Praperadilan Tidak Efektif, Revisi KUHAP Perkenalkan Institusi Hakim Komisaris
Utama

Praperadilan Tidak Efektif, Revisi KUHAP Perkenalkan Institusi Hakim Komisaris

Revisi hukum acara pidana memperkenalkan institusi Hakim Komisaris. Tugasnya, memelototi kerja polisi dan jaksa. Bagaimana nasib lembaga praperadilan?

Mys/Amr
Bacaan 2 Menit

 

Pada sisi lain, hakim komisaris juga berwenang menentukan pelampauan batas waktu penyidikan atau penuntutan, dan dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan terhadap seseorang tanpa didampingi penasehat hukum.

 

T. Nasrullah, salah seorang tim perumus revisi KUHAP, menjelaskan bahwa hakim komisaris diperkenalkan sebagai upaya pengawasan terhadap tindakan dan prilaku aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan. "Selama ini kan tidak ada kontrol," ujarnya kepada hukumonline.

 

Gagasan hakim komisaris dimasukkan ke dalam draf revisi KUHAP karena mekanisme praperadilan selama ini dinilai tim kurang efektif. Masyarakat pencari keadilan banyak dirugikan  karena prosedur yang berbelit, biaya yang mahal, waktu yang tersita, dan kemungkinan intimidasi dari aparat hukum. Celakanya, tidak ada lembaga yang mengawasi hal tersebut.

 

Namun demikian, Nasrullah menggarisbawahi bahwa eksistensi lembaga hakim komisaris tidak akan menghapus hak masyarakat untuk mengajukan upaya hukum lewat praperadilan. Artinya, lembaga hakim komisaris akan berdampingan dengan praperadilan.

 

Atas dasar prakarsa

Melihat latar belakang diaturnya hakim komisaris, tidak aneh kalau advokat Palmer Situmorang menyambut baik diperkenalkannya sistem hakim komisaris. "Saya kira dengan institusi baru ini problem yang sering terjadi dalam penyidikan dan penuntutan bisa diatasi," katanya. Cuma, ia berharap agar hakim komisaris jangan terlalu dibatasi.

 

Menariknya, tim perumus revisi KUHAP memberi hak kepada seorang hakim komisaris mengambil prakarsa untuk menilai sebuah upaya paksa, misalnya penahanan atau penyitaan, sesuai dengan hukum. Bila dilakukan atas prakarsa sang hakim, maka dia mengeluarkan sebuah penetapan.

 

Namun demikian, prakarsa itu baru boleh diambil jika sang hakim sudah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, penyitaan, atau SP3 yang tidak berdasarkan asas oportunitas. Kalau ada permintaan dari tersangka atau korban kejahatan untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, maka hakim bisa mengeluarkan putusan.

Tags: