Presiden: UU Sulitkan Masyarakat Harus Kita 'Bongkar'
Berita

Presiden: UU Sulitkan Masyarakat Harus Kita 'Bongkar'

Presiden mendukung perbaikan total terhadap sejumlah UU yang menghambat hak rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Dalam jangka pendek, pemberlakuan mekanisme carry over ini sangat diperlukan agar RUU yang sudah dibahas tidak sia-sia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES

Belum optimal kinerja penyusunan dan penyelesaian regulasi setingkat UU menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyampaian Laporan Kinerja Lembaga Negara dalam Sidang Tahunan MPR 2019. Beragam persoalan penataan regulasi, mulai over regulasi, saling tumpang tindih, hingga saling bertentangan, nampaknya disadari Presiden selaku kepala pemerintahan yang bisa segera diatasi instansi terkait.  

 

“Undang-undang (UU) yang menyulitkan rakyat harus kita ‘bongkar’,” ujar Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR 2019 di Komplek Gedung Parlemen Jakarta, Jumat (16/8/2019). Baca Juga: Kinerja Lembaga Yudisial di Mata Presiden

 

Dia menilai masih banyak UU yang saling tumpang tindih yang berdampak merugikan masyarakat. Karena itu, Presiden mendukung perbaikan total terhadap sejumlah UU yang menghambat hak rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Menurutnya, pengaturan/regulasi setingkat UU harus mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Karena itu, mengubah UU yang ada agar sesuai kebutuhan menjadi keharusan.

 

“UU yang menghambat lompatan kemajuan harus kita ubah,” ujar Jokowi.

 

Namun begitu, kata Presiden, dukungan DPR terhadap upaya pemerintah mereformasi sistem penataan peraturan perundangan-undangan sangat diharapkan. Misalnya, UU yang saling bertabrakan (bertentangan) satu dengan lainnya harus diselaraskan (harmonisasi). Prinsipnya, pemerintah mendorong perubahan menyeluruh terhadap berbagai UU yang saling tumpang tindih, bertabrakan, dan menghambat serta menyulitkan masyarakat luas.

 

“Saya juga mengapresiasi setinggi-tingginya semangat DPR untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan pemerintah (dalam membuat UU, red),” katanya.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengamini pandangan Presiden Jokowi. Namun, khusus memaksimalkan kinerja legislasi, Bambang mengingatkan penyusunan Prolegnas adalah instrumen perencanaan penyusunan UU yang telah disepakati pembentuk UU. Tentunya, pembentukan UU harus dilaksanakan lebih terencana, sistematis, terarah, terpadu, dan menyeluruh sesuai kebutuhan hukum masyarakat.

 

Menurutnya, Prolegnas bukan sekedar daftar judul RUU yang diusulkan DPR, pemerintah, dan DPD, melainkan daftar RUU yang diharapkan dapat memenuhi harapan, kebutuhan, dan rasa keadilan masyarakat. “Kita berharap ke depan capaian legislasi yang dihasilkan melalui Prolegnas akan lebih terukur, realistis secara kuantitas, dan berkualitas,” ujarnya.

 

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Totok Daryanto menambahkan berbagai UU yang saling “bertabrakan” mesti dilacak satu per satu. Setelah itu dilakukan kajian, untuk kemudian diusulkan perubahan. Seperti halnya dalam daftar prolegnas, pemerintah dan DPR pun terlebih dahulu melakukan kajian (naskah akademis) sebelum memasukan ke dalam daftar prolegnas.

 

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengapresiasi pandangan Presiden Jokowi dalam pidatonya. Namun, ia meminta presiden fokus menepati janjinya dengan mencegah rancangan undang-undang yang menyulitkan rakyat.

 

Dia mencontohkan, salah satu RUU yang jauh dari perlindungan kepentingan rakyat adalah RKUHP yang diusulkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang saat ini dibahas oleh pemerintah dan DPR. Sebab, RKUHP ini secara umum memiliki potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti hidupnya pasal penghinaan presiden dan kejahatan ideologi negara yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.

 

“Fokus berikutnya mencabut aturan yang menyengsarakan dan menyulitkan rakyat terkait sistem peradilan pidana dengan merevisi KUHAP, UU No.19 Tahun 2016 tentang ITE, revisi UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan penguatan hak saksi dan korban Tindak Pidana,” harapnya.

 

Mendorong Menkumham

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Muhammad Nur Sholikin menilai presiden perlu segera mendorong Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) agar responsif mendorong segera disahkannya revisi UU 12/2011 terkait mekanisme carry over untuk mengantisipasi sejumlah RUU yang tidak selesai dibahas DPR dan pemerintahan periode 2014-2019 dan bisa dilanjutkan pemerintahan berikutnya.  

 

Sebab, pengesahan revisi UU 12/2011 yang terbatas mengatur mekanisme carry over ini menguntungkan pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU demi keberlanjutan pembahasan RUU dalam Prolegnas 2019. Apalagi, kata Sholikin, sistem carry over ini tidak memiliki dimensi politik yang luas, sehingga  pemerintah dan DPR bisa segera bersepakat membahas dan mengesahkan revisi UU 12/2011 dalam kurun waktu dua bulan ke depan.

 

“Menkumham beberapa bulan lalu di ruang Baleg DPR sempat berujar bakal serius mengatur carry over dalam revisi UU 12/2011,” kata Sholikin saat dihubungi. Baca Juga: DPR Bakal ‘Kebut’ Pembahasan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

 

Hanya saja, kata Sholikin, tantangan revisi terbatas UU 12/2011 adalah ketersediaan waktu yang sangat pendek, tersisa satu masa sidang pertengahan Agustus hingga September. Sementara proses pengesahan RUU cukup panjang, mulai persetujuan paripurna, penyampaian ke presiden, penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM), penyampaian surat presiden (surpres), pembahasan, hingga pengesahan menjadi UU dalam rapat paripurna.

 

PSHK menganggap pemberlakuan mekanisme sistem carry over ini, pemerintah dan DPR harus memberi prioritas khusus agar RUU yang sudah dibahas tidak sia-sia. Menurutnya, pengaturan carry over dapat memangkas biaya legislasi yang besar dari sisi pemerintah dan DPR, sehingga kinerja legislasi lebih lebih efektif dan efisien. Di tengah kecenderungan kinerja legislasi DPR yang menurun pada periode ini.

 

Dia melanjutkan pengaturan carry over perlu memberi ruang bagi anggota DPR berikutnya untuk mempelajari dalam menyusun perencanaan legislasi. Seperti RUU mana saja yang disepakati untuk dilanjutkan pembahasannya. Yang terpenting, saran dia, dalam mempercepat proses pengesahan RUU ini, DPR dan pemerintah perlu menyepakati substansi yang direvisi secara terbatas pengaturan carry over.

 

“Apabila menyentuh substansi lain pembahasannya pasti tidak mendalam. Tapi, kalau perbaikan sistem perundang-undangan dalam UU 12/2011 saat ini perlu perubahan komprehensif,” sarannya.

 

Seperti diketahui, terdapat 4 RUU dari 54 RUU Prolegnas Prioritas 2019 yang berhasil dirampungkan menjadi UU yakni UU tentang Kebidanan: UU tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah; UU tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam; UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek).

 

Selain itu, terdapat tiga RUU Kumulatif terbuka yang disahkan menjadi UU. Sedangkan 4 RUU masih menunggu surat presiden. Sedangkan yang masih berstatus penyusunan di DPR, pemerintah, dan DPD sebanyak 15 RUU. Dalam status tahap harmonisasi di DPR sebanyak 1 RUU.

Tags:

Berita Terkait