Presiden Diminta Batalkan R-Perpres Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial
Berita

Presiden Diminta Batalkan R-Perpres Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial

Rencana tersebut menunjukan pengingkaran hak korban dan ketiadaan kemauan politik pemerintah. Bahkan, patut diduga sebagai aksi penyelundupan hukum dalam mengarusutamakan mekanisme non yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Demo salah satu korban pelanggaran HAM tahun 1965 di Kantor Komnas HAM beberapa tahun yang lalu. Foto: Sgp/Hol
Demo salah satu korban pelanggaran HAM tahun 1965 di Kantor Komnas HAM beberapa tahun yang lalu. Foto: Sgp/Hol

Desakan pemerintah menempuh jalur non yudisial dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu bakal dituangkan dalam bentuk peraturan. Kini, pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) Melalui Mekanisme Non Yudisial. Tapi, bagi pegiat aktivis HAM, rencana ini dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak korban.

“Rencana tersebut membuktikan bahwa pemerintah ingin melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu, melanggengkan Impunitas dan pengingkaran terhadap hak korban,” ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Teo Reffelsen melalui keterangan tertulisnya, Selasa (20/4/2021). (Baca Juga: Mencari Terobosan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lampau)

Teo masih ingat pidato Presiden Joko Widodo terkait keinginannya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pidato Presiden Joko Widodo pada 14 Desember 2020 lalu itu, menyatakan, “komitmen penuntasan masalah HAM masa lalu harus terus dilanjutkan, Kejaksaan adalah aktor kunci dalam penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, kemajuan konkrit dalam upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu perlu segera terlihat”.

Namun dengan munculnya R-Perpres UKP-PPHB, malah mengingkari komitmen sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Bagi Teo, pemerintah membuktikan tak memiliki political will dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Lembaga hukum tempatnya bernaung menyesalkan rencana pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran berat dengan mekanisme non yudisial.

Rencana tersebut menunjukan pengingkaran dan ketiadaan kemauan politik pemerintah. Bahkan patut diduga sebagai aksi penyelundupan hukum dalam mengarusutamakan mekanisme non yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu. Terkesan sebagai jalan pintas penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan memberi ruang bagi para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme Yudisial.

Tak hanya itu, secara hierarki peraturan perundang-undangan dinilai bermasalah karena norma tersebut tidak dibentuk berdasarkan UU. Apalagi, UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu. Akibatnya tindakan tersebut menunjukan keberpihakan pemerintah terhadap para pelaku pelanggar HAM berat masa lalu.

“Dan ini langkah melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak korban dan keluarga,” ujarnya.

Pengacara Publik LBH Jakarta lain, Nelson Nikodemus Simamora melanjutkan ada tendensi menyelamatkan para pelaku pelanggar HAM berat masa lalu dari pertanggungjawaban hukum melalui mekanisme pengadilan HAM. Hal ini terjadi akibat adanya konflik kepentingan di dalam tubuh pemerintahan. Sebab, dia menuding Presiden Jokowi dikelilingi banyak aktor yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu.

Bahkan, kata Nelson, banyak menempati kursi jabatan penting dalam pemerintahan. Dia meminta pemerintah Indonesia mencontoh praktik positif di beberapa negara. Seperti Australia yang pada tahun 2008 dengan meminta maaf kepada “Stolen Generations”, penduduk Aborigin yang menjadi korban pelanggaran HAM karena dipisahkan secara paksa dari orang tua mereka karena kebijakan asimilasi yang berlangsung sejak abad ke-19.

Selain itu, Belanda yang meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya akibat kejahatan perang sepanjang 1945-1949 (pembantaian Rawagede dan pembantaian Westerling, red). Bahkan Belgia, Jerman, Afrika Selatan, Amerika Serikat yang meminta maaf secara resmi dan terbuka kepada para korban pelanggaran HAM masa lalu.

Dia menilai semestinya Pasal 14 Konvensi Anti Penyiksaan (Committee Against Torture) yang mengatur mengenai permintaan maaf negara menjadi landasan bagi pemerintah menebus kesalahan terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Karena itu, Presiden Indonesia sebagai kepala negara dan pemerintahan semestinya melakukan upaya permintaan maaf kepada para keluarga dan korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain itu, melakukan tindakan kongkrit yang berperspektif korban. Seperti pengungkapan kebenaran, penegakan hukum, dan reformasi kelembagaan sebagaimana tertuang dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 56/83 tentang Kewajiban Negara atas Tindakan Pelanggaran Hukum Internasional pada tanggal 12 Desember 2001.

LBH Jakarta menilai para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili di Pengadilan HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan mengganti dengan mekanisme non-yudisial. Sebab, korban dan keluarganya berhak atas kebenaran (right to truth) dan keadilan terkait peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi.

Ironisnya, pasca reformasi hingga saat ini tak ada kemajuan signifikan yang dilakukan negara menjalankan kewajibannya dalam pengungkapan kebenaran, penegakan hukum dan reformasi kelembagaan untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah selesai dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM tidak kunjung ditindaklanjuti (oleh Kejaksaan, red).

“Mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan pembahasan dan/atau membatalkan dan/atau tidak melanjutkan Pembahasan R-Perpres UKP-PPHB Melalui Mekanisme Non Yudisial.”

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan pemerintah dan pemangku kepentingan masih membahas soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tahun 1960-an dengan mekanisme yudisial (penyelesaian jalur pengadilan, red). Hingga setiap ujung pergantian rezim pemerintahan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM masa lampau tak juga rampung diselesaikan. Sekalipun hendak mau diselesaikan, para pelakunya pun boleh jadi telah tiada.

“Kalau mau menggunakan sistem peradilan, siapa yang mau diadili? Jangan-jangan namanya sudah jadi nama jalan semua,” kata Arsul Sani dalam rapat kerja dengan Komnas HAM di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (6/4/2021). (Baca Juga: Sejumlah Masukan untuk Pengembangan Praktik Pengadilan HAM)

Arsul menilai di tengah kebuntuan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seharusnya Komnas HAM mencari solusi alternatif, penyelesaiannya menggunakan jalur non yudisial. “Kenapa Komnas HAM tidak sampaikan usulan alternatif penyelesaian non yudisial dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu?”

Dia menilai menjadi tidak jelas bila kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menggunakan pendekatan yudisial. Seperti kasus pelanggaran HAM berat tahun 1965–1966. Dia pun meragukan pelaku kasus pelanggaran HAM berat masa lampau masih dalam keadaan hidup atau masih sehat. Sekalipun ada, usianya sudah terbilang renta. “Kalau (pelaku) masih hidup apakah layak menjalani proses hukum. Kenapa tidak ada langkah alternatif lain,” usulnya.

Selain itu, belum adanya satu kata sepakat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Seperti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dilakukan oleh Komnas HAM dinilai pihak Kejaksaan Agung belum dapat ditingkatkan ke proses penyidikan.

“Belum ada tik-tok Komnas HAM dengan Kejagung. Yang satu bilang untuk ditingkatkan ke penyidikan, yang satu bilang belum. Saya pikir ini harus ada terobosan,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

Tags:

Berita Terkait