Presiden Didorong Tarik Kembali Surpres RUU KPK
Berita

Presiden Didorong Tarik Kembali Surpres RUU KPK

Dengan penarikan Surpres, Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Presiden Joko Widodo. Foto: RES
Presiden Joko Widodo. Foto: RES

Dinamika pemberantasan korupsi di Tanah Air sedang mencapai titik nadir. Setelah sejumlah persoalan yang muncul terkait Rancangan Undang-Undang KPK dan pemilihan pimpinan KPK oleh Komisi III DPR, kali ini tiga orang pimpinan KPK mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai orang yang dirasa bertanggung jawab penuh dalam pemberantasan korupsi. Terhadap hal ini, sejumlah pihak merespon untuk menawarkan jalan  keluar.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi mengungkapkan, Presiden Joko Widodo mesti menarik kembali Surat Presiden (Surpres) terkait pembahasan RUU KPK. “Kami, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendorong Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali Surpres dalam proses pembentukan RUU Revisi UU KPK,” ujar Fajri, Sabtu (14/9).

Menurut Fajri, tindakan presiden untuk menarik kembali surpres yang telah ditekennya masih dimungkuinkan mengingat adanya asas contrarius actus. Asas ini sendiri merupakan asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya. Artinya, Presiden berwenang untuk membatalkan atau menarik kembali Surpres yang sudah ditetapkan sebelumnya.

(Baca juga: Pandangan Pimpinan Baru KPK Terhadap Gagasan SP3).

Melalui langkah tersebut, diharapkan agar presiden dapat mengambil langkah lain, untuk lebih tegas  dan efektif dalam mewujudkan visinya menciptakan KPK sebagai lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi tanpa tersandera oleh proses pembentukan RUU revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah digagas oleh DPR.

“Selain itu, dengan penarikan Surpres, Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR dalam hal kekuasaan pembentukan Undang-undang Revisi UU KPK yang sejak awal sudah melanggar hukum,” ujar Fajri.

Menurut Fajri, jika Presiden tidak segera menarik Surpresnya, maka akan sulit mencari jalan keluar dari situasi yang tengah menimpa KPK saat ini. Kebuntuhan situasi tersebut menyusul pernyataan pimpinan KPK yang menegaskan bahwa KPK tidak dilibatkan dalam proses pembentukan RUU Revisi UU KPK. Sementara KPK sendiri adalah lembaga yang akan terdampak langsung terhadap pembentukan RUU tersebut.

Selain itu, Fajri menilai proses pembentukan RUU Revisi UU KPK sudah bermasalah sejak awal. Selain melanggar Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Tata Tertib DPR karena prosesnya tidak melalui tahapan perencanaan, penyiapan Draft RUU dan Naskah Akademik, Revisi UU KPK pun dilakukan tertutup tanpa pelibatan publik secara luas.

Menurut Pimpinan Ombudsman, Ninik Rahayu, kedua kondisi diatas tersebut dipandang sebagai keanehan dalam suatu proses administrasi pembentukan UU yang perlu dihindari agar tidak berdampak kepada kesalahan dalam prosedur.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhan menyampaikan tanggapannya terhadap pidato Presiden terkait revisi UU KPK. Menurut Kurnia, sikap Presiden dalam pembahasan RUU KPK hanya sedikit saja mengurangi langkah “pelemahan” terhadap KPK. Hal ini bisa dilihat dari beberapa substansi.

Terkait Dewan Pengawas, Kurni menilai antara yang diusulkan DPR dan Presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis ijin penyadapan KPK. Hal ini akan mengandung konsekuensi terhambatnya penyadapan oleh KPK. “KPK bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap,” ujar Kurnia.

Dalam praktiknya, terdapat potensi penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika Dewan Pengawas tidak memberikan ijin. Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis. Menurut Kurnia, argumentasi yang dibangun oleh DPR selama ini terkait dewan pengawas  mudah untuk dibantah.  DPR yang menganalogikan KPK secara kelembagaan saat melaksanakan tugas dan kewenangan tanpa adanya pengawasan yang jelas.

Menurut Kurnia, KPK merupakan lembaga negara independen, yang mana sistem pengawasannya sudah berjalan dengan hadirnya kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. “Lagi pun di lembaga negara independen pada belahan dunia manapun tidak mengenal adanya organ khusus pengawasan,” terang Kurnia.

Sementara untuk sektor penindakan sejatinya yang mengawasi KPK adalah institusi kekuasaan kehakiman. Sederhananya, jika seseorang tidak sependapat dengan status hukum atau tindakan paksa KPK maka ranah pengawasannya ada di Praperadilan. Begitu pula ketika masuk pada ranah pokok perkara, dalam hal ini yang mengawasi kinerja KPK adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Kurnia menilai, kekuatan besar KPK adalah pada kehati-hatiannya dalam menangani perkara korupsi. Hal itu pun pernah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi saat pengujian materi terkait kewenangan SP3 di KPK. Dengan syarat tiga alat bukti harus dimiliki terlebih dahulu, KPK menetapkan status penyidikan dan menetapkan tersangka. Hal ini terjadi karena tidak ada SP3.

Bagaimana dengan nasib tersangka korupsi sakit permanen dan meninggal? Kurnia menyebutkan jalannya dengan menyerahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan supaya Kejaksaan menerbitkan SP3. Dengan wewenang SP3 yang dimiliki Kepolisian dan Kejaksaan, kasus-kasus korupsi dan pidana lain banyak yang mangkrak, tidak jelas statusnya, dan semakin tidak memberikan kepastian hukum.

Syarat SP3 dalam KUHAP ada tiga, yakni tidak ada bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana, atau tersangka meninggal dunia. Sedangkan dalam draft aturan SP3 KPK adalah soal waktu, yakni apabila lewat 1 tahun perkara dalam penyidikan, maka harus diberikan SP3. “Maka itu dapat dikatakan bahwa draft tersebut keliru,” ujar Kurnia.

Kemudian terkait penyelidik dan penyidik PPNS, selain penyelidik dan penyidik Kepolisian dan Kejaksaan, penyelidik dan penyidik KPK dari PPNS. Konsekuensi dari keberadaan penyidik PPNS ini adalah lambannya kinerja KPK. Menuru Kurnia, faktanya PPNS yang ada hari ini kinerjanya buruk, tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK juga harus tunduk pada mekanisme korwas yang dikendalikan oleh Kepolisian.

Alih-alih KPK menjadi lembaga yang mensupervisi dan mengkoordinasi penanganan pidana korupsi, penyelidik dan penyidik KPK disupervisi oleh Kepolisian. Dengan sistem penggajian dua jenis pegawai, maka gaji pokok dan kinerja, kontrol atas kinerja pegawai KPK sangat baik. “Dengan mekanisme itu, KPK dapat membangun sistem dan aturan kode etik yang kuat, mudah pula dipecat jika melanggar kode etik,” ungkap Kurnia.

Tags:

Berita Terkait