Presiden Ingatkan 3 Hal Cegah Kekerasan terhadap Anak
Berita

Presiden Ingatkan 3 Hal Cegah Kekerasan terhadap Anak

Karena periode 2015-2016, jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 1.975 menjadi 6.820 kasus. RUU Pencegahan Kekerasan Seksual penting untuk segera disahkan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES

Perlindungan anak menjadi salah satu fokus perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam rapat terbatas di kantor Presiden di Jakarta, Kamis (9/1/2020), Presiden Jokowi mencatat jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat signifikan periode 2015-2016 dari 1.975 menjadi 6.820 kasus. Mengacu data yang dihimpun Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), bentuk kekerasan itu antara lain seksual, emosional, fisik dan penelantaran.

 

“Beranjak dari data itu, saya yakin fenomena kekerasan terhadap anak merupakan fenomena gunung es yang selama ini tidak pernah terlaporkan dan hanya sebagian kecil kasus yang dilaporkan,” kata Jokowi sebagaimana dilansir setkab.go.id. Baca Juga: PP Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak Terbit, Begini Isinya

 

Penanganan kasus kekerasan anak, Jokowi menekankan sedikitnya 3 hal. Pertama, memprioritaskan pencegahan kekerasan dengan melibatkan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Aksi pencegahan ini melalui berbagai model kampanye, sosialisasi, dan edukasi publik yang menarik dan memunculkan kepedulian sosial.

 

“Bentuk kekerasan yang paling banyak ditemukan dalam kasus kekerasan terhadap anak yakni seksual, psikis, dan fisik,” kata Presiden.

 

Kedua, membenahi sistem pelaporan dan layanan pengaduan kekerasan terhadap anak. Presiden Jokowi menegaskan korban, keluarga, dan masyarakat secara umum harus mengetahui kemana melapor, mengontak nomor layanan yang mudah diakses, dan mendapat respon cepat.

 

Ketiga, Presiden Jokowi memerintahkan dilakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan terhadap anak agar dapat diproses cepat, terintegrasi, dan komprehensif. “Bila perlu one stop services mulai dari layanan pengaduan, pendampingan, dan mendapatkan layanan kesehatan,” lanjutnya.

 

Presiden juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang memberikan efek jera, terutama kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak. Kemudian perlu dilakukan pendampingan dan bantuan hukum, layanan rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial.

 

Terpisah, Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) gagal disahkan DPR periode 2014-2019. Padahal, RUU ini sangat penting bagi kemajuan dan masa depan Indonesia. Tidak disahkannya RUU ini berarti kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan akan terus berlanjut tanpa upaya sistematis dan preventif dari negara.

 

“Pemerintah bersama Komnas Perempuan harus memastikan RUU PKS yang telah masuk daam daftar 50 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 untuk segera disahkan menjadi UU,” usul Sugeng.

 

Komisioner Komnas HAM Periode 2002-2007 Zumrotin K. Susilo menyampaikan upaya mengurangi “kekerasan” terhadap perempuan yang sudah berhasil pada tahun 2019 adalah revisi UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 untuk menaikkan usia perkawinan perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan adanya putusan MK itu, diharapkan kualitas SDM akan lebih baik dan angka kematian ibu bisa turun.

 

Zumrotin menyebut keberhasilan ini tetap harus dikawal untuk implementasinya, karena banyak kasus Pengadilan Agama di daerah memberikan dispensasi nikah kepada anak dibawah umur dengan alasan yang tidak diatur dalam undang-undang. Selain itu, Pemerintah Indonesia sudah mengikatkan diri dalam kesepakatan pembangunan global bernama Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2030.

 

Setelah lima tahun implementasi TPB, Zumrotin berpendapat strategi dan percepatan menjadi kata kunci dalam komitmen pelaksanaan dan pencapaian TPB ke depan, baik untuk Pemerintah Pusat dan Daerah. Perbaikan dan perluasan jaminan sosial.

 

“Indonesia lima tahun ke depan akan menyaksikan jumlah Lansia yang terus meningkat dibanding penduduk usia muda. Sementara itu, jaminan sosial yang melindungi Lansia masih sangat terbatas,” katanya.

 

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak pada akhir September 2019 lalu. PP ini amanat ketentuan Pasal 73A ayat (3) UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Penyelenggaraan koordinasi perlindungan anak, menurut PP ini untuk meningkatkan upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. PP ini juga bertujuan meningkatkan hubungan kerja yang sinergi dan harmonis dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak serta memperoleh data dan informasi penyelenggaraan perlindungan anak.

 

Dalam Pasal 3 ayat (1-3) disebutkan dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Perlindungan Anak, Menteri (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, red) harus melakukan koordinasi lintas sektoral dengan lembaga terkait dan menetapkan tim Koordinasi Perlindungan Anak. Gubernur dan bupati/wali kota mengoordinasikan pelaksanaan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.

Tags:

Berita Terkait