legal policy pembentuk UU.

“Seharusnya PT ini kita persoalkan sejak 2014 dulu. Kami-kami yang sudah 14 kali memohon judicial review untuk PT menemui jalan sunyi betul. Seperti tidak mendapat perhatian atau jangan-jangan dalam tanda kurung. Apakah karena ada kepentingan relatif praktis?” ujar Peneliti Komunikasi Politik sekaligus Inisiator Judicial Review Perubahan Sistem Pemilu Tanpa Presidential Threshold, Effendi Gazali dalam Forum Diskusi Salemba 73 bertajuk “Merefleksikan Kembali Presidential Threshold (PT) 0 Persen, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?” Kamis (27/1/2022). (Baca Juga: Beramai-Ramai ‘Gugat’ Aturan Ambang Batas Pencalonan Presiden)

Selama perjalanannya memohon pengujian UU Pemilu ke MK, dia memegang teguh pemikiran bahwa bagi yang maju dalam ajang pemilihan umum dapat berhadapan dengan calon presiden lain yang mencukupi secara jumlah dan merupakan putra-putri terbaik bangsa. Sehingga siapapun yang memenangkan pemilu memang telah melalui kompetisi yang dijamin oleh Konstitusi.

Mengacu pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Effendi menilai Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 ini sebetulnya dijamin meniadakan PT, tidak mengenal PT. “Terlebih, terdapat pertanyaan yang belum pernah terjawab sampai sekarang, mengapa pemilu serentak manapun di dunia tidak mengenal PT?”

Dalam kesempatan yang sama, Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti turut melontarkan pertanyaan konstitusional yang dirasa belum terjawab. Hal itu berkenaan perihal kesesuaian pengaturan ambang batas dengan syarat pencalonan dalam konstitusi. Argument utama MK, menurut dia, selalu menyatakan bahwa PT merupakan open legal policy. Padahal, MK sendiri seringkali menyatakan bahwa sesungguhnya MK memiliki kewenangan melakukan penilaian dengan menguji open legal policy terhadap UUD Tahun 1945.

Jika menelisik dari segi original intent pun, tidak ada pemikiran PT akan diberlakukan baik sebagaimana tertuang dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Tahun 1945. Termasuk dirinya sudah berdiskusi informal dengan anggota Forum Konstitusi yang merupakan mantan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR saat membentuk amendemen UUD 1945 yang semula mereka tidak membayangkan adanya PT. “Tidak ada pembicaraan itu, memang tentu saja membicarakan pemilihan presiden langsung yang menjadii gagasan baru dalam amendemen konstitusi kita. Tapi tidak dibicarakan oleh mereka sama sekali terkait PT,” ungkap Bivitri.

Meski demikian, kata dia, MK kerap melontarkan argumentasi yang esensial bahwa ambang batas dapat menjauhkan Indonesia dari sistem presidensial menjadi rasa parlementer. Dia mempertanyakan kebenaran ini. Menurutnya, telah banyak permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu dengan menghadirkan berbagai ahli ilmu politik dan ahli hukum tata negara yang membongkar hal tersebut. Namun masih belum menimbulkan keyakinan di kalangan hakim konstitusi mengenai sistem presidensial dan bagaimana membuatnya menjadi efektif.

“Sebenarnya ambang batas ini justru membuat presiden dalam posisi lemah sejak pencalonan, karena dia dipaksa bertransaksi jangka pendek dengan partai untuk memenuhi syarat suara atau kursi. Jadi tidak ada transaksi yang sifatnya programatik, tapi betul-betul pragmatis saja. Ini yang selama ini terjadi, akibatnya membuka pintu yang demikian luas terhadap oligarki,” bebernya.

48 negara tidak terapkan PT

Akibat koalisi yang pragmatis ini paling tidak ada dua. Pertama, akan terbangun koalisi besar yang meniadakan negosiasi per isu dan pandangan alternatif di DPR. Pandangan yang berseberangan menjadi minim, seperti yang terjadi sewaktu revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara. “Saya tidak mengatakan dalam arti harus ada perlawanan, bukan itu, tetapi dalam demokrasi yang sehat, harusnya check and balences ini terjadi.”

Bivitri menyayangkan akan minimnya pertanyaan kritis yang sepatutnya dilontarkan DPR terhadap eksekutif. Terlebih dengan 82% koalisi pemerintah sekarang, dalam rapat-rapat DPR bisa dilihat bahkan ketika ada yang hendak mengemukakan pendapat microphone-nya justru dimatikan. Terhitung satu dua partai yang tidak tidak ada dalam koalisi yang akan menyatakan pendapat atau walk out seperti dalam pembahasan UU Cipta Kerja.

Kedua, membuka lebar pintu untuk oligarki. Menurutnya, segala kepentingan dapat dimasuki sedari awal, hal ini bukan dia lontarkan tanpa dasar. Bivitri mengutip sejumlah studi yang telah banyak dipublikasikan menunjukan demikian. Padahal itu menjadi suatu yang tidak dikehendaki konstitusi Indonesia.

Melanjutkan pemaparannya, ia mengutip salah satu studi pada jurnal konstitusi dimana seorang peneliti MK menampilkan data yang paling tidak dari 48 negara yang menerapkan sistem presidensial ternyata tidak ada satu pun yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden. Berlanjut pada polemik kekhawatiran terlalu banyak calon jika tidak menggunakan sistem PT, menurutnya bukan menjadi hal yang dipusingkan mengingat ada kualifikasi administratif dan teknis.

Justru alih-alih memberi dampak positif, kata dia, eksistensi PT justru menutup peluang kompetisi. Hal tersebut tidak hanya merugikan calon potensial, tetapi seluruh masyarakat Indonesia karena mendapat calon yang sudah difilter oleh partai politik atas kepentingan mereka.

Kemudian ada seorang ahli yang mengatakan dalam persidangan bahwa PT menjadi bentuk penyederhanaan partai politik. Padahal dimensinya berbeda karena sudah ada aturan parliamentary threshold. Hal itulah cara untuk menyederhanakan partai politik bila enggan memiliki sistem multi partai yang terlalu kompleks.

“Mendirikan partai politik itu HAM, tetapi bagi partai politik bisa maju atau tidak dalam kompetisi mendapatkan kursi itu boleh diatur dalam kualifikasi tertentu. Itulah caranya menyederhanakan partai politik. Tidak ada bukti yang memperlihatkan PT di Indonesia akan menyederhanakan partai politik,” katanya.

Tags:

Berita Terkait