Presiden Mendatang Harus Mampu Atasi Krisis Energi
Berita

Presiden Mendatang Harus Mampu Atasi Krisis Energi

Harus benahi pengelolaan sektor minyak bumi dan berantas mafia migas.

KAR
Bacaan 2 Menit
Pertamina. Foto: Sgp
Pertamina. Foto: Sgp
Mantan Dirut PT Pertamina (Persero), Ari H Soemarno, mengatakan presiden terpilih dalam pemilu tahun ini harus mampu membenahi pengelolaan energi dalam negeri. Ia berharap, beban subsidi energi yang terdiri dari Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik dapat diatasi secara efektif dan efisien. Ari menghitung, subsidi energi saat ini telah mencapai Rp400 triliun.

"Beban subsidi BBM saja sudah Rp300 triliun. Adapun subsidi listrik mencapai Rp80 triliun. Ini masalah yang perlu dihadapi pemerintahan kabinet selanjutnya," kata Ari di Jakarta, Rabu (25/6).

Ia mengatakan, beban pengeluaran dalam menyuplai kebutuhan BBM pun makin bertambah. Sebab, kecenderungan harga minyak mentah dunia terus merangkak naik. Ditambah lagi, masalah terdepresiasinya rupiah terhadap US$. Hal ini berimplikasi besar bagi dalam upaya pembelian minyak mentah dan produk BBM.

Ari juga mengkritisi krisis listrik yang bakal menghantui wilayah Indonesia. Menurut dia, sumber masalah dari krisis ini karena banyak program peningkatan rasio elektrifikasi tak berjalan optimal. Ia berharap presiden mendatang mampu mengatasi hal tersebut.

Selain itu, Ari menegaskan pula bahwa presiden terpilih nantinya harus mampu membangun kilang minyak. Sebab, ia melihat selama ini produksi dan cadangan minyak bumi dalam negeri terus menurun. Pada sisi lain, Indonesia terus bergantung dengan impor BBM.

"Kita punya potensi migas tapi tak menarik bagi investor. Kontraktor minyak sudah mengatakan bahwa sangat tidak tertarik jika eksplorais di Indonesia karena persoalan birokrasi dan izin," katanya.

Pengamat Energi Kurtubi menilai pemerintah salah besar jika menyerahkan pembangunan kilang ke investor swasta asing. Menurut Kurtubi, idealnya yang harus membangun kilang adalah PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN. Ia pun menegaskan bahwa membangun kilang bukanlah investasi yang merugikan.

"Bagaimana mau menghapus mafia minyak, bagaimana ketahanan energi Indonesia terjamin kalau kilang minyak saja diserahkan ke pihak asing," ucapnya.

Kurtubi mengatakan, untuk membangun kilang dengan kapasitas 1 x 300.000 barel per hari dibutuhkan dana Rp 300 triliun. Faktanya, pemerintah telah menghapus dana studi kelayakan kilang minyak pada 2014 sebesar Rp 200 miliar, untuk menyerahkannya ke pihak swasta atau asing. 

Ia menjelaskan bahwa membangun kilang itu pasti menguntungkan. Hanya saja, dirinya mengakui memang untungnya tidak sebesar di sektor hulu migas. Kendati begitu, investasi tersebut seharusnya tetap diserahkan kepada BUMN bukan investor asing.

"Harus Pertamina yang bangun, asing hanya untuk pasokan minyaknya saja dalam jangka waktu panjang, misalnya menggandeng Arab Saudi, Kuwait atau Irak yang punya minyak mentah banyak," katanya.

Kurtubi menyayangkan jika ada pejabat pemerintahan yang mengungkapkan kalau bangun kilang minyak rugi, pemerinntah dan Pertamina tidak punya uang untuk bangun kilang minyak. Menurut Kurtubi orang tersebut patut dicurigai karena bisa saja bagian dari jaringan mafia minyak yang ingin Indonesia tidak membangun kilang, agar Indonesia terus impor BBM.

"Harga 1 liter BBM itu jauh lebih mahal dibandingkan 1 liter minyak mentah, sudah pasti bangun kilang itu untung, kalau ada yang bilang tidak untung, maka kita patut curiga mereka bagian dari mafia minyak," tutupnya.
Tags:

Berita Terkait