Prapenuntutan, Win-win Solution Polisi dan Jaksa yang Terlupakan
Resensi

Prapenuntutan, Win-win Solution Polisi dan Jaksa yang Terlupakan

Telaah kritis sejak riset dimulai 20 tahun lalu. Rujukan penting dan langka tentang prapenuntutan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Foto cover buku dan tabel data buku oleh Yusuf.
Foto cover buku dan tabel data buku oleh Yusuf.

Salah satu fitur kebanggaan dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang biasa dikenal sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah lembaga praperadilan. Literatur yang mengulasnya sangat berlimpah hingga saat ini. Lain ceritanya dengan lembaga prapenuntutan. Apakah anda ingat pernah mendengarnya?

KUHAP memang hanya menyebut prapenuntutan satu kali. Itu pun terselip di Pasal 14 huruf b tentang kewenangan penuntut umum. KUHAP juga tidak memberi definisi prapenuntutan. Disebutkan bahwa salah satu wewenang penuntut umum ialah mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.

Hukumonline.com

Topo Santoso berusaha mengangkat kembali kajian ilmiah lembaga prapenuntutan dalam wacana sistem peradilan pidana. Bersama salah satu muridnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia ini berpijak dari riset tesis magister miliknya 20 tahun silam. Kala itu Topo meneliti peran Polisi dan Jaksa dalam sistem peradilan pidana.

Tesis magister di tahun 1999 itu berjudul Studi tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Topo membandingkan bagaimana peran Polisi dan Jaksa berdasarkan Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan KUHAP. Ia sudah mengidentifikasi lembaga prapenuntutan sebagai salah satu inovasi win-win solution dalam menjembatani ‘persaingan’ Polisi dan Jaksa.

Kelahiran KUHAP disebut Topo menghilangkan kewenangan penuh Jaksa untuk melakukan koordinasi dan pengawasan jalannya penyidikan. Ada pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan yang tidak lagi terpadu. Lembaga yang berwenang menjalankan kedua fungsi itu masing-masing berperan sejajar dan mandiri.

KUHAP memang memberi semacam jalan keluar dengan lembaga prapenuntutan. Inti dari prapenuntutan adalah terjadinya komunikasi antara Polisi dan Jaksa sejak awal penyidikan dimulai. Buku ini mengungkap prosedur prapenuntutan sebagai inovasi unik bahkan tidak lazim. Tidak ada prosedur semacam ini di negara lain atau dalam literatur tentang sistem peradilan pidana.

Sulit untuk memahami prapenuntutan karena KUHAP tidak memperjelas definisinya. Prapenuntutan biasanya dipahami berkaitan dengan sejumlah pasal terkait pelaksanaan peran Jaksa dalam menyempurnakan kerja penyidik. Peran tersebut disebut Pasal 14 huruf b KUHAP sebagai ‘memberi petunjuk’.

Sejumlah pasal prosedur prapenuntutan antara lain Pasal 109 ayat 1, Pasal 138, dan pasal 139 KUHAP. Choky Risda Ramadhan yang ikut menulis buku ini pernah menguji seluruh pasal itu ke Mahkamah Konstitusi di tahun 2015. Permohonannya mewakili Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia bersama pemohon lain yang merasa dirugikan.

Alasan permohonan karena kehadiran prapenuntutan justru menimbulkan kesewenang-wenangan penyidik dan penanganan perkara berlarut-larut di penyidikan. Misalnya salah satu proses penuntutan ialah pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Jaksa selaku penuntut umum.

(Baca juga: Aturan Prapenuntutan Dipersoalkan ke MK).

Mahkamah Konstitusi lalu mengabulkan hanya untuk pengujian Pasal 109 KUHAP dengan Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015. Isinya menyatakan pemberitahuan harus dilakukan paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Tidak hanya kepada Jaksa, namun juga kepada Terlapor dan pelapor/korban. Artinya, lembaga prapenuntutan tetap konstitusional untuk selebihnya.

“Sayangnya, prapenuntutan ini tidak sepenuhnya efektif,” kata penulis menyimpulkan dalam pendahuluan buku ini. Tentu ini bukan kesimpulan yang tergesa-gesa. Topo membutuhkan waktu 20 tahun pengamatan sejak tesisnya ditulis 20 tahun lalu. Kali ini ia bersama Choky mantap menyatakan kelemahan lembaga prapenuntutan dalam penegakan hukum.

Kedua penulis buku ini menghimpun data sebanyak 255.618 perkara disidik tanpa ada pemberitahuan kepada Jaksa. Belum lagi 44.273 berkas perkara hasil penyidikan yang tidak dikembalikan Polisi setelah diberikan koreksi dan petunjuk perbaikan oleh Jaksa. Jumlah tersebut baru sebatas yang terjadi sepanjang tahun 2012-2014. Jumlah totalnya sejak KUHAP berlaku diperkirakan lebih banyak lagi.

“Angka yang begitu besar tersebut merepresentasikan tidak efektifnya prapenuntutan bukan hanya secara teori, namun secara praktis,” tulis keduanya dalam kesimpulan. Mereka menyebut enam kelemahan lembaga prapenuntutan secara praktik.

Pertama, pelaksanaan prapenuntutan baru bisa setelah jangka waktu yang jauh dari dimulainya penyidikan. Jaksa tidak mengikuti penyidikan sejak awal. Kedua, berkas bolak-balik yang memperlama durasi. Ketiga, berkas bahkan kerap tidak dikembalikan ke Jaksa. Keempat, Polisi dan Jaksa tidak berhubungan langsung. Kelima, Polisi menyalahkan Jaksa karena berkasnya dikembalikan dengan alasan yang dibuat-buat, sebaliknya Jaksa menyalahkan Polisi karena tidak melakukan petunjuknya. Keenam, persepsi Polisi dan Jaksa sering berbeda atas suatu hal dari perkara.

Buku ini menjadi rujukan penting dan langka tentang prapenuntutan. Mungkin ini salah satu referensi yang menelaah secara kritis dan dalam fitur prapenuntutan dalam KUHAP. Penelusurannya membentang dari masa kolonial Belanda hingga tiga dekade sejak KUHAP berlaku. Di tengah berbagai upaya pembaruan KUHAP, buku ini menjadi literatur yang tidak boleh dilewatkan.

Tags:

Berita Terkait