Presiden Jokowi Diminta Tuntaskan Enam Agenda HAM
Utama

Presiden Jokowi Diminta Tuntaskan Enam Agenda HAM

Meski tidak disebut dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi ketika dilantik, Minggu (20/10), tapi isu HAM bersifat sentral dan harus menjadi fokus utama pemerintah 5 tahun ke depan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat pelantikan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2019-2024. Foto: RES
Joko Widodo-Ma'ruf Amin saat pelantikan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2019-2024. Foto: RES

Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, baru saja dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Minggu (20/10/2019) kemarin di gedung DPR/MPR. Setelah dilantik, banyak pekerjaan rumah (PR) yang menanti. Salah satunya terkait penegakan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

 

Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan Presiden Jokowi harus melanjutkan berbagai macam agenda HAM yang belum tuntas pada masa pemerintahan periode pertama (2014-2019). Janji politik Presiden Jokowi tertuang antara lain dalam Nawacita dan risalah Universal Periodic Review (UPR).

 

Yati menyoroti sedikitnya 6 agenda HAM  yang harus dilanjutkan dan dituntaskan oleh Presiden Jokowi. Pertama, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, selama 5 tahun ini pemerintah gagal untuk mengungkap kebenaran peristiwa tersebut. Pemerintah juga gagal melakukan inisiasi akuntabilitas hukum, memberikan reparasi terhadap korban dan keluarga korban, dan reformasi sektor keamanan sebagai bagian dari proses penuntasan yang berkeadilan.

 

Kedua, penghapusan impunitas dan revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Yati melihat tidak ada upaya pemerintah untuk menuntaskan reformasi peradilan militer. Akibatnya, sistem peradilan militer terus berdampak pada hilangnya pencapaian keadilan bagi korban. Dalam berbagai kasus yang diadili di peradilan militer periode 2014-2019, Yati mencatat ada 82 kasus menyangkut kekerasan dan vonisnya lebih rendah dari vonis serupa di peradilan umum.

 

“Ini masih jauh dari angka kekerasan TNI yang kami temukan yakni 112 kasus penyiksaan oleh TNI,” kata Yati saat dikonfirmasi, Senin (21/10/2019). Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Berkomitmen Lindungi Hutan

 

Ketiga, pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. KontraS mencatat jumlah kekerasan yang mengatasnamakan agama masih tinggi dengan mayoritas kasusnya dilakukan oleh sesama masyarakat sipil (163 kasus), pemerintah (177 kasus), ormas (148 kasus), dan Polisi (92 kasus).

 

Menurut Yati, tingginya jumlah kekerasan itu terkait kebijakan dan wacana kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap penganut agama dan kepercayaan minoritas. Serta pembiaran terhadap peristiwa kekerasan atas nama agama.

 

Keempat, tidak ada kemajuan signifikan dalam menghapus hukuman mati selama 5 tahun ini. Yati berpendapat pemerintah melalui tuntutan jaksa masih menerapkan hukuman mati. RUU KUHP yang harusnya menjadi milestone reformasi hukum di Indonesia juga masih memuat hukuman mati sekalipun penggunaannya sudah diperketat. Ini tidak sejalan dengan konstitusi dan ketentuan ICCPR yang menegaskan hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun.

 

Kelima, kebebasan berekspresi, bagi Yati dalam 5 tahun terakhir komitmen pemerintah untuk menjamin kebebasan berekspresi tergolong rendah. Terbukti dari banyaknya penanganan demonstrasi yang represif, pelarangan buku, dan pelanggaran hak berekspresi lainnya sebanyak 1.384 peristiwa selama 5 tahun ini.

 

Pelanggaran kebebasan berkspresikerap berujung pada praktik penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang juga semakin marak. Menurut Yati persoalan ini akan menjadi PR besar pemerintah dengan tidak kunjung diratifikasinya OPCAT untuk menghapus praktik-praktik penyiksaan secara lebih utuh.

 

Keenam, perlindungan aktivias HAM, Yati mencatat tidak sedikit aktivis HAM yang menerima ancaman, intimidasi dan meregang nyawa. Dalam 5 tahun terakhir sedikitnya 114 peristiwa kriminalisasi aktivis HAM yang bergelut di isu SDA dan lingkungan. Belum ada langkah signifikan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi aktivis HAM baik dalam bentuk regulasi dan penuntasan kasus kekerasan.

 

Pola yang sama menurut Yati terlihat dalam menangani kasus Papua yakni tidak ada langkah konkret dan mengunakan pendekatan keamanan dan pembatasan akses informasi. Hal ini diperparah dengan maraknya pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul terhadap orang asli Papua selama 2014-2019.

 

Tak ketinggalan, Yati berpendapat Presiden Jokowi punya PR terkait regulasi yang bermasalah antara lain RUU Pertanahan, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Narkotika, UU Terorisme, UU Ormas dan pengesahan terhadap revisi UU KPK. Kendati HAM tidak disebut Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan ketika dilantik sebagai Presiden, Minggu (20/10), tapi Yati menegaskan HAM merupakan isu utama yang harus menjadi fokus Presiden Jokowi 5 tahun ke depan.

 

Omnibus Agraria dan SDA

Perkumpulan HuMa Indonesia telah melakukan kajian terhadap rencana pemerintah menggulirkan omnibus hukum (omnibus law). menurut HuMa omnibus hukum yakni mengajukan perubahan terhadap sejumlah materi dari berbagai UU yang secara bersama dalam satu proses pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR. HuMa mencatat praktik ini sudah dilakukan Amerika Serikat (1949), Kanada, China, dan Vietnam.

 

HuMA menilai penataan ulang peraturan perundang-undangan bidang agraria dan SDA mendesak untuk dilakukan karena maraknya persoalan dalam pengelolaan SDA. Antara lain ketimpangan penguasaan tanah antara rakyat miskin dengan perusahaan, konflik tanah, kriminalisasi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel di sektor SDA.

 

Persoalan lainnya terkait dengan sulitnya akses hukum bagi petani lokal, kelompok perempuan dan masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan hukum serta mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya. Anggota Perkumpulan HuMa, Chalid Muhammad, salah satu masalah yakni masih adanya ego sektoral yang berdampak pada pengurusan dan kebijakan teknis di masing-masing sektor.

 

“Pendekatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang sektoral di Indonesia terbukti gagal menjamin keberlanjutan sumber daya alam, kesejahteraan, dan menghambat kerusakan lingkungan,” kata Chalid. Baca Juga: Perlindungan-Pemenuhan HAM Diprediksi Masih Suram

 

Chalid menilai perlu ada perubahan fundamental terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bidang SDA.“Review seluruh aturan kemudian lahirkan satu kebijakan yang terintegrasi dan harmonis serta memenuhi rasa keadilan dan keberlanjutan,” tegas Chalid.

 

Menurut Chalid, TAP MPR NOMOR IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA sudah memberi arah yang jelas. Tapi dalam 20 tahun terakhir menunjukan pemerintah dan DPR tidak pernah serius menjalankan mandat tersebut. Dampaknya, berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang SDA berjalan tanpa arah serta tidak lagi sesuai dengan yang di amanatkan UUD 1945 dan TAP MPR.

 

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengingatkan reformasi telah melahirkan komitmen politik dan hukum untuk melakukan penataan ulang kebijakan. Omnibus hukum merupakan strategi paling tepat dalam melakukan penataan UU di bidang agraria dan SDA.

 

Sandra menghitung sedikitnya ada 26 peraturan perundang-undangan yang perlu penataan ulang. Beberapa waktu lalu, Indonesia telah melakukan omnibus law untuk mengubah beberapa peraturan dalam rangka memudahkan investasi. “Seharusnya, agenda paling penting adalah melakukan omnibus hukum terhadap peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan SDA,” pintanya.

 

Peneliti HuMa Agung Wibowo menambahkan setidaknya ada 3 hal yang dapat diselesaikan melalui omnibus hukum agraria. Pertama, memberi kepastian hukum bagi aset dan hak. Kedua, memudahkan kaum marjinal untuk mendapatkan hak akses terhadap tenurialnya. Ketiga, membenahi tumpang tindih izin sektor SDA.

Tags:

Berita Terkait