Presiden Diminta Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja Sektor Agraria
Berita

Presiden Diminta Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja Sektor Agraria

Bagi KPA, ini masalah keseluruhan isi dan orientasi RUU Cipta Kerja yang menempatkan keselamatan petani, buruh, masyarakat adat, dan rakyat kecil lain di ujung tanduk krisis berlapis. Lebih baik pemerintah dan DPR serius menjalankan reforma agraria.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Alih-alih menjadikan tanah sebagai alat produksi rakyat, Dewi menilai RUU Cipta Kerja justru menempatkan tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) sebagai barang komersial yang ditawarkan kepada investor melalui cara yang bertentangan dengan konstitusi dan UU No.5 Tahun 1960.

 

Terkait persoalan ini, Dewi menyoroti sedikitnya tiga hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, RUU Cipta Kerja memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan nonpertanian dengan mengubah beberapa pasal dalam UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tujuannya untuk memangkas prosedur izin dalam mengkonversi tanah pertanian ke fungsi nonpertanian sesuai permintaan investor.

 

Kedua, RUU Cipta Kerja seolah memasukan norma baru dalam UU No.5 Tahun 1960 yakni memberikan hak atas tanah berupa hak guna usaha (HGU) secara langsung selama 90 tahun sejak permohonan awal kepada perusahaan. Ketentuan ini bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1960 yang membatasi HGU untuk badan usaha paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang jika memenuhi syarat.

 

Ketiga, RUU Cipta Kerja memperkuat UU No.2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah dengan cara memperluas definisi kepentingan umum tak hanya terbatas untuk pembangunan infrastruktur, tapi juga kepentingan investor tambang, pariwisata, dan kawasan ekonomi khusus. Aturan ini akan memudahkan terjadinya penggusuran sepihak atas nama pembangunan, sehingga memperparah ketimpangan struktur agraria.

 

“Kami minta Presiden Jokowi menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja; menarik Surpres karena ini bukan semata masalah menunda klaster ketenagakerjaan. Bagi KPA, ini masalah keseluruhan isi dan orientasi RUU Cipta Kerja yang menempatkan keselamatan petani, buruh, masyarakat adat, dan rakyat kecil lain di ujung tanduk krisis berlapis,” dalihnya.

 

Kemudahan perizinan

Dalam sebuah diskusi daring, Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Andi Tenrisau mengatakan intinya RUU Cipta Kerja memberi kemudahan perizinan. Misalnya, dalam mengurus usaha basisnya perizinan, tapi nanti diubah menjadi berbasis risiko. Jika ada investor akan dilihat sejauh mana resiko yang timbul dari kegiatan usaha yang akan dilakukan. Tingkat resiko itu dibagi mulai dari rendah, sedang, dan tinggi. Untuk kegiatan usaha beresiko rendah hanya perlu mengantongi nomor induk berusaha (NIB), resiko menengah ada standar yang harus dipenuhi, dan resiko tinggi harus mengurus perizinan (amdal).  

 

Salah satu perizinan yang dipangkas RUU Cipta Kerja yaitu izin lokasi, yang diubah menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Jika kegiatan usaha itu sesuai dengan pemanfaatan ruang, maka tidak diperlukan lagi izin, hanya perlu melakukan konfirmasi atas kegiatan usaha yang dilakukan. Untuk izin lingkungan, bagi kegiatan usaha beresiko menengah hanya perlu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. “Tapi untuk kegiatan usaha beresiko tinggi harus mengantongi analisis dampak lingkungan (amdal),” tegasnya.

 

Andi menilai RUU Cipta Kerja melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan hanya dapat dialihfungsikan untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional dengan penyediaan lahan pengganti paling lama 2 tahun. Mengenai bank tanah, ini merupakan lembaga khusus yang dibentuk pemerintah guna menjamin ketersediaan tanah untuk semua jenis kegiatan pembangunan strategis, termasuk reforma agraria.

Tags:

Berita Terkait