Presiden: 99 Persen Penyebab Karhutla Ulah Manusia Demi Motif Ekonomi
Berita

Presiden: 99 Persen Penyebab Karhutla Ulah Manusia Demi Motif Ekonomi

Menurut Walhi, perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit skala besar membuat Sumatera dan Kalimantan langganan karhutla setiap tahun.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran hutan. Ilustrasi: BAS
Ilustrasi kebakaran hutan. Ilustrasi: BAS

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan pemerintahan saat ini. Beberapa tahun terakhir di sejumlah daerah, seperti Sumatera dan Kalimantan dilanda karhutla besar yang asapnya berdampak hingga negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

 

Untuk mengatasi persoalan karhutla, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya penegakan hukum. Secara khusus Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memberi reward dan insentif bagi pemerintah daerah yang berupaya bisa mencegah karhutla. Untuk Kapolri, Presiden memerintahkan dilakukan penegakan hukum secara tegas baik administratif, perdata, dan pidana.

 

“Saya kira tahun-tahun kemarin sudah banyak yang terkena urusan penegakan hukum ini, sehingga kita harapkan ini membuat efek jera bagi pembakar hutan, baik itu perusahaan maupun perorangan,” ujar Presiden Jokowi saat memberi pengarahan kepada peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Tahun 2020 seperti dilansir setkab.go.id, Kamis (6/2/2002). Baca Juga: Penanganan Karhutla Dinilai Abaikan Hak Korban

 

Jokowi mengatakan perubahan iklim sangat dirasakan dampaknya. Karena itu, jangan sampai terjadi kebakaran hutan besar ketika cuaca panas karena bakal sulit dikendalikan. Baginya, harus dicari solusi permanen untuk mencegah dan menangani karhutla. Salah satu upaya yang sudah dilakukan yakni membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Kanal gambut harus dijaga agar terus basah, terutama pada area yang mengalami penurunan muka air di musim kemarau.

 

”Ini memang yang paling kita takutkan di gambut, karena betul-betul di situ tingkat paling sulit untuk dipadamkan. Sekat kanal, timbun kanal, embung, sumur bor, terus saya selalu mendapat laporan sudah berapa banyak yang kita kerjakan mengenai ini. Saya ikuti terus ini,” kata Jokowi.

 

Untuk penataan ekosistem gambut dalam kawasan hidrologi gambut, Jokowi mengingatkan untuk hati-hati karena kubah gambut harus terus dilanjutkan secara konsisten. Jika kubah gambut berada di wilyah konsesi, maka harus dijaga. ”Kalau tidak, yang namanya tempatnya air kemudian diganti dengan tanaman industri, ini berbahaya. Kemudian juga carikan solusi yang lebih permanen untuk upaya pembakaran hutan dan lahan yang disengaja untuk motif ekonomi,” ujar Presiden mengingatkan.

 

Dari laporan BNPB yang diterima, Jokowi menyebut 99 persen penyebab karhutla yakni ulah manusia. Lahan sengaja dibakar untuk motif ekonomi. ”Karena memang pembersihan lahan (land clearing) yang paling murah itu memang lewat pembakaran, sehingga mulai harus kita tata ulang kembali,” kata dia.

 

Selain itu, Jokowi memerintahkan agar patroli lapangan ditingkatkan, khususnya di wilayah rawan kebakaran. ”Baik pemerintah daerah, baik aparat teritorial, seperti Babinsa dan Babinkamtibmas itu betul-betul dikerahkan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Kita harapkan kondisi harian di lapangan itu selalu terpantau. Ini bedanya dengan negara lain di situ,” ujarnya.

 

4 catatan Walhi

Sebelumnya, Walhi menilai perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit skala besar membuat Sumatera dan Kalimantan langganan karhutla setiap tahun. Fenomena cuaca El Nino menambah parah karhutla tahun 2019. Melansir laporan bank dunia, Manajer Kajian dan Kebijakan Walhi, Boy Even Sembiring, menyebut karhutla 2019 mengakibatkan 900 ribu orang mengalami gangguan pernapasan dan 157 juta AS Dollar kerugian aset dan 5 miliar AS Dollar gangguan aktivitas perekonomian.

 

Dari berbagai bencana yang terjadi selama 2019, Walhi mencatat sedikitnya 4 hal penting. Pertama, praktik eksploitasi alam melalui industri ekstraktif mengakibatkan kegagalan dan mengurangnya fungsi ekosistem, sehingga terjadi bencana. Kedua, krisis iklim mengakibatkan anomali cuaca yang memperparah bencana tahunan di Indonesia. Ketiga, pembangunan masih banyak mengabaikan wilayah rawan bencana. Keempat, pemulihan pascabencana belum inklusif dan partisipatif dan tidak terkoordinasi dengan baik.

 

Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan, M Hairul Sobri, menilai faktanya belum ada upaya serius pemerintah untuk melakukan restorasi gambut, terutama di lahan konsesi perusahaan. Minimnya upaya pemulihan ini menyebabkan karhutla berpotensi terus terjadi setiap tahun. Alih-alih melakukan evaluasi terhadap lahan gambut yang berada di daerah konsesi, pemerintah malah menerbitkan izin untuk pemanfaatan lahan gambut oleh perusahaan.

 

“Karhutla terus berulang dan terjadi di perusahaan yang sama. Perusahaan besar sering lepas dari ancaman hukum,” kata Hairul.

Tags:

Berita Terkait