Presiden Bisa Tunda Pemberlakuan Revisi UU KPK Lewat Perppu
Berita

Presiden Bisa Tunda Pemberlakuan Revisi UU KPK Lewat Perppu

Perppu merupakan pilihan yang sah secara konstitusional.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Demo sejumlah elemen masyarakat di DPR mempersoalkan sejumlah RUU kontroversial, termasuk hasil revisi UU KPK. Foto: RES
Demo sejumlah elemen masyarakat di DPR mempersoalkan sejumlah RUU kontroversial, termasuk hasil revisi UU KPK. Foto: RES

Publik tengah menanti sikap Presiden atas pengesahan revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Aksi demonstrasi mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat antara lain menyuarakan penolakan terhadap hasil revisi tersebut. Mendengar masukan sejumlah pihak, Presiden Joko Widodo mempertimbangkan opsi yang dapat ditempuh, termasuk kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

 

Jika Presiden menerbitkan Perppu, isinya dapat berupa menunda pemberlakuan UU KPK yang baru. Langkah ini dapat diambil oleh Presiden agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berkerja kembali sebagaimana sedia kalah ketika sebelum disahkannya UU KPK yang baru oleh DPR.  

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, berpendapat Presiden dapat membuat dan menerbitkan Perppu sambil proses sidang DPR berjalan. Lewat Perppu, Presiden dapat menunda pemberlakuan hasil revisi UU KPK. “Kan ada presedennya UU LLAJ. Keluar Perppu untuk menunda berlakunya UU LLAJ,” ujar akademisi yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) itu saat dihubungi hukumonline, Kamis (3/10) kemarin.

 

Menurut Bayu, situasi yang terjadi saat ini sudah berbeda dengan situasi pada saat pembuatan UU KPK. Gelombang penolakan terhadap pengesahaan UU KPK cukup dimaknai sebagai situasi yang disyaratkan oleh Pasal 22 UUD 1945, yakni “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Untuk itu jalan tengah dengan menerbitkan Perppu tidak hanya merupakan jalan yang konstitusional tapi juga menjadi kebutuhan untuk menjawab persoalan saat ini.

 

(Baca juga: ILUNI UI Tawarkan Opsi Selain Perppu atas Revisi UU KPK)

 

Namun Bayu tidak menutup kemungkinan opsi bagi Presiden selain menerbitkan Perppu. Ketika banyak pihak mendorong agar substansi Perppu mengambil jalan tengah dari perubahan yang telah disahkan oleh DPR dengan masukan publik, Bayu menawarkan opsi legislative review, anggota DPR baru merevisi hasil revisi UU KPK. Bagian-bagian yang substansial melemahkan KPK dihilangkan.

 

Jalan ini bisa ditempuh setelah Presiden mengeluarkan Perppu yang isinya menunda pemberlakuan UU KPK yang telah disahkan. Misalnya Presiden menunda pemberlakuan revisi UU KPK dalam waktu satu tahun, maka pada periode penundaan tersebut Presiden bersama DPR membahas kembali revisi UU KPK yang telah disahkan. Dengan jalan begitu, UU KPK baru ini tidak perlu berlaku dan nantinya akan ada UU KPK baru yang dapat mengakomodasi masukan-masukan dari publik saat ini.

 

“Jadi tidak usah menunggu berlaku. Ditunda berlakunya sampai satu tahun ke depan, sambil Presiden mengajak DPR untuk merevisi. Otomatis UU itu tidak perlu berlaku karena langsung digantikan UU hasil revisi. (langkah ) Itu bisa menjaga marwah presiden dan (menjaga) relasi dengan DPR karena relasi keduanya ini kan panjang,” ungkap Bayu.

 

Bayu menambahkan jika Presiden mengeluarkan Perppu, selain jalan yang disebutkan di atas, ada pilihan-pilihan dari Perppu yang juga sama-sama terbuka. Hal ini berkaitan dengan substansi dari Perppu seandainya nanti yang dikeluarkan bukan merupakan Perppu penundaan berlaku. Jalan tersebut bisa berupa Perppu yang isinya mencabut UU KPK yang sudah disahkan atau Perppu yang mengubah sebagian isi UU KPK.

 

Melihat situasi ini, kerja-kerja DPR dalam merumuskan substansi perubahan UU KPK kemarin juga mesti menjadi perhatian Presiden. Untuk itu Presiden bisa saja mengambil jalan tengah dengan tidak mencabut secara langsung UU KPK melalui Perppu tapi mengubah sebagian isi UU KPK yang telah disahkan. “Contoh Dewan Pengawas boleh tapi tidak terlibat dalam pro justisia. Cukup dia mengawasi apakah KPK dalam menjalankan tugas pro justisianya ada pelanggaran atau tidak”.

 

Pengamat Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menyebutkan, pilihan Presiden jika nanti menerbitkan Perppu merupakan pilihan yang sah secara konstitusional. Untuk itu menurut Bivitri, tidak tepat membenturkan antara pilihan mengeluarkan Perppu dengan tindakan yang seolah-olah inkonstitusional. “Dasar hukum Perppu ada di Pasal 22 UUD 1945 dan sebenarnya sudah sering dipergunakan,” ujar Bivitri kepada hukumonline.

 

(Baca juga: JK: Penerbitan Perppu KPK Tunjukkan Lemahnya Wibawa Pemerintah)

 

Pasal 22 UUD 1945 mengatur, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Terhadap pasal Ini, Bivitri kemudian mengutip putusan MK  No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 yang memberikan penafsiran terhadap Pasal 22 UUD. Ada tiga alasan lahirnya Perppu. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun Undang-Undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

 

Pertanyaannya, dalam situasi saat ini, apakah ada hal ihwal kegentingan memaksa sehingga  perlu dikeluarkannya Perppu? Menurut Bivitri, hal tersebut merupakan pertimbangan subjektif presiden. Pertimbangan ini akan diuji lewat pembahasan DPR karena setiap Perppu harus dibahas oleh DPR untuk diterima atau tidak diterima sebagai UU segera setelah DPR bisa bersidang. Ia mengingatkan perbedan hal ihwal kegentingan memaksa dengan keadaan darurat.

 

“Itu berbeda lagi kerangkanya dan ada ukurannya di UU No. 23/Prp/1959, ada darurat sipil, militer, dan perang. Jadi, jangan kait-kaitkan dan berhalusinasi bahwa demo-demo ini sengaja supaya darurat dan keluar Perppu. Bukan itu. Presiden yang baik adalah yang responsive, peka terhadap tuntutan masyarakat dan langsung melakukan tindakan konstitusional yang bisa dilakukannya,” urai Bivitri.

 

Ia juga menyebutkan, langkah untuk menerbitkan Perppu bukan menunjukkan situasi anomali. Banyak Presiden pernah menggunakan hak ini. Pada empat periode pemerintahan Presiden Soekarno ada 144 Perppu ditetapkan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sebanyak 8 Perppu, Presiden B.J. Habibie sebanyak 3 Perppu, Presiden Abdurrahman Wahid 3 Perppu, Presiden Megawati 4 Perppu, Presiden SBY 20 Perppu dan Presiden Jokowi lebih dari 2 Perppu.

 

“Pak Jokowi sendiri pernah misalnya mengerluarkan Perppu kebiri dan Perppu Ormas Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa ini memang lazim dan sudah digunakan. Jadi janganlah beberapa orang kemudian tiba-tiba merasa bahwa Perppu itu inkonstitusional,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait