Presiden Tandatangani UU Penanganan Konflik Sosial
Berita

Presiden Tandatangani UU Penanganan Konflik Sosial

Setiap orang wajib bertoleransi.

Red
Bacaan 2 Menit
Presiden SBY tandatangani UU penanganan konflik sosial. Foto: Sgp
Presiden SBY tandatangani UU penanganan konflik sosial. Foto: Sgp

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Undang-undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, pada 10 Mei 2012, yang sebelumnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 11 April 2012.


Demikian situs Sekretariat Kabinet memberitakan, Senin (28/5). Termuat di UU ini 62 pasal yang mengatur mengenai penanganan konflik sosial melalui tiga tahapan. Mulai dari pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.


UU ini menegaskan, penanganan konflik harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, kekeluargaan, mengacu pada bhineka tunggal ika, keadilan, esetaraan gender, ketertiban, dan kepastian hukum. Juga mencerminkan keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung  jawab negara, partisipatif, tidak memihak, dan tidak membeda-bedakan.


Penanganan konflik bertujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Lalu memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Meningkatkan tenggang rasa dan toleransi, memelihara fungsi pemerintahan, melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum. Serta memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban, dan memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat. Demikian Pasal 3 UU ini.


Disebutkan dalam UU tersebut, bahwa konflik dapat bersumber dari permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antar suku, dan antaretnis, sengketa batas wilayah, sengketa sumber daya alam, dan distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang.


UU mewajibkan setiap orang untuk mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Lalu, menghormati perbedaan suku, bahasa, dan istiadat orang lain.


Kemudian mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan marrtabatnya. Lalu, mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit.


Diamanatkan pula dalam UU ini, penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai. Serta, mengutamakan musyawarah untuk mufakat dan hasil musyawarah mengikat para pihak.


Disebutkan Pasal 9 UU 7 Tahun 2012, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pemda) berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat. Kemudian membangun sistem peringatan dini untuk mencegah konflik atau perluasan konflik di daerah yang sedang terjadi konflik melalui media komunikasi.


Bila konflik telah terjadi, upaya pemerintah untuk menghentikan dapat dilakukan dengan  penggunaan tindakan kekerasan fisik. Diamanatkan pula penetapan status keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, dan/atau bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.


Ditegaskan pula, jika kekerasan fisik ditempu pemerintah, diharuskan koordinasi dan dikendalikan Polri, melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat, serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.


Mengenai bantuan TNI, ditegaskan dalam status keadaan konflik skala kabupaten/kota, bupati/walikota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah. Kemudian untuk skala provinsi, gubernur meminta bantuan penggunaan TNI kepada pemerintah. Sedangkan untuk skala nasional, pengerahan TNI dilakukan dengan lebih dulu dilakukan konsultasi oleh presiden kepada DPR.


Penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI berakhir apabila telah dilakukan pencabutan penetapan status keadaan konflik. Atau berakhirnya jangka waktu status keadaan konflik, demikian Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU ini.


UU ini juga membuka peluang pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial seagai lembaga penyelesaian konflik yang bersifat ad hoc di tingkat Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Yaitu dilakukan apabila tidak ada pranata adat dan/atau pranata sosial di daerah konflik.


Kemudian, pranata adat dan/atau pranata sosial tetap tidak berfungsi. Atau mekanisme musyawarah mufakat tidak berjalan dalam pranata adat dan/atau pranata sosial. Lalu, tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme musyawarah pranata adat dan/atau pranata sosial.

Tags:

Berita Terkait