Presiden Tak Akan Intervensi Kasus Meiliana
Utama

Presiden Tak Akan Intervensi Kasus Meiliana

Komisi Yudisial (KY) diminta memberi perhatian lebih pada persidangan kasus dugaan penistaan agama oleh Meiliana. Komnas HAM bakal mengajukan Amicus Curiae untuk kasus Meiliana.

Ady TD Ahmad
Bacaan 2 Menit

 

Terpisah, Direktur Eksekutif Elsam, Wahyu Wagiman, melihat vonis yang dijatuhkan kepada Meiliana tak hanya terbukti menista agama Islam tapi juga menyatakan tindakan yang dilakukan Meiliana memicu terjadinya kerusuhan di Tanjung Balai. Kerusuhan itu berujung pembakaran vihara dan kelenteng pada Juli 2016.

 

Wahyu menilai ada pemaksaan argumen hukum yang dikenakan kepada Meiliana sejak dakwaan diajukan oleh jaksa. Dalam dakwaan, Meiliana dianggap melanggar pasal 156a KUHP. Dasar yang digunakan yakni keluhan yang disampaikan Meiliana terhadap volume suara masjid melalui saksi bernama Kasini.

 

Melihat substansi pasal 156a KUHP dan konteks pembicaraan Meiliana yang dilakukan dalam ranah privat Wahyu berpendapat hal itu tidak dapat dimasukan dalam kategori permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan. Mengacu pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, secara implisit menyebut dimensi eksternum dari praktik peribadatan sebagai salah satu ekspresi dari hak atas berkeyakinan.

 

“Keluhan yang disampaikan oleh Meiliana merupakan upaya dia untuk mendudukkan posisi suara adzan dalam wilayah forum eksternum terkait dengan hak atas kebebasan beragama,” katanya dalam keterangan pers, Jumat (24/8).

 

Sebagaimana pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Wahyu mengatakan besaran volume azan di wilayah tempat tinggal Meiliana menjadi hak kebebasan beragama umat Islam sejauh tidak mengganggu hak-hak yang lebih asasi milik orang atau kelompok lain. Kementerian agama telah mengatur besaran volume pengeras suara Masjid di suatu lingkungan melalui instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978.

 

Dalam perspektif HAM, Wahyu menyebut delik penodaan agama sebagaimana pasal 156 dan 156a KUHP dan pasal 1 UU No.1/PNPS Tahun 1965 memang bermasalah karena bertentangan dengan ketentuan internasional tentang HAM. “Delik ini melanggar hak-hak dasar yang dinyatakan dalam Pasal 18 dan 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, terutama dalam poin pembatasan yang disebutkan dalam pasal 18,” urainya.

 

Atas dasar itu Wahyu menilai vonis terhadap Meiliana itu tidak mempertimbangkan HAM dan mengabaikan aspek negatif penggunaan pasal penodaan agama. Mengingat perkara ini akan berlanjut ke tingkat banding, majelis hakim Pengadilan Tinggi Medan diharapkan memutus bebas Meiliana karena konteks pernyataan Meiliana yang menjadi dasar dakwaan jaksa itu tujuannya untuk memenuhi rasa aman dan meningkatkan kualitas hidup sebagaimana dijamin UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

 

Selain itu majelis hakim PT Medan juga perlu melihat keluhan Meiliana sebagai acuan penting untuk mendudukan secara proporsional keberadaan forum eksternum dalam Hak Sipil dan Politik yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh keragaman. Putusan bersalah terhadap Meiliana hanya menjadi preseden buruk dalam proses penanganan kasus hukum yang berhubungan dan merugikan kelompok minoritas.

 

Tags:

Berita Terkait