PPATK Temukan Potensi Kerugian Negara dalam Impor Pakaian Bekas
Terbaru

PPATK Temukan Potensi Kerugian Negara dalam Impor Pakaian Bekas

PPATK juga mengindikasikan adanya potensi TPPU dalam transaksi e-commerce.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono. Foto: PPATK
Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono. Foto: PPATK

Pusat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Asosiasi E-Commerce dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan melakukan Operasi Elang Biru (OEB) dalam rangka pengawasan penjualan barang bekas (trifting) yang mulai masif masuk ke Indonesia sejak 2020 silam. Plt Deputi Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono menyampaikan bahwa OEB ini diselenggarakan untuk mendeteksi follow the money terkait penjualan pakaian bekas dari hilir ke hulu.

“Siapa yang mendatangkan, siapa importir sebenarnya, siapa beneficial owner nya,” kata Danang pada Kamis (25/5) lalu.

Dari beberapa informasi yang sudah dihimpun oleh PPATK, Danang mengaku pihaknya sudah mengidentifikasi perputaran impor pakaian bekas sejak tahun 2021 dengan nilai sementara yang cukup fantastis yakni mencapai Rp1 triliun. Adapun mayoritas pakaian bekas yang berasal dari Korea itu juga diduga turut merugikan negara dalam sektor pajak. Atas dasar potensi kerugian pajak, PPATK akan berkoordinasi dengan Dirjen Pajak dan juga pihak Bea Cukai.

Baca Juga:

Tak hanya menyoal pakaian bekas, PPATK juga menemukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam transaksi di e-commerce. Salah satu contohnya adalah di mana PPATK menemukan satu hotel di daerah terpencil, yang diduga melakukan transaksi fiktif selama Covid-19.

Pada periode pandemi, hotel tersebut terdeteksi memiliki transaksi yang sangat massif melalui platform perjalanan digital. PPATK menduga travel agent digunakan sebagai sarana untuk mengirimkan uang tanpa terdeteksi oleh rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) yang dijalankan oleh perbankan.

“Sehingga kami menggandeng pihak E-Commerce untuk berkolaborasi menyampaikan data ke PPATK untuk dianalisis lebih lanjut untuk kemudian disampaikan kepada penyidik,” jelas Danang.

Ke depannya, Danang menegaskan pihaknya akan meminta support dari Kementerian Perdagangan selaku pengampu atau regulator dari e-commerce untuk bersama-sama melakukan sharing data informasi agar percepatan pemenuhan data penanganan kasus bisa dilakukan lebih cepat lagi.

“Sebenarnya semua tindak pidana bisa menggunakan e-commerce sebagai emerging trade, kemungkinan itu ada, termasuk pendanaan teroris dan narkotika. Tapi saya gak bisa sebut di sini,” tegas Danang.

Sementara itu, Kepada Bidang Logistik idEA Even Alex Chandra menambahkan bahwa pertemuan yang dilakukan pihaknya bersama PPATK bertujuan untuk menyepakati komitmen dukungan kepada PPATK dalam TPPU. Terutama dalam hal sharing data terkait kepentingan penyelidikan dan penyidikan.

“Jadi memang konteksnya itu tidak cuma sekedar trifting saja, tapi juga benar-benar dari berbagai sektor. Jadi komitmennya itu kalau PPATK sedang menyelidiki atau sidik misalnya, mereka bisa kontak ke member kami dan kita akan bantu akan sebisa mungkin,” ujar Alex.

 Sejauh ini, lanjutnya, idEA terus melakukan kolaborasi dengan kementerian terkait atau aparat penegak hukum sebagai pihak yang mengetahui lebih detail perilaku dari pelaku usaha e-commerce. Selain itu, kerja sama ini juga perlu dilakukan untuk menciptakan platform yang bersih.

“Kalau kita selalu kolaborasi bersama kementerian atau lembaga APH. Informasi dari mereka itu kita kembangkan karena yang lebih tahu kondisi, lebih detail perilakunya, tentu mereka kan. Jadi kita jelas butuh bantuan dari kementerian dan APH juga supaya platform kita juga bersih,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait