Pramono Anung, Puan Maharani dan Nama Lain Disebut Novanto Terima Uang e-KTP
Utama

Pramono Anung, Puan Maharani dan Nama Lain Disebut Novanto Terima Uang e-KTP

Novanto menyebut ada pemberian uang US$500 ribu kepada Puan dan Pramono Anung melalui Oka Masagung, tetapi hal itu dibantah pihak PDI Perjuangan.

Aji Prasetyo/Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Terdakwa Setya Novanto saat mengikuti persidangan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto RES
Terdakwa Setya Novanto saat mengikuti persidangan kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto RES

Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto akhirnya buka-bukaan terkait aliran dana kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP). Novanto menyebut sejumlah nama besar berkaitan dengan perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp2,3 triliun ini.

 

Dari deretan nama yang sebelumnya sudah disebut dalam perkara ini, Novanto menyebut dua nama petinggi PDI Perjuangan yaitu Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurut Novanto keduanya menerima uang masing-masing AS$500 ribu.

 

"Waktu itu ada pertemuan di rumah saya yang dihadiri oleh Oka, di sana saya berikan ke Puan Maharani AS$500 (ribu), Pramono Anung AS$500 (ribu)," kata Novanto dalam agenda sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/3). Baca Juga: Keponakan dan Rekan Setnov Tersangka Baru Kasus e-KTP

 

Novanto sendiri mengakui memang bukan dirinya yang langsung memberikan uang itu, tetapi uang itu diberikan oleh Oka Masagung yang dalam persidangan disebut sebagai pengelola uang Novanto. Oka menyampaikan hal itu saat mereka melakukan pertemuan bersama dengan Andi Narogong, Irvanto, keponakan Novanto sekitar akhir 2012 lalu.

 

"Itu keterangan beliau, keterangan Pak Oka. Jadi ini yang berkaitan dia sendiri yang tidak pernah melaporkan atau menyampaikan kepada saya seperti yang disampaikan jaksa dalam sidang. Makanya saya kaget sekali ada sejumlah uang di Oka," ungkap Novanto.

 

Novanto sendiri mengaku telah mencoba mengkonfirmasikan hal itu kepada Pramono Anung ketika berada di Solo. "Wah yang mana yah, ntar kita inget lagi di Jakarta ngobrol. (Konfirmasinya) tiga bulan yang lalu saat ada acara pejabat," terang Novanto.

 

Namun setelah itu, ia tidak sempat lagi mengkonfirmasi kepada Pramono. Berbeda dengan Pramono, terkait dengan Puan, Novanto mengaku sama sekali belum menanyakan (konfirmasi) perihal penerimaan uang sebesar AS$500 ribu yang diberikan oleh Oka Masagung itu. Novanto mengatakan ketika itu Puan adalah Ketua Fraksi PDI Perjuangan dan Pramono Anung merupakan Wakil Ketua DPR RI.

 

Selain kedua nama itu, Novanto juga menyebut nama Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Melchias Markus Mekeng, Jafar Hapsah, Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey. Mereka masing-masing menerima AS$500 ribu, kecuali Ganjar yang jatahnya menurut Novanto telah dipangkas lebih dulu oleh Chairuman. Hal ini yang disampaikan Andi Narogong dalam pertemuan tersebut.  

 

"Pertama adalah untuk Komisi II Pak Chairuman sejumlah AS$500 ribu dan untuk Ganjar sudah dipotong oleh Chairuman, dan untuk kepentingan pimpinan banggar sudah disampaikan juga ke Melchias Mekeng AS$500 ribu, Tamsil Linrung AS$500 ribu, Olly Dondo AS$500 ribu diantaranya melalui Irvanto," terang Novanto.

 

Apa peran mereka?

Jaksa KPK Abdul Basir mengkonfirmasi nama-nama yang disebut oleh Novanto dalam keterangannya di persidangan. Basir menanyakan apa peran mereka dalam proyek e-KTP, sehingga mendapat jatah cukup besar hingga AS$500 ribu per orang.

 

"Saya tidak tahu Pak," jawab Novanto.

 

"Mereka ngapain, apa jasa mereka sehingga dapat bagian?" tanya Basir kembali. Novanto tidak menjawab secara tegas mengenai hal ini, menurutnya itu merupakan tanggung jawab Oka Masagung karena dia disebut cukup dekat dengan sejumlah nama yang dimaksud.

 

Hakim Ketua Yanto juga penasaran mengenai peran mereka sehingga mendapat jatah masing-masing AS$500 ribu. "Mungkin Pak, mereka juga ikut urusan Oka dari sisi mana dengan si Anang," jawab Novanto.

 

Hakim Yanto kembali meminta penegasan Novanto soal "urusan" yang dimaksud. "Yang berkaitan dengan e-KTP, tapi secara detail nggak tau," ujar Novanto. Baca Juga: Dagelan Eks Dirut PNRI di Sidang e-KTP

 

Sayangnya, Jaksa Basir tidak lagi menggali terkait nama-nama tersebut, termasuk dua nama baru yang muncul yakni Puan Maharani dan Pramono Anung. Basir memilih untuk mengejar pengakuan Novanto mengenai apa yang didapatnya dari proyek e-KTP ini.

 

Dalam persidangan sejumlah fakta menyebut adanya pertemuan yang dilakukannya untuk membahas proyek ini. Dan Novanto bersikukuh dirinya tidak mendapat apapun yang berkaitan dengan pengadaan e-KTP. "Ya itulah Pak, begitu jalan gak balik lagi. Masalahnya Pak begitu berhasil gak cerita, tahu tahu ada," aku Novanto.

 

Dalam persidangan Novanto hanya mengakui dirinya memperoleh jam Richard Mille dari hasil patungan antara Andi Agustinus dan Johannes Marliem. Namun yang berbeda mengenai momen pemberian jam yang sebelumnya disebut-sebut dalam rangka hari ulang tahun dirinya.

 

"Jam tangan itu, pada 2016 si Andi memang pernah datang ke saya. Saya tahu Andi orangnya lincah, jadi mau berikan oleh-oleh jam tangan," ujar Setya Novanto kepada majelis hakim.

 

Dia mengaku pemberian jam itu sama sekali tidak berkaitan dengan momen ulang tahunnya. "Tidak ada moment apa-apa. Cuma Andi memang orangnya pintar mencari hati orang," kata Novanto.

 

Dalam dakwaan, Novanto disebut menerima sebuah jam tangan merek Richard Mille tipe RM 011 seharga AS$135 ribu. Menurut jaksa, jam tangan yang harganya sekitar Rp1,3 miliar itu diberikan oleh pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Johannes Marliem. Pemberian itu sebagai ucapan terima kasih karena telah meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR RI.

 

Bantahan PDIP

Terpisah, disebut-sebutnya sejumlah nama politisi PDIP yakni Puan Maharani dan Pramono Anung, dan Ganjar Pranowo membuat PDIP “gerah”. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membantah jika dua elit politiknya menerima aliran uang e-KTP. Menurut Hasto, posisi politik PDI Perjuangan (PDIP) selama 10 tahun pemerintahan SBY saat itu berada di luar pemerintahan.

 

Makanya, tidak ada representasi menteri dari PDI Perjuangan di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu selama 10 tahun dan menjadi oposisi. Dalam beberapa keputusan strategis dilakukan melalui voting, PDIP juga selalu kalah. "Misal penolakan impor beras, penolakan UU Penanaman Modal Asing dan UU Free Trade Zone. Dengan demikian tidak ada posisi politik yang terlalu kuat terkait dengan kebijakan e-KTP sekalipun," terang Hasto.  

 

Konsep penerapan e-KTP yang disampaikan PDIP dengan yang ada saat ini juga berbeda. Kala itu PDIP mengusulkan pengadaan e-KTP bukan pada pendekatan proyek, namun melalui pendekatan integrasi data antara data pajak, data BKKBN, data kependudukan, dan hasil integrasi data divalidasi melalui sistem Single Identity Number (SIN).

 

"Sistem tersebut juga diintegrasikan dengan rumah sakit, puskesmas, hingga ke dokter kandungan dan bidan. Dengan demikian, pada waktu ketika sistem diberlakukan, maka jika ada bayi yang lahir di wilayah NKRI, maka secara otomatis akan mendapatkan kartu Single Identity Number,” ujar Hasto.

 

Hasto berpendapat saat ini ada upaya untuk mencoba membawa persoalan tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab PDI Perjuangan. Padahal pihaknya bukan dalam posisi sebagai perancang karena ketika itu bukan merupakan partai penguasa. "Dengan begitu, atas apa yang disebutkan oleh Bapak Setnov, kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut," tegasnya.

 

Dia curiga apa yang disampaikan Novanto berkaitan dengan pengajuannya sebagai Justice Collaborator (JC). "Kami juga mengamati kecenderungan terdakwa dalam kasus tipikor menyebut sebanyak mungkin nama, demi menyandang status justice collaborator. Apa yang disampaikan Pak Setya Novanto hari ini pun, kami yakini sebagai bagian dari upaya mendapatkan status tersebut demi meringankan hukumannya," katanya.

Tags:

Berita Terkait