Presiden Diminta Beri Perhatian pada Seleksi Calon Anggota BPK
Berita

Presiden Diminta Beri Perhatian pada Seleksi Calon Anggota BPK

Karena keinginan pemerintah mengelola APBN tepat sasaran dan berdaya guna mesti diimbangi dengan keanggotaan BPK yang independen, memiliki kompetensi, dan berintegritas.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kiri ke kanan: Darwanto, Dewi Anggraeni, dan Gulfino Guevarrato dalam sebuah diskusi menyoal proses seleksi calon anggota BPK di Komisi VI DPR. Foto: RFQ
Kiri ke kanan: Darwanto, Dewi Anggraeni, dan Gulfino Guevarrato dalam sebuah diskusi menyoal proses seleksi calon anggota BPK di Komisi VI DPR. Foto: RFQ

“Kita harus menjamin penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran”. Pernyataan Presiden Joko Widodo itu menjadi pemantik bagi pelaksanaan seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, proses seleksi ini terkesan tertutup di Komisi XI DPR yang menimbulkan tanda tanya besar bagi kalangan masyarakat sipil. Padahal, transparansi proses penyelenggaraan seleksi menjadi harapan masyarakat.

 

Program Manajer Median Link Darwanto berharap Presiden Jokowi seharusnya memberikan perhatian penuh terhadap proses seleksi calon anggota BPK yang dilaksanakan Komisi XI DPR melalui tim kecil. Sebab, faktanya ada pendaftar anggota DPR yang gagal dalam pencalonan anggota legislatif periode 2019-2024 diloloskan Komisi XI tanpa masyarakat mengetahui prosesnya.

 

“Itu akan sarat konflik kepentingan. Tapi presiden tidak memberikan perhatian khusus terhadap proses seleksi,” kata Darwanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (8/8/2019). Baca Juga: DPR Tak Istimewakan Anggotanya yang Nyalon Anggota BPK

 

Menurut dia, proses rekrutmen anggota BPK ini, Presiden Jokowi sangat berkepentingan dalam upaya mendukung kinerja pemerintahannya terkait penggunaan anggaran yang tepat sasaran yang pemeriksaannya wewenang BPK. Sebab, calon-calon terpilih anggota BPK ke depan mengemban tugas mengaudit anggaran sejumlah lembaga negara dan institusi pemerintahan yang berasal dari APBN.

 

Hal ini agar penggunaan APBN tepat sasaran, berdaya guna, serta memiliki manfaat ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Karena itu, penting calon anggota BPK terpilih memiliki kompetensi dan berintegritas. Sebab, faktanya integritas sebagian auditor BPK bermasalah jika dihubungkan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan auditor BPK di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

“Bagaimana pemerintah mau mengelola keuangan negara yang tepat sasaran, sementara seleksi calon anggota BPK tidak menjadi perhatian khusus presiden,” tegasnya.

 

Darwanto menilai proses seleksi calon anggota BPK berbeda dengan kebanyakan seleksi calon komisioner lembaga lain. Misalnya, dalam seleksi calon pimpinan KPK ada keharusan membentuk panitia seleksi (pansel), sementara dalam seleksi calon anggota BPK tidak ada aturan membentuk pansel. Seleksi ini kewenangan penuh DPR sesuai Pasal 14 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.

 

“Meskipun ada keterlibatan Dewan perwakilan Daerah (DPD), toh praktiknya DPR dapat mengesampingkan pertimbangannya,” lanjutnya.  

 

Dia menerangkan seleksi ini awalnya berjumlah 64 pendaftar dan mengundurkan 2 orang, sehingga tersisa 62 orang. Namun, dalam perjalanannya, Komisi XI kembali menggelar proses seleksi yang kemudian menghasilkan 32 nama calon dan disetorkan ke DPD. “Ada apa, kenapa awalnya 62 nama menjadi 32 nama yang disetor ke DPD? Komisi XI semestinya menjelaskan alasan 30 nama calon tidak diserahkan ke DPD,” tuturnya.

 

Staf Advokasi Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra), Gulfino Guevarrato mengatakan BPK dalam menjalankan wewenangnya didukung penuh para auditor sebagai ujung tombak kerja-kerja BPK. Sayangnya, BPK dalam menjalankan tugasnya tak jarang melakukan salah hitung, seperti kasus mengaudit kasus Rumah Sakit Sumber Waras.

 

“Artinya ada yang tidak beres dan kenapa seolah pengawasan para komisioner BPK tidak berjalan,” kata dia.

 

Menurutnya, sejumlah pekerjaan rumah di internal BPK semestinya dipahami terlebih dahulu oleh Komisi XI sebelum menggelar seleksi agar dapat mengetahui kebutuhan BPK. Selain itu, BPK memiliki kewenangan agar rekomendasinya direspon oleh lembaga lain. Berdasarkan laporan per 31 Desember 2018 terdapat 512.112 rekomendasi kepada berbagai entitas yang diperiksa. Namun, masih tersisa 58 persen dari jumlah rekomendasi yang diberikan ke berbagai entitas itu.

 

“Artinya, BPK seperti ‘macan ompong’, dia punya power, tapi tidak bisa ‘menggigit’,” katanya.

 

Permasalahan lain terkait komposisi calon komisoner BPK, dari 32 calon yang tersisa, ada 9 orang yang tercatat sebagai politisi dari berbagai partai yang gagal nyaleg. Ironisnya, beberapa nama yang lolos tersebut masih menjadi anggota Komisi XI DPR. Seperti Nurhayati Ali Assegaf dan Ahmadi Noor Supit. “Jangan hanya kepentingan dan hasrat politik saja. Ini masalah kebangsaan, harus punya kompetensi dan integritas,” tegasnya.

 

Seleksi ulang

Anggota Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi, Indonesia Coruption Watch (ICW) Dewi Aggraeni menilai berbagai proses seleksi yang tidak transparan, koalisi masyarakat sipil meminta agar dilakukan seleksi ulang. Dia mempertanyakan dari 64 calon, setengahnya gagal diantaranya beberapa calon berlatar belakang akademisi terhenti pada tahap pembuatan makalah.

 

“Kami menaruh curiga, kenapa akademisi tidak lolos karena tes makalah?”

 

Dewi berharap DPR memberi peluang keterlibatan masyarakat sipil untuk mengawal seleksi secara terbuka. Koalisi masyarakat sipil terbuka untuk berdiskusi dengan Komisi XI untuk menjelaskan cara penilaian terhadap para calon agar menjadi jelas. Sama halnya dengan Darwanto dan Fino, dia mendesak agar Presiden Jokowi turun tangan memberikan perhatian khusus agar seleksi ini dapat berjalan terbuka ke publik.

 

Dengan harapan nama-nama yang lolos merupakan orang-orang yang berintegritas dan memiliki kemampuan atau ahli di bidangnya. “Kalau tidak, kami minta seleksi ulang dan membentuk Pansel,” usulnya.

Tags:

Berita Terkait