PPh Orang Pribadi dalam DBH Tetap Sah
Berita

PPh Orang Pribadi dalam DBH Tetap Sah

Memasukkan wajib pajak badan justru akan merugikan daerah.

MYS
Bacaan 2 Menit
Majelis Mahkamah Konstitusi usai membacakan putusan tentang PPh Orang Pribadi dalam DBH. Foto: Sgp
Majelis Mahkamah Konstitusi usai membacakan putusan tentang PPh Orang Pribadi dalam DBH. Foto: Sgp

Upaya lima orang kepala daerah mempersoalkan aturan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang selama ini dijadikan bagian dari Dana Bagi Hasil (DBH) kandas di tangan Mahkamah Konstitusi. Dalam pandangan para kepala daerah, jika PPh orang pribadi diterapkan, maka PPh badan pun harusnya dimasukkan sebagai bagian DBH.

Kelima orang kepala daerah tersebut adalah Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli, Wakil Bupati Mimika Abdul Muis, Bupati Murung Raya Willy M. Yoseph, Bupati Halmahera Utara Hein Namotemo, dan Bupati Morowali Anwar Hafid.

Para kepala daerah menguji konstitusionalitas frasa ‘orang pribadi’ dalam tiga peraturan terhadap UUD 1945. Ketiga aturan dimaksud adalah pasal 160 ayat (2) huruf c UU Pemerintahan Daerah; pasal 11 ayat (2) huruf c  UU Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan pasal 31C ayat (1) UU tentang Ketentuan Umum Perpajakan.

Menurut para pemohon, frasa ‘orang pribadi’ merugikan hak konstitusional mereka sebagaimana ditentukan pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Masuknya PPh wajib pajak ‘orang pribadi dalam DBH, sebaliknya tidak masuknya wajib pajak ‘badan’ sangat merugikan daerah. Sebab, pajak orang pribadi akhirnya meluncur ke pemerintah pusat.

Pasal 31 C ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 menyebutkan ‘Penerimaan negara dari PPh orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80 % untuk pemerintah pusat dan 20% untuk pemerintah daerah tempat wajib pajak terdaftar’.

Menurut pandangan Mahkamah, jika frasa ‘orang pribadi’ dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, justru akan merugikan pemerintah daerah. Sebab, itu berarti pajak orang pribadi akan kembali ke Pusat seperti sebelum ada pasal 18 A ayat (2) UUD 1945.

Sebaliknya, jika penerimaan PPh badan dipaksakan untuk dibagihasilkan kepada daerah seperti halnya PPh orang pribadi, hal itu berpotensi menimbulkan ketimpangan pendapatan horizontal (antar daerah) dan pendapatan vertikal (pusat dan daerah). Ada daerah yang punya penghasilan besar, dan ada daerah lain yang sebaliknya. Kondisi ini bisa menimbulkan kecemburuan horizontal, ketidakadilan dan kekurangserasian dalam konteks negara kesatuan. Namun Mahkamah mengakui PPh badan pun akhirnya dibagikan ke daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dalam putusan yang dibacakan, Selasa (02/10), Mahkamah menyatakan masuk tidaknya pajak badan atau PPh pribadi dalam DBH kepada pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk Undang-Undang. Ketentuan-ketentuan yang dimohonkan kepala daerah untuk diuji, kata Mahkamah, justru memberikan kepastian hukum yang adil dan selaras antara Pusat dan Daerah.

Tags: