Presiden Perlu Perhatikan Masalah yang Buat Investor Ragu Berinvestasi
Berita

Presiden Perlu Perhatikan Masalah yang Buat Investor Ragu Berinvestasi

BKPM yang saat ini merupakan pintu masuk untuk investasi langsung (direct investment), dinilai seperti tak memiliki power untuk melakukan pengawalan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi “Iklim Investasi dan Bisnis dari Perspektif Hukum”, di Kantor Dentos HPRP, Rabu (24/7).
Acara diskusi “Iklim Investasi dan Bisnis dari Perspektif Hukum”, di Kantor Dentos HPRP, Rabu (24/7).

Presiden diminta untuk memberikan perhatian serius terhadap permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan investor ‘berpikir berkali-kali’ untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya, banyak intensi masuknya investasi besar namun ketika realisasi maksimal hanya 20 persen saja yang berhasil digelontorkan. Peringkat EoDB Indonesia yang menurun ke angka 73 juga menunjukkan ada permasalahan serius yang mendesak untuk dibenahi.

 

Sebagai refleksi, Managing Partner firma hukum Dentons HPRP, Constans Ponggawa, menyebut ada hal baik dalam Pemerintahan Presiden Soeharto yang bisa dijadikan pelajaran. Dulu, katanya, untuk investasi dengan nilai di atas Rp100 milyar harus langsung dilaporkan ke Sekretariat Negara (Setneg).

 

Negatifnya, memang nilai Rp100 milyar itu sarat dengan praktik koruptif mengingat kala itu dipegang oleh anak presiden, tapi positifnya investor menjadi sangat senang karena tak perlu dikhawatirkan lagi soal hambatan-hambatan yang timbul dalam realisasi investasinya.

 

“Alangkah bagusnya sistem itu kita pakai, tapi bukan lagi anak presiden, melainkan betul-betul Setneg yang pegang investasi dan kemudian langsung dilaporkan ke Presiden,” katanya dalam diskusi “Iklim Investasi dan Bisnis dari Perspektif Hukum”, di Kantor Dentos HPRP, Rabu (24/7).

 

Menurutnya, BKPM yang saat ini merupakan pintu masuk untuk investasi langsung (direct investment) seperti tak memiliki power untuk melakukan pengawalan, mengingat fungsi BKPM yang sifatnya sangat administratif, seperti mendata dan melaporkan. Sedangkan, bila betul ingin realisasi tinggi dari banyak investasi besar seharusnya negara mau aktif dan proaktif agar investor ‘betah’ karena merasa dibutuhkan sehingga ‘yakin’ untuk masuk ke pasar Indonesia.

 

Untuk itu, BKPM seharusnya terlibat aktif menolong masuknya investasi ke Indonesia. Jika masalahnya selama ini adalah hambatan izin dari kementerian sektor, BKPM bisa masuk membantu dengan menyediakan person in charge (PIC) dengan level direktur. Sehingga dengan power seorang direktur, PIC ini bisa memantau dan mengawal sudah sejauh apa tindak lanjut pengurusan izinnya dari kementerian sektor.

 

Selama ini, pengurusan izin di BKPM harus menunggu cukup lama untuk pemprosesan izin. Bahkan bila jenis usaha berhubungan dengan instansi atau kementerian lain maka harus ada izin lagi yang diurus di masing-masing instansi. Misalnya, jika berhubungan dengan tanah maka harus ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), kalau industri harus ada izin lagi dari perindustrian dan lainnya.

 

(Baca: PP 24/2019, Insentif dan Kemudahan Investasi untuk Usaha Mikro)

 

Tak sampai di situ, raja-raja kecil di daerah juga disebut memainkan andil yang sangat besar dalam menghambat investasi. Bila ada keputusan pemberian izin di level pusat, katanya, maka di Provinsi akan diperiksa ulang lagi oleh Gubernur. Bila urusan di Provinsi sudah beres, di tingkat Kabupaten dipermasalahkan lagi oleh Bupati. Begitu selanjutnya, bila urusan di Kabupaten sudah beres tapi lantaran kepala desanya tersinggung maka akses jalan ditutup.

 

“Masalah-masalah ini yang jadi kendala di lapangan,” tukasnya.

 

Itulah yang menjadi alasan kuat bagi Constans untuk mendorong agar Presiden kembali menerapkan sistem lama itu namun dengan nuansa anti korupsi. Bila dulu di Setneg dipegang oleh anak Presiden, maka sekarang bisa dipegang Setneg untuk dilaporkan ke Presiden. Bila perlu, untuk investor-investor besar ini perlu diundang oleh Presiden ke istana.

 

“Misalnya dalam satu minggu, presiden bisa luangkan waktu satu jam saja untuk mendengarkan investor yang besar-besar,” tukasnya.

 

Dengan begitu, setiap keluhan yang dirasakan investor dapat langsung ditindak lanjuti oleh Presiden. Misalnya ada masalah dengan Pertanahan, langsung dipanggil ketua BPN. Begitupun dengan persoalan industri, perhutanan dan lainnya. “Kalau engga seperti itu, pasti akan lama sekali,” tukasnya.

 

Untuk kategori besaran investasi besar yang dikawal Presiden, katanya, tentu semakin lama jauh lebih tinggi dari angka Rp100 Milyar yang diterapkan Presiden Soeharto. Setidaknya, Ia mengusulkan besarannya di angka satu triliun. Baru-baru ini, ada intensi dari Putra Mahkota Abu Dabi untuk memasukkan Investasi senilai 150 Triliun.

 

Ia mengingatkan nilai investasi Rp150 triliun itu masuk berupa intensi, jangan sampai realisasinya di bawah 20 persen lagi. Untuk itu pemerintah perlu segera ambil tindakan untuk mengawal agar intensi itu bisa terealisasi sesuai harapan. “Investor itu hanya butuh kepastian hukum, itu penting sekali,” tukasnya.

 

Di bidang tambang misalnya, Partner HPRP, Maurice Situmorang menyebut rumitnya regulasi akibat adanya masa transisi dari konsesi menjadi izin, hendaknya menjadi concern persoalan kepastian hukum yang harus diatasi pemerintah.

 

Apalagi mulai tahun 2020 hingga 2025 akan ada banyak sekali perusahaan tambahn yang izinnya habis. Berkaca dari salah satu kasus PKP2B generasi pertama yang izinnya dicabut pada Juni lalu, ternyata menjadi goncangan tersendiri bagi investor di bidang ini. Hal ini dianggap wajar mengingat sebelumnya perusahaan yang bersangkutan telah diberikan perpanjangan izin melalui IUPK.

 

“Perpanjangan izinnya malah disebut tak sesuai dengan UU, izinnya dicabut, akhirnya kepastian dunia usaha tergoncang,” tukasnya.

 

Tags:

Berita Terkait